Desensitisasi
SEHARI setelah gempa bumi di Sumatera Barat, saya menerima beberapa pesan singkat (SMS) yang sama melalui handphone, bahwa gempa bumi itu terjadi pada pukul 17.16 WIB, lalu dikaitkan dengan surat dan ayat Alquran: 17:16,yang artinya: Dan apabila Kami menghendaki untuk membinasakan satu negeri, maka Kami menyuruh orang-orang yang hidup mewah lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu. Maka berlakulah ketentuan Allah atasnya, lalu Kami menghancurkannya sehancur-hancurnya.
Sebagai seorang muslim, saya meyakini sepenuhnya kebenaran isi Alquran yang menyebutkan bahwa Allah akan menghukum suatu kaum yang durhaka pada- Nya, dan sangat bisa jadi sekelompok masyarakat yang tidak berdosa akan ikut menderita karenanya. Begitulah salah satu bunyi ayat Alquran.
Namun ketika saya menerima edaran SMStersebut,dan ternyata banyak teman juga menerima,hati saya bertanya. Apakah betul pemahaman saya terhadap ayat Alquran tersebut ketika mengaitkannya dengan musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatera Barat dan sekitarnya? Kesan yang muncul dari SMS itu pengirimnya berpandangan bahwa Allah tengah menghukum dosa mereka yang hidup mewah dan durhaka pada Allah.
Ada lagi yang menulis, mereka jadi tumbal dari dosa-dosa yang dilakukan oleh para elit di negeri ini. Apakahbijakdisaatsaudarakita tertimpa musibah, lalu mengedarkan SMSayat Alquran yang seakan membenarkan terjadinya musibah atas mereka lantaran adakecocokan antara jam peristiwa dengan nomor suratdanayat Alquran?
Lalu,apakah ketika terjadi gempa di Jawa Barat, Yogyakarta dan beberapa wilayah Indonesia yang sering terkena gempa juga ada korelasi kecocokan waktu dan nomor ayat Alquran? Karena terdapatdaerahyangdiduga akan terkena gempa susulan, bagaimana mencari korelasi antara ayat dan peristiwa itu?
Lebih jauh lagi,bagaimana memahami negaranegara lain yang juga menjadi langganan peristiwa gempa dan angin topan yang selalu menelan korban itu? Dalam tradisi Islam memang ada pemikiran yang selalu mencoba mengaitkan antara ayat qauliyahdan ayat kauniyah,antara kitab suci yang tertulis dan kitab suci yang terhampar dalam jagad semesta.Namun berbagai tafsiran itu tetaplah dalam batas tafsiran, tidak ada jaminan meraih kebenaran mutlak.
Semua penafsiran selalu berusaha mencari kebenaran, tetapi haruslah tetap bersikap rendah hati dan bijaksana. Seorang teman yang saya duga berasal dari Sumatera Barat menulis dalam FB saya,ketika negaranegara lain yang bukan muslim tengah menggalang dana bantuan dan sebagian sudah sampai di tempat, beredarnya SMS di atas sangat menyinggung perasaannya.
Banyak yang jadi korban gempa adalah orang yang hidupnya sederhana. Mereka warga masyarakat yang baik.Bahwa ada misteri di balik gempa yang sangat dahsyat itu, kita serahkan saja pada Allah. Otak manusia tidak sanggup menjangkaunya. Para ilmuwan telah berusaha mempelajari adanya lempengan bumi yang bergerak dan itu bisa mengakibatkan permukaan bumi berantakan.
Mirip hidangan yang tersedia di atas meja menjadi berantakan ketika kaki mejanya ada yang patah. Ilmuwan pun sulit meramal kapan gempa akan terjadi. Jadi, sangat wajar dan benar kalau umat yang beriman lalu mengembalikan semua tragedi itu pada Tuhan sambil melakukan introspeksi. Buah introspeksi itu bagi masyarakat Jepang yang menjadi langganan gempa bumi adalah membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa.
Orang Belanda yang negaranya menempel di pantai lalu membuat tanggul dan kanal agar kotanya tidak tenggelam oleh air laut yang pasang. Demikianlah, karena sudah lama diketahui bahwa beberapa wilayah Indonesia ini memang berada di garis yang berpeluang terkena gempa, maka perlu pendekatan ilmiah-rasional tanpa melupakan berdoa dan bersikap pasrah pada Allah, karena tragedi kehidupan itu bisa terjadi di mana saja dalam bentuk apa saja.
Sekali lagi, saya tidak menghujat dan meragukan kebenaran ayatAlquran,tetapi perlu kepekaan sosial dalam menafsirkannya jangan sampai kitab suci yang mulia dan diturunkan dari Allah Yang Mulia itu malah menyakiti teman kita yang terkena musibah. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah “desensitisasiâ€,yaitu hilangnya sensitivitas moral-emosional ketika melihat problem sosial.
Sekarang ini fenomena desensitisasi mudah sekali dijumpai dalam ranah politik, birokrasi dan juga masyarakat. Kolega saya, Amsal Bahtiar, belum lama ini ke rumah sakit untuk periksa kesehatan sebagai salah satu syarat ibadah haji. Dia heran, begitu panjang antreannya, dan di antaranya adalah orang-orang yang lanjut usia.
Mereka ingin periksa kesehatan untuk ibadah haji. Tetapi, kata Amsal, mengapa yang muda-muda itu tidak peka,membiarkan orangtua ikut antre panjang? Padahal sama-sama ingin beribadah haji? Ini salah satu contoh desensitisasi. Ada lagi yang memberi komentar, di saat warga Sumatera Barat menderita kekurangan bantuan, tak jauh dari situ Golkar tengah mengadakan kongres memperebutkan ketua umum dalam suasana yang sarat dengan permainan uang untuk membeli suara.
Ini juga bentuk lain dari desensitisasi. Dalam kajian psikologi,desensitisasi ini muncul dan kian menguat ketika masyarakat terbiasa dihadapkan perilaku menyimpang dan peristiwa kekerasan sehingga terjadi kekebalan dalam perasaannya. Mereka tidak lagi peka melihat penyimpangan dan penderitaan (emotionally and morally insensitive).
Akibat lebih lanjut lagi akan memunculkan apa yang disebut compassion fatigue, keletihan untuk merasa terharu dan kasihan ketika melihat penderitaan yang dialami sesama. Empati dan dorongan untuk menolong sesama adalah salah satu pesan pokok agama. Ketika dua sifat ini hilang, ambruklah moralitas masyarakat dan bangsa. Apakah masyarakat kita tengah mengarah ke sana? (*)
Â