Demokrasi Presidensial dan Pilkada

Demokrasi Presidensial dan Pilkada

Saiful Mujani

 

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7 menyatakan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Aturan ini merupakan salah satu prasyarat bagi sistem demokrasi presidensial (presidensialisme).

Sementara itu, prasyarat bagi demokrasi parlementer (parlementarisme), kepala pemerintah dipilih oleh anggota parlemen, bukan oleh rakyat secara langsung (Linz, 1990).

Muncul pertanyaan, apakah pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang belakangan didengungkan oleh Presiden Prabowo Subianto konstitusional dalam presidensialisme tersebut?

 

Konstitusionalitas pemilihan langsung

UUD kita memang tidak eksplisit menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Ia hanya secara eksplisit menyatakan bahwa kepala daerah dipilih ”secara demokratis”, yang dapat ditafsirkan dipilih secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Sebagian elite ada yang cenderung menafsirkan ”secara demokratis” itu bisa berarti boleh secara ”tidak langsung”, dengan alasan-alasan tertentu, terutama karena pemilihan secara langsung dianggap ”mahal”, ”memecah belah”, atau ”merusak moral bangsa”.

Lepas dari klaim-klaim ini, dan perlu bukti empirik yang memadai, kita harus mengkaji apakah secara umum di dunia ada pola hubungan empirik antara presidensialisme dan bentuk pilkada secara tidak langsung, dan mengapa?

Menurut observasi penulis dari berbagai literatur dan data online (daring), di dunia belakangan ini hanya ada 73 negara dengan sistem demokrasi ”sempurna” dan ”tidak sempurna” (Economist Intelligence Unit, 2022). Sisanya otoritarianisme. Dari 73 negara tersebut, 43 menganut parlementarisme, 17 presidensialisme murni, dan 13 semi-presidensialisme atau campuran.

Dari 17 presidensialisme murni, 53 persen gubernurnya dipilih langsung oleh rakyat dan 82 persen bupati atau wali kotanya juga dipilih langsung oleh rakyat. Dengan kata lain, ada pola umum yang menunjukkan bahwa dalam presidensialisme dunia, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Sebaliknya, dalam parlementarisme, dari 43 negara, 53 persen gubernurnya dipilih secara tidak langsung, sementara bupati atau wali kotanya hanya 48 persen yang dipilih secara tidak langsung oleh rakyat.

Dengan kata lain, dalam parlementarisme tidak ada pola yang cukup konsisten bahwa sistem ini membuat kepala daerahnya dipilih secara tidak langsung—ini merupakan ciri dasar dari parlementarisme. Ada cukup banyak atau bahkan mayoritas kepala daerah tingkat dua di demokrasi parlementer kepala daerahnya dipilih secara langsung.

Satu contoh klasik dari penyimpangan ini ialah kota London. Wali kotanya dipilih langsung oleh rakyat. Dikatakan klasik karena menyimpang dari sistem parlementer Inggris yang merupakan model klasik parlementarisme dalam sejarah politik dunia.

Kita juga perlu secara khusus memperhatikan sistem politik Korea Selatan dan Taiwan dalam membicarakan pilkada ini karena keduanya demokrasi presidensial terbaik di Asia, yang lebih dekat secara geografis dan mungkin juga secara budaya dengan Indonesia. Negara lainnya tak demokratis, atau demokratis yang belum sempurna seperti negara kita, Filipina, dan Mongolia.

Korea Selatan dan Taiwan bisa jadi model buat kita karena menganut presidensialisme paling demokratis di Asia dan tingkat kesejahteraan rakyatnya termasuk ke dalam kelompok atas negara-negara di dunia. Memasukkan unsur kesejahteraan dalam mendiskusikan sistem pemerintahan menjadi sangat penting karena sering dituntut agar demokrasi menciptakan kesejahteraan.

