COKOK

COKOK

KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA

Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR”

Kembali saya bicara soal cokok. Kata baba saya, cokok itu artinya buaya. Maksudnya, buaya saja sampai memaksakan diri untuk nanjat ke darat dengan susah payah dan penuh resiko. Itulah anak muda yang bersusah payah untuk selalu hadir menonton film layar tancep kerap disebut sebagai cokok. Bisa saja, istilah ini tidak dikenal di luar Parung Bingung atau lebih luas lagi di Depok.

Para cokok biasanya hapal judul-judul film tempo dulu beserta bintangnya. Misalnya Barry Prima membintangi film "Primitif" (1978), "Serbuan Halilintar" (1979), "Jaka Sembung Sang Penakluk" (1981, "Nyi Ageng Ratu Pemikat" (1983), "Golok Setan" (1984), "Ratu Sakti Calon Arang" (1985) dan seabrek lainnya. Film ini termasuk genre film klasik, aksi silat, dan berkatar belakang masyarakat masa lalu Indknesia.

Di sejumlah tersebut Barry Prima beradu akting dengan misalnya Enny Haryono ("Primitif"), Eva Arnaz dan W.D. Mochtar ("Jaka Sembung Sang Penakluk", Suzanna ("Nyi Ageng Ratu Penakluk" dan "Sundei Bolong", Dicky Zulkarnaen ("Serbuan Halillintar"), Advent Bangun ("Golok Setan), dan sejumlah aktor beken lainnya. Semua nama-nama bintang tersebut oleh cokok hapal di luar kepala.

Itu baru aktor laga Barry Prima dan teman beradu aktingnya. Belum lagi George Rudy (saya membacanya Gar Gar Rudy). Johan Saimima dan sederat aktor lagi lainnya. Sementara sutradara yang mudah dikenal misalnya Arizal, Siswono Gautama, termasuk aktor yang juga sutradara, yakni Ratno Timoer. Pokoknya, ketimbang pelajaran sekolahan saya lebih hapal nama film dan pemainnya.

Namun yang paling mudah mengingat bintang film adalah Warkop DKI yang film-filmnya lucu, yakni Dono, Kasino, Indro. Film Warkop DKI kerap disebut "Film Dono". Formasi Awal Warkop DKI sebetulnya ada Hariman Siregar, Nunu Mulyono, dan Rudy Badil. Sebelum bernama Warkop DKI, mereka dikenal dengan Warkop Prambors di stasiun radio Prambors sejak 1973. 1973 pas tahun saya lahir. Anda lahir tahun berapa?

Saat itu saya mengenal berbagai jenis layar tancep. Ada film satu kecil, dua kecil, dan dua gede. Masing-masing ada cirinya. Satu kecil itu proyektornya satu. Kalau filmnya panjang, perlu digulung dulu untuk pertunjukan side berikutnya. Biasanya supaya penonton tidak bubar, disetel pelat atau musik hingga film selesai digulung. Kesempatan tersebut biasnya saya gunakan untuk jajan. Jajanan kesukaan saya saat itu adalah keripik singkong. Harganya murah.

Film satu kecil memutar film-film lama yang para cokok sudah bosan. Biasanya film satu kecil ditanggap oleh orang hajatan yang bukan orang kaya. Sekadar hiburan. Kalau kebetulan ada film lain di kampung tetangga yang lebih bagus, para cokok biasanya pindah ke sana. Film satu kecil selain menayangkan film lama, tak jarang merupakan film yang kualitas gambarnya buruk. Selain itu, tak jarang adalah film overan.

Film overan juga ada pada film dua kecil. Maksud overan adalah film yang ditayangkan di kampung tetangga pada malam yang sama ditayangkan juga di kampung sendiri menjelang tengah malam. Film dua kecil umumnya ditanggap oleh orang yang ekonominya mendingan. Tapi film dua kecil bukan sasaran utama para cokok, walaupun film dua kecil memiliki dua proyektor, filmnya bagus, dan tidak disetel pelat. Saya paling sering nonton film dua kecil. Seringkali saya pulang pagi.

Film dua gede adalah film paling bagus dan tentunya ditanggap oleh orang kaya. Nama lain film ini adalah mabak, lebar filmnya seingat saya 35 inci. Layarnya lebih lebar, bersih, dan pinggirannya ada strip hitam. Rata-rata dalam setahun saya hanya nonton film mabak dua-tiga kali saja. Film mabak apabila film yang diputar tidak layak, biasanya penonton berteriak, "ganti-ganti". Namun kalau setelah itu masih tidak bagus juga, teriakan berikutnya, "rubuhin-rubuhin". Akhirnya roboh tiang bambunya. Jam sepuluhan orang sudah bubar,(sam)