Ciri-ciri Mukmin Sejati

Ciri-ciri Mukmin Sejati

Oleh Prof Dr Masri Mansoer MA

Menjadi mukmin sejadi adalah sebuah proses dan perjuangan, karena penuh dengan jalan terjal, beliku, banyak kerikil dan hambatan yang harus dilewati. Makanya kita memerlukan intensitas dan kesungguhan untuk berproses menjadi mukmin sejati. Dalam hubungan itulah kita perlu mengetahui ciri-cirinya agar kita bisa mengindentifikasi diri dan mengusahakannya. Dalam al-Qur’an disebutkan lima ciri orang mukmin sejati, yaitu “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia” (QS al-Anfal: 2-4).

Ada proposisi yang bisa bersifat deskriptif-menggambarkan atau menjelaskan dan ada juga bersifat hipotesis-pernyataan menggambarkan sebab akibat atau pernyataan yang terdiri dari antiseden-sebab dan konsekuen-akibat. Dari ayat surat 2-4 Surat al-Anfal di atas kita dapat mengidentifikasi lima ciri  mukmin sejati, sebagai pernyataan prasyarat (antiseden) dan ada tiga akibat sebagai konsekuensi. Kalau dilihat susunan redaksi ayat ini merupakan proposisi hipotesis, dan bentuk proposisi ini cukup banyak dalam redaksi al-Quràn. Dalam ayat di atas ciri-ciri orang mukmin sejati adalah sebagai berikut:

Ciri pertama, wajilat quluu buhum, dalam ayat di atas dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, bergetar hati ketika disebut asma Allah karena cintanya kepada Allah, sehingga getaran ini mendorongnya untuk ingin cepat bertemu dengan Allah sebagaimana layaknya sesorang kekasih yang sudah lama berpisah dengan kekasihnya. Ketika disebut nama kekasihnya itu hatinya bergetar ingin bertemu dengan Allah Yang Maha Kasih. Sebab, memang manusia telah ada di alam ruh bersaksi dengan Allah sebagai Rabb: alastu birabbiku qaaluu balaa syahidna (apakah kalian mengakui saya sebagai Tuhan kalian, betul kami bersaksi).Tentu kaum muslimin pernah jatuh cinta dan pernah juga berpisah dengan yang dicintai, kemudian ketika namanya disebut pasti bergetar hatinya, itu baru kita cinta dengan sesama. Demikian juga cinta kepada Allah, kalau kita memang cinta kepada-Nya.

 Kedua, bergetar hati karena takut kepada Allah. Sebab sudah sekian lama kita berpisah dari Allah, ingat telah banyak kesalahan dan hal-hal yang tidak disukai kekasihnya (Allah), maka timbul rasa takut dalam hatinya kalau-kalau Allah menolak perjumpaan-Nya nanti di akhirat. Itulah yang membuat kita takut akan kesalahan dan dosa kita, sehingga ketakutan ini mendorong kita untuk memperbaiki diri dengan kembali kepada Allah yang dicintainya dengan bertaubat (taba-yatubu-taubatan, kembali). Dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat (innallaha yuhibbut-tauwabin).

Kedua bentuk getaran ini mendorong kita sebagai orang mukmin semakin memperbaiki diri sesuai dengan yang dikehendaki dan dimaui oleh yang kita cintai, yaitu Allah SWT. Sudah demikiankah getaran hati kita ketika disebuh asma Allah, tentu kaum muslimin yang bisa jawab.

Ciri kedua, zaa dathum iimaana. Ada dua bentuk ayat Allah, yaitu ayat qauliyah (al-Qur’an al-Karim, yang tertulis) dan ayat qauniyah (alam sementa ciptaan Allah, dan bahkan diri kita sendiri). Semua ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan Keagungan, Kemuliaan dan Kebesaran Allah. Kita harus baca untuk menambah keimanan kita.

Bagi kita yang awam tentu membaca ayat-ayat Allah dengan mengerti pesannya, memahami maknanya dan mengamalkan isinya. Bagi para akademisi-ilmuan, membaca al-Qur’an selain dengan cara orang awam tentu dilanjutkan dengan melakukan riset untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berfanfaat bagi manusia dan kehidupan semesta.

Wabah korona yang melanda dunia saat ini adalah ayat Allah yang harus kita baca. Virus korona yang mematikan ini adalah virus kecil yang belum ditemukan vaksin-obatnya. Virus sekecil itu dengan izin Allah sudah membuat porak poranda tatanan kehidupan kesehatan, sosial-agama, sosial-pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, dan lainnya sebagainya. Di satu sisi adanya pandemi Covid-19 ini adalah ujian dan cara Allah ingin memperbaiki dan meremajakan alam ciptan-Nya yang sudah dirusak dan dikotori oleh manusia. Di sisi lain mungkin juga azab dan cobaan Allah bagi orang yang tidak bersyukur, takabur, dan angkuh. Dan Allah memang sangat tidak suka kepada orang-orang yang sombung/takabur (Innallaha la yuhibul mustakbirin).

