Demokrasi Ramah Perempuan

Demokrasi Ramah Perempuan

Dzuriyatun Toyibah

 

Representasi politik perempuan di seluruh dunia secara umum mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada Januari 2019, perempuan memegang 24,3 persen kursi parlemen di seluruh dunia dibandingkan 13,4 persen pada tahun 2000.

Angka representasi perempuan di lembaga parlemen secara global yang tak sampai seperempat dari keseluruhan jumlah anggota parlemen menunjukkan keterpilihan perempuan untuk menjadi anggota parlemen masih belum sesuai dengan standar kesetaraan perempuan dalam politik.

Pemilu-pemilu di Indonesia sejauh ini belum ramah perempuan. Pada Pemilu 2019, jumlah keterwakilan perempuan di DPR 20,9 persen, naik dari 17,3 persen pada Pemilu 2014. Angka 20,9 persen tetap menjadi penting karena lebih dekat ke angka rata-rata keterwakilan perempuan di parlemen di tingkat global dibandingkan pemilu sebelumnya.

Sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan kuota jender menawarkan peluang lebih besar bagi perempuan untuk menang di pemilihan legislatif. Kesenjangan dalam keterpilihan bagi kandidat laki-laki dan perempuan cukup tinggi. Tingkat kemenangan perempuan 3,69 persen pada 2019 (turun dari 3,93 persen pada 2014), sementara laki-laki 9,55 persen atau 2,6 kali lebih tinggi.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan berlangsung 20 November 2023, bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Pusat Studi Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Salah satu agenda utamanya, merespons situasi terkini politik Indonesia: apakah Pemilu 2024 akan menghasilkan representasi politik perempuan dan demokrasi yang lebih berkeadilan jender.

 

Potensi dan tantangan

Data menunjukkan bahwa peningkatan representasi politik perempuan telah berdampak positif dan mendorong kebijakan yang inovatif, meningkatkan kualitas kelembagaan, dan juga mengurangi korupsi.

Meski demikian, bias dan diskriminasi yang bersifat sistematis pada kandidat politisi perempuan masih sangat nyata.

Teori “permintaan dan penawaran” (supply and demand) yang digunakan untuk menjelaskan situasi Pemilu 2019 masih tetap relevan untuk memprediksi Pemilu 2024. Dari sisi supply, partai beralasan dengan masalah sulitnya menemukan kandidat perempuan yang memenuhi ekspektasi mereka.

Sementara dari aspek demand, parpol juga menempatkan masalah kuota 30 persen sebagai hal yang bersifat administratif seremonial karena diatur dalam undang-undang.

Orientasi parpol yang paling utama adalah bagaimana mendapatkan figur sebagai penggalang suara (voter gathering), yakni mereka yang sudah memiliki popularitas. Demikian juga teori glass ceiling tetap relevan mengingat sikap patriarki termanifestasikan dalam opini publik, seperti menganggap ajaran agama tak membolehkan pemimpin perempuan; perempuan sebaiknya fokus urusan rumah tangga saja.

Selain itu, tantangan pada Pemilu 2019 adalah perempuan terpilih bukan karena ekspektasi yang diharapkan dari sebuah proses demokrasi. Sebaliknya, profil perempuan yang menjadi wakil rakyat disinyalir terkait dengan politik dinasti di mana anggota DPR perempuan terpilih memiliki koneksi yang erat dengan pemimpin politik yang sedang berkuasa.

Secara umum dipercaya bahwa masalah finansial menjadi masalah sangat penting untuk keberhasilan kandidat politisi untuk menang di kontestasi pemilu. Biaya pemilu sangat mahal karena mengharuskan kandidat untuk menyapa setiap calon pemilihnya dan memastikan mereka tetap memilihnya dengan berbagai media kampanye yang tentu saja memerlukan biaya.

Aktivitas kampanye dengan baliho, iklan di media massa, kampanye tatap muka secara massal ataupun dari rumah ke rumah (door to door) tentu memerlukan biaya tidak sedikit. Belum lagi praktik kampanye dengan membagi-bagikan sembako, uang, dan lain-lain yang biasanya masuk kategori politik uang (money politics).

Dengan demikian, politisi yang memiliki akses terhadap sumber-sumber keuangan memiliki potensi lebih besar untuk bisa dipilih rakyat. Mereka umumnya adalah kandidat yang dekat dengan penguasa politik saat ini.

Hal-hal tersebut sangat mengganggu kualitas demokrasi dan sering kali diabaikan para pemimpin politik di Indonesia.

Mereka memaknai demokrasi secara sempit, yang penting ada pemilu, dan ada rakyat yang mau memilih. Orientasi utama adalah bisa berkuasa dan terus bisa mempertahankan kekuasaannya sehingga demokrasi prosedural dipercaya sebagai suatu mekanisme demokrasi.

Mereka tidak peduli dengan substansi demokrasi dan baru mengingatnya ketika posisi sedang tidak diuntungkan. Sebaliknya dalam situasi sebagai pemenang, demokrasi digunakan sebagai klaim-klaim yang tentu saja dinarasikan sesuai dengan kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tidak heran jika muncul narasi-narasi yang menoleransi politik dinasti dan politik uang sebagai hal yang wajar dan sebagai hal yang bisa diterima dan sejalan dengan demokrasi.

Hal ini tentu sangat menyedihkan karena perempuan juga harus beradaptasi dengan realitas politik tersebut. Bagi mereka yang tidak bisa beradaptasi, kemungkinan untuk bisa survive menjadi kecil.

 

Kemenangan ”menakjubkan”

Meskipun situasi demokrasi sangat rentan, kemenangan-kemenangan yang menakjubkan perlu tetap dijadikan sinar yang terus menyala. Salah satunya pengalaman perempuan di berbagai wilayah tetap bisa bertahan dalam permainan demokrasi prosedural.

Biaya politik diminimalisasi dengan strategi-strategi yang bisa memenangi hati masyarakat pemilih. Misalnya, investasi dalam kehidupan sosial, di mana masyarakat dilayani dengan baik sehingga mereka yang memiliki reputasi baik tersebut akan tetap mendapatkan tempat di masyarakat.

Hal tersebut terbukti dari kenyataan bahwa tidak semua politisi yang menggunakan politik uang bisa berhasil memenangi kontestasi politik.

Keberadaan UU tentang penanganan kekerasan seksual yang berhasil disahkan DPR membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang relatif ramah terhadap perempuan.

Masalah-masalah sulit terkait dengan interpretasi agama yang sering digunakan untuk melemahkan hak-hak perempuan bisa diimbangi dengan munculnya pemahaman agama yang ramah terhadap perempuan. Hal ini merupakan kontribusi para aktivis perempuan yang umumnya bergabung di KUPI, selain kontribusi dari anggota legislatif perempuan yang terpilih di Pemilu 2019.

Kemenangan-kemenangan yang hampir seperti keajaiban itu tetap ada. Tentu diharapkan munculnya kemenangan-kemenangan tersebut di Pemilu 2024 bisa semakin banyak.

Di tengah tantangan dan sikap pesimistis terhadap demokrasi Indonesia, peristiwa-peristiwa yang menakjubkan ini perlu terus diingat agar ada keyakinan bahwa demokrasi dan pemilu di Indonesia tetap memiliki potensi untuk bisa ramah terhadap perempuan meski tantangan yang ada sangat berat. (ZM)

 

 

Penulis adalah Dekan FISIP Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di kolom opini Kompas, 20 November 2023.