Dampak Perubahan Status Kementerian BUMN Jadi Setingkat Badan

Dampak Perubahan Status Kementerian BUMN Jadi Setingkat Badan

Mohammad Nur Rianto Al Arif
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan

Februari 2025 menjadi titik balik penting dalam lanskap ekonomi dan tata kelola korporasi negara Indonesia.

Presiden Prabowo Subianto meresmikan Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara), entitas baru yang digadang-gadang akan menjadi poros utama pengelolaan aset dan investasi negara.

Tak lama setelah itu, wacana perubahan status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi badan setingkat kementerian mulai mencuat.

Pada 25 September 2025, pemerintah bersama komisi VI DPR-RI telah menyepakati revisi Undang-undang BUMN. Salah satu yang disepakati ialah status Kementerian BUMN dihapus dan nanti akan menjadi sebuah lembaga.

Perbaikan lainnya terkait kewenangan BPK untuk dapat mengaudit BUMN, karena dalam UU perbaikan pejabat BUMN ditetapkan pula posisinya sebagai penyelenggara negara.

Transformasi ini bukan sekadar perubahan nomenklatur, melainkan menyentuh jantung tata kelola BUMN, menyangkut peran negara sebagai pemilik, pengawas, dan pengarah perusahaan-perusahaan pelat merah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Di tengah harapan akan efisiensi dan profesionalisme, muncul pula kekhawatiran tentang akuntabilitas, transparansi, dan potensi politisasi.

Tulisan ini akan mengupas secara komprehensif dampak perubahan status Kementerian BUMN menjadi badan dan tantangan pengelolaan BUMN yang profesional dan akuntabel di era baru ini.

Kementerian BUMN dibentuk pada tahun 1998, sebagai respons terhadap krisis ekonomi dan kebutuhan akan reformasi perusahaan milik negara.

Sejak saat itu, kementerian ini berperan sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan saham BUMN, sekaligus sebagai pengarah kebijakan dan pengawas kinerja.

BUMN ibarat urat nadi yang menyambung hajat hidup orang banyak di Indonesia. Mulai dari komoditas listrik dan BBM, pupuk dan pangan, transportasi dan telekomunikasi, hingga bank-bank besar yang menopang likuiditas perekonomian, BUMN menjadi tiang penyangga yang menghubungkan logika bisnis dengan mandat sosial.

Perannya bukan main, yaitu aset BUMN mencapai ribuan triliun rupiah, dividen yang selama ini disetorkan ke APBN setiap tahun menjadi salah satu sumber penerimaan negara, dan ribuan proyek strategis bergantung pada daya ungkit BUMN.

Namun, di balik kontribusi itu, wajah BUMN juga penuh dilema, yaitu inefisiensi, birokrasi panjang, beban sosial yang berat, hingga intervensi politik yang sering membatasi ruang gerak manajerial.

Dalam dua dekade terakhir, Kementerian BUMN telah mengalami berbagai transformasi, termasuk restrukturisasi, privatisasi, dan pembentukan holding-holding strategis. Namun, peran ganda sebagai pemilik dan regulator sering kali menimbulkan konflik kepentingan.

Di satu sisi, kementerian diharapkan mendorong efisiensi dan profitabilitas. Di sisi lain, ia juga menjadi alat politik dan kebijakan populis, terutama menjelang pemilu atau dalam situasi krisis.

Danantara, yang secara resmi diluncurkan pada Februari 2025, merupakan badan pengelola investasi yang bertujuan mengoptimalkan aset negara dan memperkuat daya saing ekonomi Indonesia

CEO pertamanya, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa Danantara akan menjadi rumah bagi mayoritas BUMN, dengan kepemilikan saham sebesar 99 persen.

Struktur Danantara menyerupai sovereign wealth fund seperti Temasek (Singapura) atau Khazanah Nasional (Malaysia).

