Delik Keagamaan dalam RKUHP

Delik Keagamaan dalam RKUHP

Rumadi Ahmad

 

Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar diskusi dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RKUHP, dibuka seluas-luasnya ke publik (”Kompas”, 3/8/2022).

Instruksi Presiden yang disampaikan melalui Menko Polhukam Mahfud MD ini menjawab kritikan sejumlah kalangan yang merasa diskusi RKUHP, terutama menyangkut 14 isu krusial, belum maksimal. Arahan Presiden ini sangat penting agar pengesahan RKUHP sebisa mungkin mengakomodasi pemikiran berbagai kalangan meskipun pasti tak bisa memuaskan semua pihak.

Salah satu dari 14 isu krusial itu adalah delik keagamaan, atau yang biasa disebut delik penodaan agama. Delik ini dianggap sebagai persoalan sensitif serta perlu hati-hati dalam pembahasan dan perumusan normanya karena berkaitan dengan persoalan keagamaan yang sering menimbulkan ketegangan sosial.

Delik keagamaan, terutama terkait penodaan agama, juga berkali-kali—paling tidak lima kali—diuji materi ke MK, baik terkait UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama; atau Pasal 156; 156a dan 157 KUHP. Dari lima kali uji materi selama 2009-2018, MK membuat putusan konsisten: delik keagamaan dipandang sebagai sesuatu yang konstitusional dan tak bertentangan dengan UUD 1945.

Meski dalam implementasinya sering diskriminatif dan cenderung mengikuti desakan massa, MK berpendapat itu bukan persoalan norma, melainkan lebih pada persoalan implementasi yang tak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan norma.

Meski demikian, dalam Putusan No 140/PUU-VII/2009, MK mengakui adanya kelemahan dalam perumusan norma yang perlu diperbaiki melalui proses legislasi. Perbaikan itu sangat penting agar delik keagamaan tak menimbulkan ekses yang tak perlu, tak diskriminatif, atau dijadikan pasal karet untuk memenuhi tuntutan massa. Pertanyaannya, apakah proses legislasi RKUHP dan perumusan norma terkait delik keagamaan sudah mengarah ke perbaikan sebagaimana dikemukakan MK?

 

Melindungi agama

Salah satu pertanyaan yang senantiasa jadi perdebatan di ruang-ruang diskusi tentang delik keagamaan adalah apakah agama menjadi obyek perlindungan hukum, ataukah perlindungan itu cukup diberikan kepada umat beragama, bukan agama itu sendiri?

Kelompok yang berpendapat agama bisa jadi obyek perlindungan hukum berargumen agama merupakan fakta sosial, bahkan dianggap hal sakral oleh pemeluknya, sehingga harus dapat perlindungan. Bendera Merah Putih yang juga simbol mendapat perlindungan hukum sehingga orang tak boleh merendahkan dan melecehkan, apalagi agama. Adapun kelompok kontra berargumen yang harus dapat perlindungan adalah umat beragama karena agama bukan obyek hukum mandiri yang bisa memperjuangkan kepentingan dirinya.

Kedua pendapat itu sebenarnya tak perlu dipertentangkan karena sejak zaman dulu agama dan umat beragama merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Melindungi agama berarti juga melindungi umat beragama, demikian juga sebaliknya. Jika perlindungan terhadap bendera Merah Putih diterima, di mana bendera Merah Putih juga bukan obyek hukum mandiri yang bisa memperjuangkan kepentingan hukum dirinya, hal sama juga berlaku bagi agama. Pendapat ini yang diambil MK dalam lima kali putusannya terkait delik keagamaan.

 

Lingkup delik keagamaan

Paling tidak ada tiga istilah yang sering dikaitkan dengan delik keagamaan, yaitu blasphemy, defamation of religion (keduanya sering diterjemahkan sebagai penodaan dan/atau penistaan agama), dan hatred speech (pernyataan kebencian).

Dari istilah-istilah ini, delik keagamaan dibagi dalam beberapa kategori teori. Pertama, religionsschutz-theorie (teori perlindungan agama). Menurut teori ini, agama dilihat sebagai kepentingan hukum atau obyek yang akan dilindungi atau dipandang perlu dilindungi oleh negara melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Kedua, gefuhlsshutz-theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah rasa/perasaan keagamaan orang-orang yang beragama.

Ketiga, friedensschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/ketenteraman umat beragama). Obyek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah kedamaian/ketenteraman beragama interkonfensional (di antara pemeluk agama/kepercayaan). Dengan demikian, perlindungan lebih ditujukan pada ketertiban umum (Oemar Senoaji, 1976; Barda Nawawi Arif, 2007).

Dari teori ini, istilah delik keagamaan bisa diartikan, pertama, tindak pidana ”terhadap agama”. Delik ini terkait perbuatan yang dianggap menghina atau menistakan agama atau hal-hal yang disakralkan agama. Dengan demikian, delik ini dimaksudkan untuk melindungi agama dari perbuatan yang menghinakan Tuhan dan agama. Perbuatan itulah yang dipandang sebagai blasphemy atau Godslastering (penghinaan terhadap Tuhan).

