Dijajah oleh Hawa Nafsu
Dr. Mu'min Roup, M.A.
“Hal terbaik untuk dapat menemukan diri kita adalah dengan cara menghilangkan diri kita demi untuk kepentingan dan kemaslahatan banyak orang.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)
DALAM kehidupan sehari-hari, tanpa disadari kita sering menciptakan ilusi demi ilusi atas nama kemerdekaan. Keserakahan dan keangkuhan yang kadang menggerogoti diri kita, termasuk bagian dari penjajahan yang laten dan membahayakan. Apakah kita sempat mengamati bagaimana gangguan dan godaan yang mengepung keseharian kita, sebenarnya bagian dari bentuk penjajahan juga?
Coba bayangkan, bagaimana sikap kita bila menerima tamu yang mengendarai Pajero, Alphard maupun Lexus, ketimbang tamu yang hanya mengendarai motor Astrea butut? Kita selalu merasa keren dan wah ketika mengenakan dan menggunakan produk tertentu, meskipun hanya barang tiruan atau kreditan. Kita merasa diri kita hebat ketika dikenal orang lain sebagai intelektual atau kaum akademisi yang bergelar. Kita seakan-akan merasa terhina dan terbelakang lantaran tidak pernah update mengikuti percepatan informasi digital yang berkembang.
Di kalangan budayawan dan sastrawan begitu-begitu juga. Kita akan merasa terpojokkan ketika bersua dengan kalangan sastrawan dan seniman yang terbilang sepuh dan senior. Kita akan merasa sesat dan jauh dari Tuhan manakala tidak memiliki simbol dan atribut keagamaan.
Betapa kemerdekaan sebagai "fitrah" dan anugerah Tuhan begitu gampang terjajah dengan cara begitu rupa, sampai-sampai tak menyadari bahwa segala pangkat, gelar, dan kedudukan itu hanyalah tuhan-tuhan kecil, serupa hijab-hijab yang telah kita ciptakan sendiri. Di kalangan agamawan, buat apa mereka membentuk kotak-kotak kebenaran sambil mendesain kostum tertentu demi asumsi kesalehan yang dibanggakan?
Betapa banyak orang Indonesia yang frustrasi menyudahi suatu urusan, meski sebenarnya mereka belum berbuat apa-apa. Barangkali mereka sudah merasa sepuh dan tak lagi ada umur sehingga enggan berbuat untuk kepentingan dunianya seolah-olah besok akan mati. Mencoba membangun rencana baru, tetapi sudah merasa tak ada waktu dan tenaga lagi. Mereka tak mau dirinya dianggap "sampah masyarakat", tetapi tidak lagi punya keberanian untuk memulai dari titik nol. Seolah-olah sudah merasa terlambat, tak ada yang bisa diperbaiki lagi.
Padahal sejatinya, kita diingatkan oleh petuah Rasulullah, bahwa apa-apa yang tak mungkin kita kerjakan semuanya, jangan lantas ditinggal semuanya. Selagi kita sanggup menanam satu pohon yang masih bisa kita tanam, maka tak usah kita merisaukan ribuan pohon yang tak mungkin kita jangkau.
Sungguh tepat suatu adagium, bahwa di era milenial ini tampaknya terlampau banyak orang yang umurnya tua namun belum pernah mencapai kedewasaan. Diri mereka terbilang tua secara umur, tetapi belum selesai dalam hal usia. Mungkin seseorang sudah tidak lagi berjumpa dengan orang yang dia musuhi, namun sejatinya permusuhan dalam hatinya masih kentara jelas.
Boleh jadi orang yang dia benci sudah almarhum, tetapi jiwa kebencian dalam dirinya masih tetap hidup. Dia tahu bahwa permaafan itu adalah jalan yang dicintai Allah, namun ia berdalih seakan-akan tak mau melupakan. Padahal, dia sendiri sangat menginginkan agar Allah memaafkan segala dosa dan kesalahannya di masa lalu.