Ia beroperasi secara korporat, dengan dewan direksi dan komisaris yang profesional, dan tidak tunduk langsung pada birokrasi kementerian.

Dengan model ini, diharapkan pengelolaan BUMN menjadi lebih fleksibel, responsif terhadap pasar, dan bebas dari intervensi politik.

Revisi UU BUMN yang telah disepakati menjadi landasan hukum perubahan status Kementerian BUMN menjadi "Badan Penyelenggara BUMN".

Perubahan ini menggeser fungsi kementerian dari pelaksana operasional menjadi regulator dan pemegang saham simbolik.

Secara kelembagaan, badan ini tidak lagi berada dalam struktur kabinet, melainkan berdiri sendiri setingkat kementerian. Badan ini tidak memiliki kewenangan eksekutif atas BUMN, melainkan hanya fungsi pengawasan dan penetapan kebijakan umum.

Implikasinya sangat besar, yaitu ASN di Kementerian BUMN akan mengalami reposisi, fungsi birokrasi akan dikurangi, dan pengambilan keputusan akan lebih banyak dilakukan oleh Danantara sebagai entitas korporat.

Perubahan status Kementerian BUMN menjadi badan setingkat kementerian membawa implikasi besar terhadap struktur tata kelola BUMN.

Secara institusional, ini menandai pergeseran dari pendekatan birokratis ke pendekatan korporatis. Beberapa dampak utama yang dapat diidentifikasi.

Pertama, desentralisasi pengambilan keputusan. Dengan Danantara sebagai pemegang saham mayoritas, keputusan strategis seperti investasi, restrukturisasi, dan pengangkatan direksi akan lebih banyak ditentukan oleh dewan direksi dan komisaris profesional. Ini mengurangi ketergantungan pada proses birokrasi kementerian.

Kedua, pemisahan fungsi kepemilikan dan regulasi. Kementerian BUMN selama ini memegang peran ganda sebagai pemilik dan regulator.

Dengan transformasi ini, fungsi kepemilikan dialihkan ke Danantara, sementara fungsi regulasi dan kebijakan umum tetap berada di tangan badan baru.

Ketiga, risiko fragmentasi dan tumpang tindih. Meskipun tujuannya adalah efisiensi, ada risiko bahwa koordinasi antara badan baru dan Danantara menjadi tidak sinkron.

Tanpa mekanisme komunikasi dan kontrol yang jelas, bisa terjadi kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan.

Keempat, perubahan kultur organisasi. ASN yang sebelumnya bekerja di Kementerian BUMN akan menghadapi tantangan adaptasi terhadap kultur korporat yang lebih dinamis dan berorientasi hasil. Ini memerlukan pelatihan ulang, perubahan mindset, dan restrukturisasi SDM.

Transformasi kelembagaan tidak serta-merta menjamin profesionalisme dan akuntabilitas. Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Terdapat beberapa argumen yang mendukung perubahan status kelembagaan ini.

Argumen pertama ialah terkait profesionalitas dalam pengelolaan BUMN. Status badan diyakini memungkinkan BUMN dikelola dengan orientasi bisnis murni. Keputusan strategis dapat diambil dengan cepat tanpa terhambat prosedur birokrasi kementerian.

Argumen kedua ialah diharapkan perubahan kelembagaan ini akan mengurangi intervensi politik. Sebagai badan, posisi BUMN lebih stabil dan tidak terikat pada siklus reshuffle kabinet. Keputusan bisnis tidak lagi menjadi arena politik praktis.

Ketiga, konsistensi jangka panjang. Proyek-proyek raksasa seperti infrastruktur energi atau transportasi memerlukan konsistensi puluhan tahun. Status badan memungkinkan kesinambungan strategi meski pemerintahan berganti.

Keempat, efisiensi dan sinergi. Dengan struktur lebih ramping, koordinasi antar-BUMN bisa lebih mudah, terutama untuk membangun holding-holding besar.