Kedua, tindak pidana ”menurut agama”. Delik ini mencakup perbuatan yang menurut hukum yang berlaku merupakan tindak pidana dan dilihat dari sudut pandang agama juga merupakan perbuatan terlarang atau tercela. Ini mencakup juga perbuatan yang menurut hukum yang berlaku tak dianggap sebagai tindak pidana, tetapi dari sudut pandang agama dipandang sebagai perbuatan pidana.

Ketiga, tindak pidana/delik ”yang berhubungan dengan agama” atau ”terhadap kehidupan beragama”. Delik ini terkait perbuatan yang sebenarnya tak terkait langsung dengan agama, tetapi menyangkut kehidupan keagamaan masyarakat, seperti merintangi pertemuan atau upacara keagamaan, penguburan jenazah, menghina benda-benda yang digunakan untuk ibadah, mengganggu orang sedang beribadah (Barda Nawawi Arif, 2007).

Ketiga jenis tindak pidana keagamaan ini diadopsi secara selektif dalam RKUHP. Tindak pidana terhadap agama masih dipertahankan di draf terakhir (Juli 2022) yang disusun pemerintah. Hal ini bisa dilihat di Pasal 302 dengan formulasi yang jauh lebih baik dibanding draf sebelumnya, September 2019.

 

Sejumlah perbaikan

Delik keagamaan di draf terakhir RKUHP (Juli 2022) dituangkan dalam enam pasal, Pasal 302-307. Jika dibandingkan draf sebelumnya yang sudah dibahas di DPR pada 2019, terdapat perkembangan. Pertama, munculnya kata ”kepercayaan”, baik di judul Bab VII maupun di pasal-pasalnya. Judul Bab VII ”Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan dan Kehidupan Beragama”. Bab ini dibagi dalam dua bagian: 1) Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan (Pasal 302-304); dan 2) Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (Pasal 305-307).

Kata ”kepercayaan” ini sangat penting karena menunjukkan adanya afirmasi bahwa kelompok Penghayat Kepercayaan mendapat perlindungan hukum yang lebih kuat, bukan hanya boleh hidup, melainkan juga perlindungan dari kemungkinan adanya tindak pidana dari seseorang. Ini salah satu pendapat MK dalam Putusan No 140/PUU-VII/2009.

Kedua, telah dilakukan perumusan norma delik keagamaan yang lebih baik yang lebih diarahkan pada perbuatan permusuhan dan ujaran kebencian. ”Penodaan agama” lebih dikonkretkan pada perbuatan yang mengandung permusuhan dan ujar kebencian. Ini bisa dilihat di Pasal 302: ”Setiap Orang Di Muka Umum yang: a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau c. menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Untuk menghindari kemungkinan pasal ini diterapkan semena-mena, dalam penjelasan disebutkan, tindak pidana ini tidak bisa diterapkan untuk perbuatan atau pernyataan tertulis ataupun lisan yang dilakukan secara obyektif, terbatas untuk kalangan sendiri, atau bersifat ilmiah mengenai sesuatu agama atau kepercayaan yang disertai usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kalimat yang bersifat permusuhan, pernyataan kebencian atau permusuhan, atau hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, diskriminasi.

Adapun sarana tindak pidana yang diancam dengan Pasal 302 dilakukan dengan menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi (Pasal 303).

Perbaikan perumusan norma juga terdapat di Pasal 304 untuk menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dan melindungi setiap orang dari kemungkinan adanya hasutan dan ancaman kekerasan dalam menjalankan agama dan keyakinannya. Meski demikian, ketentuan ini bukan larangan orang pindah agama. Pasal 304 menyebutkan:

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(2) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 305-307 mengatur soal delik pidana terkait Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah, seperti larangan mengganggu orang yang sedang menjalankan ibadah di tempat ibadah; gangguan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, atau orang yang sedang melaksanakan ibadah (Pasal 305). Pasal 306 melarang setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan.

Pasal 307 melarang setiap orang menodai bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan; merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan.

Secara umum, paradigma dan rumusan delik keagamaan dari waktu ke waktu sudah mengalami perbaikan. Ini menunjukkan pemerintah mendengar masukan dari berbagai simpul strategis masyarakat. Namun, bisa dipahami jika rumusan ini belum memuaskan semua pihak. Tak semua pendapat bisa terakomodasi sepenuhnya. Yang dibutuhkan adalah kedewasaan, jangan sampai jika pendapat kita tak terakomodasi kemudian teriak pembahasan RKUHP dilakukan tertutup dan tak partisipatif. Pembahasan di DPR nanti tetap menjadi forum paling strategis untuk mencari jalan terbaik untuk merumuskan hukum pidana baru bagi bangsa Indonesia. (kompas/zm)

Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tenaga Ahli Utama KSP dan Anggota Badan Khusus Inovasi Strategis PBNU. Artikelnya dimuat di kolom opini Kompas, Kamis (11/8/2022), https://www.kompas.id/baca/opini/2022/08/10/delik-keagamaan-dalam-rkuhp.