Dikukuhkan Jadi Guru Besar, Dua Profesor UIN Jakarta Ingatkan Penghargaan Lingkungan dan Dialog Perbedaan Paham Keagamaan
Auditorium Utama, BERITA UIN Online— UIN Jakarta kembali mengukuhkan dua orang Guru Besar, Prof. Dr. Bambang Irawan MA dan Prof. Dr. Hamid Nasuki MA, sebagai Guru Besar bidang Ilmu Tasawuf pada Fakultas Ushuluddin. Pidato ilmiah keduanya menekankan dua hal penting dalam kehidupan kemanusiaan masyarakat agama di era kontemporer, yaitu penghargaan terhadap lingkungan sekitar dan sikap mengedepankan dialog atas perbedaan pandangan keagamaan.
Prosesi pengukuhan dilaksanakan dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar dan Orasi Ilmiah yang dibuka pimpinan senat untuk selanjutnya dipimpin Rektor UIN Jakarta, Prof. Asep Saepudin Jahar Ph.D. Sedang senat dilakukan secara luring di Auditorium Utama, Selasa (21/3/2023), dan disiarkan secara daring melalui akun Youtube resmi UIN Jakarta.
Selain para guru besar, pimpinan dan anggota senat, Rektor dan para wakil rektor, serta para pimpinan di berbagai unit di UIN Jakarta, prosesi pengukuhan diikuti banyak tamu undangan kedua guru besar. Prosesi sendiri ditandai orasi ilmiah masing-masing guru besar, pemasangan slempang guru besar, dan penyerahkan surat pengangkatan mereka sebagai guru besar.
Orasi yang disampaikan Profesor Bambang berjudul 'Green Sufisme dan Green Faith: Gerakan Ekologi Spiritual Global dalam Merespon Perubahan Iklim di Indonesia dan Amerika', sedang orasi yang disampaikan Profesor Hamid berjudul 'Usaha Mendekatkan Syariat dan Tasawuf di Jawa ke-18: Pelajaran dari Serat Cabolek dan Serat Dewaruci Karya Yasadipura I'. Pidato keduanya menekankan dua hal penting dalam kehidupan manusia di era kontempor, yaitu penghargaan terhadap lingkungan sekitar dan sikap mengedepankan dialog atas perbedaan pandangan keagamaan.
Dalam pidatonya, Profesor Bambang menyoroti pentingnya spiritualitas dalam tradisi agama-agama menjadi pijakan sekaligus sudut pandang dalam mengatasi problem perubahan iklim. Untuk menggambarkan dimensi spiritualitas ini ia menggunakan dua istilah 'Green Sufisme' dan 'Green Faith'.
Green Sufisme dirujuk Profesor Bambang pada gerakan dan gagasan sufisme dengan kesadaran lingkungan hidup yang berakar kuat dalam tradisi sufi di Nusantara. Sedang Green Faith merujuk pada gerakan lintas agama yang mendorong kerjasama antara umat beragama dalam melindungi lingkungan hidup.
Menurutnya, studi Green Sufisme dan Green Faith perlu terus digalakkan guna menggali kontribusi pengembangan gerakan lingkungan berbasis spiritualiats dan keimanan. "Serta dapat menjadi acuan untuk mengembangkan strategi dan program yang efektif dalam melindungi lingkungan hidup dan mewujudkan keberlanjutan hidup yang lebih baik bagi manusia dan alam semesta," tandasnya.
Mengingat pentingnya Green Sufism maupun Green Faith, Profesor Bambang menilai perlunya kesadaran masyarakat global menanamkan keberagamaan sadar lingkungan hidup. Ia juga mendorong kedua hal ini menjadi mata kuliah tersendiri.
Bahkan di lingkungan kampus, jelasnya, Green Sufisme dan Green Faith sangat bisa diterapkan dalam sejumlah aksi. Ini misalnya dilakukan dengan perbaikan manajemen sampah, penanaman poohon, pengurangan penggunaan air, dan penggunaan transportasi ramah lingkungan.
Sementara itu, Profesor Hamid dalam pidatonya menyoroti pengalaman kontestastasi dan konflik antara para Sufi dan ulama yang berpegang pada supremasi syariat (fiqih) di tanah air serta upaya rekonsiliasi dalam mendamaikan antara kedua pihak. Menurutnya, kontestasi dan konflik terjadi karena banyaknya kekeliruan dalam memahami tasawuf baik di kalangan Islam maupun non-Islam, baik dari kalangan Islam maupun luar Islam.
