“Civil Society” dan Penguatan Nilai Kemanusiaan
Ahmad Tholabi Kharlie
Eksistensi civil society atau masyarakat sipil di negara demokrasi memiliki peran dan posisi penting, khususnya dalam mengakselerasi relasi antara negara dan warga negara. Hubungan yang seimbang, setara, dan saling respek satu dengan yang lain menjadi titik ideal hubungan antara negara dan warga negara.
Keberadaan masyarakat sipil di Indonesia pascareformasi menjadi pendulum penting dalam membangun hubungan dengan negara. Hubungan itu tentu tak luput dari pengaruh dinamika dalam penyelenggaraan negara di satu sisi serta dinamika di internal kelompok masyarakat di sisi lain.
Keberadaan civil society di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 yang menjadikan digital sebagai episentrum pertemuan lintas manusia dan budaya memiliki tantangan yang berbeda jika dibandingkan masa sebelumnya. Persoalan seperti fake news, post-truth, hingga the death of expertise merupakan contoh kecil imbas keberadaan era baru itu.
Persoalan tersebut di titik yang paling ekstrem memberi pengaruh atas tergerusnya nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan sosial antarmanusia menjadi hambar. Permusuhan satu dengan lainnya menjadi kiblatnya. Hukum yang semestinya menjadi pemandu tata kelola hubungan antarmanusia, serta negara dan warga negara, menjadi sekadar teks aturan yang kehilangan ruh moralnya.
Di poin inilah, peran civil society, yang di dalamnya terdapat organisasi keagamaan, organisasi profesi, pers, lembaga pendidikan, organisasi nonpemerintah (NGO) untuk bahu-membahu menjawab tantangan dalam menegakkan nilai kemanusiaan.
Di saat yang bersamaan, civil society juga memerankan kerja advokasi dan negosiasi dengan negara, khususnya yang terkait dalam perumusan kebijakan publik. Hakan Johansson dan Anders Uhlin (2020) menyebutkan sumber daya yang inheren pada civil society, seperti informasi dan pengetahuan, memiliki kemampuan memobilisasi untuk mendorong perubahan kebijakan publik.
Kompleksitas masalah
Ragam masalah yang muncul di tengah masyarakat terkait isu kemanusiaan silih berganti bermunculan tak berkesudahan. Ada persoalan yang negara mesti berperan menuntaskan. Namun, ada pula persoalan yang tidak selalu dapat didekati oleh negara melalui instrumen hukum dan aparaturnya. Di titik inilah kehadiran dan peran civil society dibutuhkan.
Sejumlah persoalan yang mencuat di publik, seperti soal pernikahan dini yang dilakukan anak-anak usia sekolah, menjadi kabar ironi yang muncul di tengah-tengah kita. Permohonan dispensasi nikah sebanyak 15.000 lebih putusan, merujuk data Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Timur pada 2022. Permohonan dispensasi itu mayoritas dipicu oleh perempuan berusia pelajar yang hamil di luar nikah.
Belum lagi persoalan judi online yang cukup mengkhawatirkan. Pada Januari hingga November 2022, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat transaksi judi online mencapai Rp 81 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 57 triliun.
Masalah lain yang tak kalah mencengangkan ialah soal praktik prostitusi yang memanfaatkan platform digital. Penyalahgunaan aplikasi media sosial untuk praktik prostitusi menjadi fakta lain dari keberadaan digital di Indonesia. Sejumlah kasus prostitusi berbasis online yang mencuat berujung pada tindakan kriminalitas.
Persoalan korupsi juga menjadi tantangan dalam tata kelola penyelenggaraan negara yang baik. Temuan Transparency International (TI) atas Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia pada 2022 melorot menjadi 34, dari tahun sebelumnya 38, juga patut menjadi perhatian semua pemangku kepentingan.
Dibutuhkan kolaborasi antara negara dan kelompok civil society serta sikap saling terbuka dan semangat gotong royong dalam menyelesaikan aneka persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pelbagai pihak memiliki peluang, peran, dan kontribusi untuk turut serta menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat.
Gagasan dan aksi
Inisiatif yang dilakukan sejumlah pihak terkait keikutsertaannya dalam menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat patut menjadi role model positif untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang bermuara pada lahirnya keadaban publik yang kukuh, solid, dan berkesinambungan.
Seperti ikhtiar yang dilakukan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan. Ormas ini menggagas fikih peradaban yang menjadikan instrumen keagamaan, yakni hukum Islam, sebagai daya ungkit untuk menjawab tantangan di tengah masyarakat.
NU ingin mendekatkan jarak antara teks-teks suci sebagai sumber hukum Islam dan realitas yang terjadi di tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, penguatan di sektor ekonomi dengan mengaktivasi badan usaha milik NU (BUMNU) menjadi langkah progresif NU dalam menggarap di sektor ekonomi yang kerap menjadi masalah krusial bagi akar rumput (grassroots).
Langkah ini memiliki arti penting dalam rangka penguatan masyarakat di bawah. NU memang tengah mencanangkan kemandirian ekonomi melalui BUMN menyongsong abad kedua. Langkah yang sama dilakukan Muhammadiyah.
Melalui jejaring unit amal usahanya, Muhammadiyah memainkan peran penting dalam penguatan masyarakat di sektor pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Jejaring perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM), rumah sakit Muhammadiyah, dan unit amal usaha lainnya jadi proyek percontohan yang patut dikembangkan dan ditingkatkan di waktu mendatang.
Di sisi lain, lembaga pendidikan, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, menjadi kelompok civil society yang memiliki peran penting dalam rangka menguatkan sumber daya manusia yang unggul. Perguruan tinggi menjadi tempat yang kondusif untuk menyemai pikiran alternatif-konstruktif bagi publik.
Secara praksis, sejumlah kelompok civil society tersebut dituntut untuk melakukan aksi kolaboratif yang tidak sekadar pada sisi gagasan, tetapi juga beranjak pada aksi konkret di lapangan. Pertemuan gagasan yang dilanjutkan pada aksi nyata di tengah masyarakat akan menjadi kekuatan penting dalam penguatan nilai kemanusiaan dan menghadirkan keadaban di tengah publik.
Pelbagai tantangan yang terjadi belakangan ini harus direspons dengan peningkatan sikap kerja sama, kolaborasi, dan saling menguatkan satu pihak dengan pihak lainnya. Di sisi lain, negara senantiasa memosisikan civil society sebagai mitra strategis untuk bersama-sama menghadirkan peradaban yang lebih baik.
Peradaban dan keadaban publik harus diperjuangkan bersama oleh negara dan masyarakat sipil. Sebagaimana disebut Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), ”Civilization is a movement and not a condition, a voyage, and not a harbour” (Susan Ratcliffe, 2006). (zm)
Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat Harian Kompas, Senin 13 Maret 2023.