Determinisme
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa determinisme berarti paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya dan ada di luar kemauan. Artinya, hidup dan aktivitas manusia itu ditentukan (determinan) oleh kekuatan di luar dirinya, khususnya kekuatan alam.
Determinisme atau determinisme kausal, dalam fisika dikenal sebagai sebab dan akibat, memandang bahwa peristiwa dalam suatu paradigma terikat oleh kausalitas, sehingga setiap peristiwa sepenuhnya ditentukan oleh kondisi-kondisi sebelumnya. Jadi, manusia dan perilakunya itu ditentukan oleh alam. Di antara tokoh aliran determinisme adalah Charles Darwin, Frederich Ratzel dan Elsworth Huntington.
Menurut Charles Darwin (1809), dengan teori evolusinya, makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami perkembangan, dan dalam proses perkembangannya terjadi seleksi alam (natural selection). Makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan mampu bertahan dan lolos dari seleksi alam. Jadi, alam berperan sangat menentukan eksistensi dan aktivitas manusia.
Sementara itu, Frederich Ratzel (1844-1904) berpendapat bahwa manusia dan kehidupannya sangat tergantung pada alam. Perkembangan kebudayaan ditentukan oleh kondisi alam. Mobilitasnya yang tetap dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di bumi. Dalam Principle of Human Geographie, Elsworth Huntington memperkuat dua pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Iklim di dunia sangat beragam. Keragaman iklim tersebut menciptakan kebudayaan yang berlainan. Sebagai contoh, kebudayaan di daerah beriklim dingin berbeda dengan di daerah beriklim hangat atau tropis. Masyarakat yang hidup di daerah padang pasir pasti kebudayaan tidak sama dengan masyarakat yang hidup di daerah subtropik.
Dengan demikian, determinisme memandang manusia itu terpaksa dan tidak memiliki kebebasan dalam seluruh perbuatannya. Pandangan ini hampir sama dengan teologi Jabariyah dan Asy’ariah. Dalam hal ini, manusia bagaikan wayang, ditentukan dan tergantung pada dalang, terpaksa (majbur, musayyar) dalam setiap perbuatannya, tidak memiliki kehendak, ikhtiar dan kebebasan. Semua perbuatan manusia ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan.
Argumen teologi fatalisme (determinisme) menyatakan bahwa apabila manusia memiliki ikhtiar dan kebebasan, berarti membatasi domain kekuasaaan Tuhan. Semua yang terjadi di alam raya ini, termasuk perbuatan manusia, dapat terjadi karena kehendak Tuhan. Hal ini, antara lain, didasarkan pada ayat: وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ ۗمَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۗسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ “Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS al-Qashash: 68)
Argumentasi lain Asyariah adalah ketiadaan keselarasan antara qadha dan qadar Ilahi dengan ikhtiar manusia. Yang dimaksud dengan takdir Ilahi adalah bahwa Tuhan memberikan kadar dan batasan kualitas dan kuantitas, ruang dan waktu khusus yang mengikut pada mekanisme kausalitas dan faktor-faktor gradual pada segala sesuatu. Adapun ketentuan (qadha) Ilahi bermakna bahwa setelah tersedianya segala pendahuluan, sebab dan syarat sebuah fenomena, maka ketentuan Ilahi akan menyampaikan segala sesuatu itu pada tingkatan puncak dan niscaya terealisir. Karena itu, manusia tidak memiliki pengaruh dan peran dalam mewujudkan perbuatan manusia sendiri. Jadi, manusia itu tidak bebas menentukan pilihan dalam hidupnya.
Namun demikian, determinisme atau fatalisme dalam Islam tidaklah mutlak, karena manusia dicitpkan oleh Allah SwT. dengan potensi dan daya: akal (berpikir), hati, fitrah, dan petunjuk (hidayah, berupa syariat) dengan diutusnya pada Nabi dan Rasul. Karena itu, manusia diberikan amanah dan taklif (penugasan dan tanggung jawab) dalam beribadah dan mengemban khilafah (kepemimpinan) di muka bumi.
Maka itu, muncullah aliran qadariyah (berasal dari kata qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan) yang merupakan antítesis dari Jabariyah. Paham teologi ini berpendapat bahwa manusia diberikan kebebasan berkehendak dan kemampuan untuk memilih dan melakukan perbuatan-perbuatannya (mukhayyar). Semua perbuatan manusia dilakukan atas dasar kehendaknya sendiri. Mereka juga bertanggung jawab penuh atas perbuatan baik maupun buruk selama hidupnya. Dalam hal ini, Allah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (QS al-Baqarah: 286).
Oleh karena itu, determinisme absolut tidak sesuai dengan teologi Islam rasional yang menempatkan manusia pada posisi lemah, tidak berdaya, tergantung pada faktor alam dan semata-mata takdir Tuhan. Padahal semua perbuatan manusia di akhirat kelak akan dimintai pertanggungan jawab, dan akan diberikan ganjaran: surga atau neraka sesuai amal baik atau buruknya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS al-Isra’:36]
Jadi, Mukmin harus percaya kepada takdir, sekaligus percaya bahwa Allah telah memberikan kemampuan berpikir, kebebasan berkehendak (free will), kebebasan berbuat (free act), termasuk kemampuan memilih perbuatan baik atau buruk, sehingga ia harus melakukan amal yang dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Oleh sebab itu, mukmin harus berusaha melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan berkemajuan, karena perubahan itu dimulai dari diri sendiri, bukan dari faktor eksternal. إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS ar-Ra’d:11)