Dikukuhkan Jadi Guru Besar Hukum Islam, Tholabi Soroti Pentingnya Koeksistensi Hukum Nasional
Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie MH MA, dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Islam di fakultas tempatnya mengabdi. Ia dikukuhkan dalam sidang senat terbuka UIN Jakarta di Auditorium Utama, Rabu (14/9/2022).
Sidang senat pengukuhan sendiri dibuka langsung Ketua Senat UIN Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada MA bersama Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis MA. Selain para anggota senat, para wakil rektor, dekan dan pimpinan Sekolah Pascasarjana, pengukuhannya dihadiri sejumlah kolega Tholabi dari berbagai lembaga.
Tholabi dikukuhkan setelah sebelumnya Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas menandatangani Surat Keputusan Menteri Agama RI (SK Menag) Nomor 020891 Tahun 2022 tanggal 24 Mei 2022 tentang Kenaikan Jabatan Akademik/Fungsional Ahmad Tholabi Kharlie dalam jabatan guru besar. Ia diangkat menjadi guru besar dengan angka kredit 946,22 kum terhitung 1 Maret 2022.
Selanjutnya, pengukuhan Tholabi ditandai penyematan selempang guru besar, penyerahan SK Menag RI atas pengangkatannya sebagai guru besar, dan orasi ilmiah. Untuk orasi ilmiah, ia menyampaikan makalah bertajuk Koeksistensi Hukum Nasional: Reformulasi Hukum Keluarga dan Hukum Administrasi di Indonesia.
Dalam pidatonya, lelaki kelahiran Cilegon, Banten, ini menyoroti pentingnya koeksistensi hukum nasional dalam mendukung status negara hukum di Indonesia. Merujuk sumber hukum di tanah air, hukum nasional di Indonesia sejatinya terdiri atas tiga pilar yaitu hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam sebagai sumber materiil pembentukan hukum nasional.
Kendati demikian, sebutnya, realitas hukum nasional acapkali berjalan problematis karena dalam praktiknya di lapangan terdapat kompetisi antar pilar hukum yang sulit dihindari. Antara satu norma dengan norma lain sering ditemukan berbenturan seperti norma hukum positif dengan norma hukum positif lain yang bersumber dari hukum Islam.
"Situasi makin pelik di saat penerapan norma, khususnya di ruang penyelenggaraan administratif negara maupun di ruang yudisial, kompetisi antar-norma ternyata sulit ditepis," ungkapnya.
Kondisi demikian, lanjutnya, berujung pada situasi penerapan satu norma tertentu yang dibarengi peminggiran terhadap norma yang lain meski merespons objek hukum yang sama. Ini dinilai Tholabi bertentangan dengan spirit pendiri bangsa dalam pembentukan hukum nasional sendiri.
"Alih-alih melahiran harmoni antar-pilar hukum, namun sebaliknya mereduksi esensi dan substansi dari upaya pembentukan hukum nasional di Indonesia," tuturnya.
Salah satu contoh kompetisi antar-norma hukum yang cukup demonstratif adalah norma hukum keluarga dan hukum administrasi menyangkut aturan perkawinan. Dalam hal ini, hukum keluarga yang direpresentasikan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum administrasi yang direpresentasikan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara eksplisit tidak menyediakan ruang bagi pernikahan pasangan beda agama. Namun pada Pasal 35 huruf (a) dan Pasa; 36 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan justru pernikahan pasangan beda agama diberikan ruang.
Pertentangan demikian, sebutnya, mencerminkan adanya ambiguitas regulasi perkawinan dan turunannya di Indonesia. Konsekuensinya adalah lahirnya komplikasi masalah di seputar praktik perkawinan di tanah air.
Karena itu, jelasnya, dibutuhkan upaya konkret untuk menyudahi persoalan benturan antar-norma hukum yang berasal dari pelbagai pilar hukum yang ada di Indonesia. "Langkah ini penting dilakukan untuk mengukuhkan Indonesia sebagai negara hukum, rechstaat, sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945," tandasnya.
Atas dasar itu, Tholabi mengusulkan pentingnya koeksistensi hukum nasional dengan tidak memberi ruang benturan antara hukum adat, hukum barat, dan hukum Islam. Untuk koeksistensi hukum nasional ini, Tholabi mengusulkan tiga langkah penting.
Pertama, mengakui eksistensi masing-masing pilar hukum tanpa mempertentangkan satu sama lainnya. Antar pilar dapat berdampingan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar bernegara. "Penyatuan materi hukum dari berbagai pilar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat," jelasnya.
Kedua, aturan, konsep atau institusi dari salah satu sistem secara eksplisit-implisit mempengaruhi penyusunan, interpretasi, dan penerapan aturan, gagasan, dan institusi uang lain dari salah satu sistem yang dimasukkan dalam sistem lainnya. "Kondisi tersebut pada akhirnya akan melahirkan interaksi satu sistem dengan sistem lainnya," katanya.
Ketiga, kesadaran kolektif para pembentuk undang-undang, penafsir undang-undang, pelaksana undang-undang terhadap pentingnya koeksistensi hukum nasional melalui proses pembentukan, pengawasan, penafsiran, dan pelaksanaan sebuah norma peraturan perundang-undangan.
Namun dalam membangun koeksistensi hukum, ungkapnya, dibutuhkan langkah simultan, komprehensif, dan berkesinambungan. Karenanya, sejumlah instrumen bisa ditempuh seperti Program Legislasi Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
"Selain itu, dibutuhkan salah satu lembaga pemandu dalam mendesain koeksistensi hukum nasional yang idealnya bertanggungjawab langsung kepada Presiden," simpulnya.
Merujuk data Bagian OKP UIN Jakarta mencatat, Tholabi tercatat sebagai dosen FSH UIN Jakarta dengan homebase Jurusan Hukum Keluarga (Magister Hukum Keluarga). Ia mengampu sejumlah mata kuliah rumpun Ilmu Hukum Islam seperti Sejarah Sosial Ilmu Hukum Islam, Comparative Islamic Family Law, Hukum Keluarga di Dunia Islam, Hukum Peradilan Agama, Politics of Family Law Legislation, dan lainnya.
Diketahui, setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Pondok Pesantren al-Khairiyah Serang dan Pesantren Darussalam Ciamis, Tholabi menempuh pendidikan tinggi di IAIN Jakarta (kini, UIN Jakarta). Di IAIN Jakarta ini, Tholabi berhasil menempuh pendidikannya dari jenjang sarjana hingga doktor di bidang Hukum Islam. Ia juga tercatat menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Universitas Terbuka, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Di tengah kesibukannya mengajar, Tholabi aktif melakukan riset dan mempublikasikan artikel-artikel risetnya di sejumlah jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional berekognisi. Sejumlah buku bidang hukum Islam pernah ditulisnya seperti Hukum Keluarga Indonesia dan Kodifikasi Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Artikel dan opininya juga dimuat berbagai media massa nasional.
Di luar aktivitas mengajar dan meneliti, Tholabi aktif dalam sejumlah pengabdian sosial. Ia misalnya dipercaya menjadi Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Banten, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, pengurus ICMI, dan assesor BAN PT. Sejak 2019 lalu, lelaki kelahiran Serang, 7 Agustus 1976, ini dipercaya memimpin Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Jakarta. (Foto: Hermanudin/ Teks: Zaenal Muttaqin)