Kesalahpahaman terhadap tasawuf di tanah air, terangnya, dapat dibaca dalam berbagai literatur yang menggambarkan kontestasi dan ketegangan antara Sufi dan ulama syariat. "Hal ini terjadi tidak hanya di wilayah pusat Islam di Timur Tengah, tetapi juga di wilayah-wilayah Muslim yang lain, seperti Nusantara," ungkapnya.
Jika di Timur Tengah terdapat tokoh seperti al-Hallaj yang dihukum mati karena pandangan tasawufnya, di Nusantara juga terdapat beberapa nama yang bernasib sama. Misalnya, Syaikh Siti Jenar (Kerajaan Giri), Ki Panggung (Kesultanan Demak), Ki Bebeluk (Kesultanan Pajang), dan Syekh Among Raga (Mataram Islam).
Namun dalam konteks ketegangan kelompok Sufi-ulama syariat di tanah air, Hamid menjelaskan, terjadi pergeseran ketika penguasa Islam Surakarta mengambil inisiatif melakukan rekonsiliasi. Serat Cebolek yang dirujuk menjelaskan bagaimana konflik antara ulama Sufi-ulama syariat diselesaikan tanpa harus terulang kembali kisah-kisah kemartiran ulama Sufi yang didakwa menyimpang karena pemahaman dan praktik bertasawuf mereka.
Konflik dalam serat diwakili tokoh Haji Ahmad Mutamakin yang mewakili kelompok sufi dan Ketib Anom sebagai ulama yang berpegang pada fiqih. Serat yang disebutkan ditulis Yasadipura I ini menjelaskan bagaimana ketegangan berlangsung cukup lama antara keduanya, termasuk dengan saling melaporkan terhadap penguasa.
Haji Mutamakin disebutkan didakwa mengajarkan paham wujudiyah atau wahdat al-wujud dan dituduh membolehkan pengikutnya meninggalkan syariat. Untuk itu, Ketib Anom meminta penguasa untuk menghukum Mutamakin, bahkan menghukum mati seperti para ulama Sufi yang mengajarkan faham wujudiyah.
Konflik keduanya berlangsung lama. Untuk menyelesaikan konflik antara kedua pihak, penguasa Raja Pakubuwana II akhirnya memutuskan bahwa ajaran Haji Mutamakin hanya diperuntukan terbatas, diri sendiri, bukan untuk disebarluaskan. Raja juga memutuskan bahwa Ketib Anom bersalah karena berani mempertanyakan keputusan raja.
Selanjutnya, Raja Pakubuwana II memutuskan keputusan terhadap kedua pihak final dan sidang selesai. Selanjutnya, Raja mengajak seluruh pihak untuk melaksanakan shalat Jumat bersama-sama di masjid sehingga rekonsiliasi secara simbolis tercipta.
"Cerita dalam Serat Cebolek memberi pelajaran bahwa jika terjadi kehebohan di tengah masyarakat akibat adanya perbedaan pemahaman keagamaan, maka tidak perlu ada individu atau kelompok yang melakukan penghakiman sepihak, apalagi persekusi, terhadap orang atau kelompok yang berseberangan," Profesor Hamid menyimpulkan.
"Harus dilakukan diskusi dan dialog yang adil dan berimbang, dengan cara yang santun dan beradab, yang melibatkan para pihak yang bertikai dan negara wajib memfasilitasinya. Negara harus hadir untuk menjamin ketenangan dan stabilitas, agar kegaduhan dan keributan tidak terjadi," paparnya lagi.
Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Asep mengapresiasi pencapaian pangkat akademik guru besar kedua pengajar Prodi Ilmu Tasawuf, Fakultas Ushuluddin tersebut. Namun Rektor mengingatkan bahwa pencapaian tersebut sebagai tanggungjawab melakukan pengembangan ilmu yang menjadi bidang keahliannya.
"Sebagai Rektor, saya mengamanatkan kepada keduanya, menjadi guru besar bukan sebatas pencapaian identitas yang tertinggi. Namun guru besar, sebagaimana bisa disaksikan di belahan dunia lain, harus menunjukan dedikasi, kecintaan, dan komitmen atas keilmuan," ujarnya.
Seorang guru besar, lanjutnya, harus semakin giat dan terbuka untuk mengajar para mahasiswa dan mendampingi mereka menggali bidang ilmunya. Seorang guru besar juga diharapkan semakin terbuka untuk bisa melakukan riset kolaboratif dengan rekan sejawat.
"Profesor dalam bidang ilmu yang sama bisa saling kolaborasi, bukan saling menjauh satu sama lain. Jadi itu yang harus kita budayakan. Jangan sampai jadi guru besar jadi susah dihubungi kolega dan mahasiswa atau menjauh dari kampus. Itu bukan profesor, tapi businessman akademisi," tandasnya. (hmn/zm)