Model kita bukan China ataupun Singapura, yang hanya sejahtera, tetapi tak demokratis, atau sejahtera dengan jalan otoritarian. Kalau bisa sejahtera secara demokratis seperti dibuktikan dengan baik oleh Korea Selatan dan Taiwan, mengapa memilih jalan China, Singapura, atau Orde Baru? Kepala negara Korea Selatan dan Taiwan dipilih langsung oleh rakyat, demikian juga kepala daerahnya, dengan sedikit perbedaan untuk tingkat provinsi di Taiwan.

 

Nilai kekuasaan di tangan rakyat

Mengapa kepala daerah dalam sistem presidensial murni umumnya dipilih secara langsung, dan mengapa kepala daerah tingkat dua dalam sistem parlementer umumnya juga dipilih secara langsung, bukan dipilih oleh anggota parlemen daerah tingkat dua (setingkat DPRD)?

Secara historis, sistem parlementer itu lebih tua. Demokrasi parlementer akar sejarahnya dari sistem kerajaan. Inggris dan banyak negara Eropa Barat merupakan model-model dari kerajaan absolut yang kemudian berevolusi menjadi kerajaan konstitusional.

Meskipun mengakui kerajaan, peradaban manusia makin menghargai demokrasi yang secara populer diartikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat.

Karena itu pula, meskipun menganut sistem parlementer di mana parlemen seharusnya menentukan bangunan politik pusat dan daerah, dalam perjalanannya sistem parlementer ini mengakomodasi nilai kekuasaan di tangan rakyat yang diwujudkan dalam memilih kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Artinya pemilihan langsung kepala negara dan kepala daerah itu adalah evolusi politik lebih maju dibandingkan dengan pemilihan secara tidak langsung.

Di samping itu, sejarah menunjukkan banyak negara baru muncul lewat proses revolusi di mana kerajaan sebelumnya berakhir karena kalah perang atau karena revolusi (Perancis, Amerika Serikat, Indonesia, dan lain-lain). Revolusi ini telah mengakhiri kerajaan. Republik hasil revolusi berdiri dan membutuhkan kepala negara sebagai pengganti raja yang telah hilang karena revolusi.

Kepala negara dan kepala daerah harus punya legitimasi kuat. Dalam demokrasi, dipilih secara langsung merupakan legitimasi paling kuat. Karena itu, kepala negara tak bisa diberhentikan oleh siapa pun kecuali oleh rakyat sendiri lewat mekanisme konstitusional. Tidak bisa dijatuhkan oleh DPR secara politik merupakan prasyarat presidensialisme lainnya.

Mandat dari rakyat untuk kepala daerah juga seperti mandat presiden. Kepala daerah muncul karena raja-raja lokal telah berakhir pengaruhnya setelah Indonesia berdiri lewat revolusi kemerdekaan, kecuali kerajaan Yogyakarta. Kepala daerah, karena itu, menjadi seperti raja lokal. Ia harus punya legitimasi yang kuat. Kalau raja legitimasinya sejarah dan keturunan, kepala daerah legitimasi utamanya ialah mandat dari rakyat dari hasil pemilihan langsung.

Kepala daerah dengan mandat rakyat ini berkuasa untuk masa yang dibatasi. Namun, ia tidak bisa dijatuhkan secara politik oleh DPRD. Ini merupakan wujud dari presidensialisme di tingkat daerah.

 

Stabilitas politik

Kepala daerah berbasis demokrasi presidensial ini akan menciptakan pemerintahan daerah yang stabil dibandingkan dengan kepala daerah berbasis demokrasi parlementer. Seperti DPR di pusat, di daerah pun DPRD tidak bisa menjatuhkan kepala daerah secara politik kecuali ia melanggar konstitusi atau hukum. Ini jelas menjadi keunggulan kepala daerah berbasis pemilihan langsung sebagai turunan logis dari demokrasi presidensial yang kita anut.