Contoh ayat-ayat Allah lain yang harus kita baca dan renungkan adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri kita sendiri, seperti kekuatan fisik yang berkurang, ingatan, gigi, mata, telingga, rambut, dan lain sebagainya. Semuanya sudah dan sedang berubah sebagai tanda bahwa semua akan rusak, hancur dan akhirnya kembali menjadi tanah dan yang kembali kepada Allah. Hanya hamba yang membawa iman dan amal shalehnya. Karena itu perkuatlah iman dan perbanyaklah amal shaleh kita.

Ciri ketiga, tawakal. Sebagai orang beriman kita yakin bahwa kita lahir ke dunia ini bukan atas kehendak dan kemauan kita, tetapi adalah atas takdir Allah SWT untuk misi sebagai Hamba dan Khalifah Allah. Kedua misi ini harus kita jalankan dengan beribadah/beramal/berusaha/bekerja sebaik mungkin dengan niat ikhlas karena Allah. Sebab, tanpa niat ikhlas semua akan sia-sia. Dalam bekerja/beramal tentu ada yang berhasil dan ada yang belum berhasil. Ketika berhasil kita harus bersyukur dan ketika belum berhasil kita harus sabar dan optimis-jangan putus asa, sebab putus asa adalah karakter iblis/setan.

Dalam berusaha/bekerja kita harus berikhtiar yaitu memilih jalan dan cara-cara yang terbaik sesuai dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan. Kemudian dilanjutkan dengan berdoa, memohon kepada Allah agar ikhtiar kita disampaikan oleh Allah sesuai dengan harapan dan tujuan yang diinginkan.

Setelah itu dilanjutkan dengan tawakal, yaitu mewakilkan/menitipkan/menyandarkan ikhtiar kepada Allah agar apa-apa yang kita sudah ikhtiarkan kiranya Allah berkenan mengabulkannya. Apa pun hasil dari ikhtiar kita, itulah yang terbaik menurut Allah bagi kita. Mungkin saja hasilnya belum baik menurut kita, itulah esensi tawakal. Janji Allah bagi hamba-Nya yang tawakal adalah akan dicukupkan keperluan atau kebutuhannya (QS al-Thalaq: 3).

Secara vertical, esensi shalat adalah untuk mengingat Allah (inna shalata li zikri) dan secara horizontal shalat harus menjadi  motor dan benteng untuk mencegah dari perbutan keji dan munkar (inna shalata tanha `anil fakhsa-ii wal munkar). Shalat  juga sebagai media  komunikasi dengan Allah, karena itu kita harus mengerti dan paham tentang apa yang kita baca, jangan kita shalat seperti orang mabuk, yaitu mereka yang tidak tahu apa makna yang diucapkannya dalam shalat sebagaimanana firman Allah, “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati ashalah dan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu baca atau katakan”.

Untuk dapat shalat menjadi shalat sebagai benteng dalam hidup kita. maka kita harus kusyuk dalam shalat dan nilai-nilai yang ada dalam shalat harus menginternalisasi dalam jiwa kita serta tampak pada perilaku nyata kita. Sebagai contoh shalat mengajari kita hidup bersih, teratur, disiplin, dan taat aturan, maka di luar shalat kita juga harus menjadi manusia yang bersih, disiplin dan taat aturan. Karena itu mari kita terus menerus mendirikan shalat kita dengan menjawantahkan di luar shalat.

Semua rezki yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita adalah milik Allah. Kita hanya diberi amanah atau titipan menggunakannya. Karena itu kita harus mendapatkan rezki itu dengan cara yang benar sesuai dengan hukum syariat dan menggunakannya juga demikian. Dalam rezki yang kita usahakan itu ada hak Allah dan orang lain yang wajib kita keluarkan melalui zakat, infaq, dan shadakah. Bahkan al-Qur’an mengakan kita belum akan dikatakan berbuat baik secara sempurna kalau rezki yang kita infakkan itu tidak dari yang terbaik yang kita miliki, sebagaimana firman Allah: “Kamu sekali-kali tidak akan disebut berbuat kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92).

Rezki kita yang sesungguhnya adalah apa yang kita zakatkan, infakkan dan sedekahkan di jalan Allah dan itulah amalan yang akan kita bawa menghadap Allah nanti. Karena itu jangan menumpuk-numpuk dan kikir terhadap harta. Sebab semua nikmat yang kita usahakan akan ditanya tentang mendapatkan dan menggunakannya di akhirat nanti (QS al-Takatsur: 8).

Sebagai konsekuansi dari mukmin sejati itu Allah menjanjikan kepada kita orang mukmin dengan tiga bentuk janji yaitu: “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia” (QS al-Anfal: 4).

 Pertama, diangkat derajat yang tinggi di sisi Allah; kedua, ampunan dari Allah; dan ketiga rezki yang mulia. Tanda-tanda derajat yang tinggi dan ampunan di sisi Allah adalah kita diberikan kedudukan dan pekerjaan yang baik dan halal, menjadikan kita makin bersyukur, mendatangkan ketenangan dalam menjalankan hidup serta bermanfaat bagi manusia dan kehidupan. Ciri rezki yang mulia adalah menjadikan dengan rezki itu sehat, tentram, dan berguna membantu orang lain. Puncak semua itu adalah surganya Allah. Semoga kita selalu dibimbing oleh Allah menjadi mukmin sejati. Walllahu’alam. (ed: ns)

* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

** Versi video dapat dilihat di https://youtu.be/iAi1VB2FnC0