Namun, ada pula argumen yang mengkritisi terkait perubahan status kelembagaan ini.

Pertama, akuntabilitas publik. Kementerian BUMN jelas bertanggung jawab ke presiden dan DPR. Jika menjadi badan, perlu ditentukan secara tegas mekanisme akuntabilitas agar tidak muncul ruang abu-abu.

Kedua, risiko komersialisasi. Terdapat kekhawatiran BUMN hanya mengejar keuntungan, sementara fungsi sosial (BBM satu harga, listrik desa, kredit murah) terpinggirkan.

Ketiga, pemerintah harus segera melakukan perubahan atas UU BUMN. Perubahan status memerlukan revisi besar-besaran terhadap UU BUMN, UU Keuangan Negara, dan berbagai peraturan turunan.

Tanpa landasan hukum kokoh, badan berpotensi berjalan setengah hati.

Keempat ialah risiko konsentrasi kekuasaan. Superholding BUMN bisa menjadi entitas terlalu kuat, sulit diawasi, bahkan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan elite.

Agar transformasi ini berhasil dan tidak menimbulkan disfungsi, ada beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, pembentukan dewan pengawas independen. Badan baru dan Danantara perlu diawasi oleh dewan independen yang terdiri dari akademisi, profesional, dan perwakilan masyarakat.

Kedua, transparansi proses pengangkatan direksi. Proses seleksi harus berbasis merit, terbuka, dan diawasi oleh lembaga independen. Publik harus bisa mengakses informasi tentang latar belakang dan kinerja direksi.

Ketiga, audit dan publikasi kinerja berkala. Setiap BUMN dan Danantara harus menerbitkan laporan keuangan dan kinerja yang diaudit secara independen dan tersedia untuk publik.

Keempat, pendidikan dan pelatihan ASN. ASN yang terdampak perlu diberikan pelatihan dan kesempatan untuk beradaptasi dengan kultur baru. Jangan sampai transformasi ini menjadi pemutusan hubungan kerja massal yang tidak adil.

Kelima, keterlibatan DPR dalam kebijakan strategis. Meskipun operasional diserahkan ke Danantara, kebijakan strategis seperti privatisasi dan restrukturisasi besar harus tetap melibatkan DPR sebagai representasi rakyat.

Transformasi status Kementerian BUMN menjadi badan setingkat kementerian, bersamaan dengan berdirinya Danantara, menandai era baru dalam pengelolaan perusahaan milik negara.

Ini bukan sekadar perubahan struktur, tetapi pergeseran paradigma, yaitu dari birokrasi ke korporatisme, dari kontrol politik ke profesionalisme, dari kerahasiaan ke transparansi.

Namun, perubahan kelembagaan hanyalah langkah awal. Tantangan sesungguhnya terletak pada implementasi. Tanpa komitmen terhadap tata kelola yang baik, integritas, dan akuntabilitas, transformasi ini bisa menjadi kosmetik belaka.

Sebaliknya, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, Indonesia berpeluang memiliki BUMN yang tidak hanya efisien dan kompetitif, tetapi juga menjadi pilar pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Danantara, sebagai entitas baru, memikul harapan besar. Ia harus membuktikan bahwa model pengelolaan aset negara bisa berjalan tanpa intervensi politik, dengan hasil yang nyata bagi rakyat.

Sementara itu, badan baru pengganti Kementerian BUMN harus menjadi penjaga nilai-nilai publik, memastikan bahwa kepentingan nasional tetap menjadi kompas utama.

Di tengah dinamika global dan tuntutan domestik, Indonesia membutuhkan BUMN yang tangguh, adaptif, dan transparan.

Transformasi ini adalah peluang emas, jika dikelola dengan bijak, perubahan kelembagaan dapat menjadi warisan institusional yang membanggakan. Jika tidak, maka hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah reformasi yang gagal.

Artikel ini telah dipublikasikan di Kompas pada Jum'at (26 September, 2025)