Tentu saja ada yang sudah menjadi kaya raya, sukses, tercapai cita-citanya, bahkan pernah berkuasa di daerahnya, tetapi setelah lengser pun tampaknya masih merasa haus untuk disanjung dan dipuja-puja.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa kemerdekaan jiwa tidaklah cukup dengan kata "pernah mengalami", akan tetapi membutuhkan adanya penyelesaian. Dalam istilah sastra, sering diungkap oleh Hafis Azhari, bahwa untuk dapat melayani umat (memimpin), bahkan menulis dengan baik, dibutuhkan manusia-manusia yang "selesai" dengan dirinya. Untuk itu, dia tidak memerlukan ketip demi ketip royalti yang dikucurkan, tetapi terus saja berbuat yang terbaik demi kemaslahatan.
Dengan kata lain, kemerdekaan tidak akan pernah dirasakan dan dinikmati oleh orang-orang yang tamak dan rakus, yakni orang-orang yang sibuk mengintip prestasi dan kesuksesan orang lain, seakan-akan merupakan hak milik yang ingin direbutnya. Dalam jiwa manusia selesai, terkandung rasa cukup dan puas (wala saufa yu'thika rabbuka fatardla). Dia senantiasa puas dengan karunia dan anugerah Allah, biar simpel dan sederhana sekalipun. Dalam jiwa yang ikhlas dan terpuaskan, maka kemerdekaan telah mencapai muara dan tujuannya.
Dalam jiwa yang ikhlas itu, senantiasa kita diingatkan oleh kepasrahan diri Nabi Ibrahim, bahwa "Cukuplah Allah sebagai penolong bagiku" (Hasbunallah wani'mal wakil). Itulah kepasrahan hati orang yang tak terjajah, dan tidak berhasrat untuk menjajah pihak lain. Justru para penjajah itulah yang terbelenggu oleh dirinya sendiri, karena ia tak pernah sampai untuk menjadi manusia terpuaskan, yang berarti juga tak pernah menjadi "manusia selesai".
Orang yang merdeka jiwanya hanya mengabdi pada Allah, tanpa kepentingan relasi apa pun. Suatu bangsa dianggap merdeka karena bangsa itu berdiri tegak di kaki sendiri, tanpa bergantung pada bangsa-bangsa lain. Begitu pun fitrah hidup manusia, semestinya berjiwa independen, lapang dan terbuka, dapat melangkah tanpa perlu merasa diikat dan dibelenggu oleh pihak lain.
Jadi, pada dasarnya penjajah-penjajah yang membelenggu daya hidup manusia bukanlah faktor eksternal yang menghambat, melainkan faktor internal yang menciptakan batasan-batasan hingga membuat dirinya merasa terpenjara. Secara fitrah, manusia tentu saja tak menginginkan batasan yang memenjarakan itu, karena dalam kalbunya menyadari bahwa "jiwa merdeka" adalah hak setiap individu maupun suatu bangsa.
Untuk itu, menjadi manusia Indonesia yang merdeka, seperti disinyalir dalam novel Pikiran Orang Indonesia, semestinya cukup peka dan peduli pada realitas yang ada. Suatu realitas kehidupan yang autentik, polos dan apa adanya. Tetapi, fakta yang kita hadapi sebagai bangsa merdeka, hingga saat ini masih selalu kita jumpai manusia-manusia yang terjajah oleh segala asumsi dan persepsinya sendiri.
Di media-media sosial, khususnya daring dan elektronik, sering kali kita temukan pikiran-pikiran yang seenaknya memerkosa realitas. Atas nama cinta dan kebebasan berekspresi, ratusan dan ribuan karya-karya sastra (seni) dipoles sedemikian rupa, sambil mengumbar syahwat birahi dan ambisi pada harta dan kekuasaan duniawi, yang bersifat nisbi dan semu belaka. Di atas bangunan persepsi dan asumsi liar itu, seberapa banyak yang termanifestasikan dalam praktik kehidupan, yang akhirnya membuat para pelakunya terperangkap dalam jaring-jaring ciptaannya sendiri.
Oleh karena itu, mari kita terus muhasabah dan introspeksi diri. Senantiasa kita terus bergerak mengajak semua pihak agar melangkah di jalan kebaikan, guna terciptanya identitas baru manusia Indonesia yang lebih mencerdaskan dan mendewasakan. (ZM)
Penulis adalah Dosen Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Artikelnya dimuat di kolom opini Tribunnews.com, Rabu 20 September 2023.