Secara historis, demokrasi parlementer gagal diterapkan di negara kita. Kita punya pengalaman pada 1950-an. Waktu itu, pergantian pemerintahan berlangsung hampir tiap tahun karena perubahan koalisi di parlemen sehingga pemerintah tak sempat menjalankan program-programnya. Kesejahteraan sosial ekonomi yang diharapkan sulit diwujudkan. Karena berbagai masalah yang kompleks, demokrasi parlementer kita akhirnya dikubur Soekarno pada 1959.

Becermin dari pengalaman sejarah 1950-an itu, saya percaya, bila pemerintah daerah dipilih DPRD, bukan dipilih oleh rakyat secara langsung, kepala daerah harus bertanggung jawab kepada yang memilihnya, yakni DPRD.

Nasibnya tergantung hasrat politik anggota DPRD. Karena tak ada partai dengan suara mayoritas mutlak di DPRD, dapat diperkirakan koalisi di DPRD mudah berubah seperti di parlemen tahun 1950-an yang membuat pemerintahan tak stabil dan tidak jalan. Kerja rutin partai dan DPRD terutama ialah bagaimana cara menjatuhkan kepala daerah dan menggantikannya.

Ancaman ini tidak menjelma sekarang ini karena kepala daerah sekarang tidak dipilih DPRD. Kepala daerah tak bisa diberhentikan DPRD karena yang memilih dan memberhentikannya adalah rakyat langsung lewat pemilu sebagaimana diatur konstitusi dan UU.

Stabilitas demokrasi presidensial kita 20 tahun terakhir (2004-2024) merupakan bukti empirik penting bahwa presidensialisme berbasis pemilihan kepala negara/pemerintahan secara langsung mampu menciptakan stabilitas politik. Kalau saja kita masih menganut parlementarisme ala MPR-isme, di mana di antaranya presiden dipilih oleh anggota MPR, stabilitas itu dugaan kuat saya tak akan pernah kita dapatkan sekarang.

MPR-isme memang mampu menciptakan stabilitas rezim Soeharto selama 32 tahun, dan ini karena rezim itu otoritarian. Sebenarnya bukan MPR yang menentukan stabilitas itu, melainkan Soeharto dan ABRI dengan cara kekerasan.

Akan lain ceritanya bila MPR itu hasil demokrasi. Diperkirakan MPR tak akan mampu menciptakan stabilitas. Bukti penting untuk ini ialah DPR hasil pemilu demokratis 1999 yang menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tengah jalan. Ini semua merupakan produk MPR demokratis.

Instabilitas ini akan terjadi lagi kalau kita kembali ke MPR-isme berbasis demokrasi, dan di daerah bila kepala daerah dipilih DPRD hasil pemilu demokratis. Bila kita menghilangkan hak rakyat memilih kepala negara dan pemerintahan di pusat dan atau daerah, saya khawatir bukan hanya demokrasi, melainkan juga Indonesia akan berakhir karena hilangnya stabilitas politik di masyarakat yang sangat majemuk, yang selama ini bisa dijaga lewat demokrasi presidensial.

 

Lebih konstitusional

Dengan bukti empirik global dan sejarah demokrasi Indonesia, pilkada secara langsung jelas lebih konstitusional, lebih mampu mewujudkan semangat reformasi serta intensi dan makna ”dipilih secara demokratis” untuk kepala daerah sebagaimana dinyatakan UUD.

Secara historis, pilkada secara langsung dimulai (2005) setelah pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung setahun sebelumnya (2004) sesuai UU pemerintah daerah pascapemilu demokratis 1999. Mahkamah Konstitusi telah mendefinisikan pilkada berada dalam rezim pemilu, dan salah satu asas pemilu (Pasal 2 UU No 7/2017) ialah rakyat memilih secara langsung tanpa perantara sebagaimana dilakukan dalam memilih presiden, DPR, DPD, dan DPRD.

Atas berbagai pertimbangan komparatif global, historis, dan konstitusional, memperkuat pilkada secara langsung tetap pilihan terbaik untuk negara kita. (zm)


Penulis adalah Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom opini Kompas, 30 Januari 2025.