Cegah Pernikahan Dini, Peran Penyuluh Agama Harus Ditingkatkan

Cegah Pernikahan Dini, Peran Penyuluh Agama Harus Ditingkatkan

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online – Rektor UIN Jakarta Amany Lubis menyatakan guna memutus mata rantai pernikahan anak di bawah umur salah satunya dengan meningkakan peran para penyuluh agama. Peran para penyuluh penting agar para orang tua dan anak dapat memahami resiko nikah muda, terutama  yang terkait dengan masalah mental dan tumbuh kembang anak mereka setelah menikah.

Hal itu dikatakan Rektor saat menjadi pembicara utama pada Webinar Nasional bertajuk “Strategi Memutus Mata Rantai Pernikahan Anak” yang digelar Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Jakarta, Kamis (25/3/2021).

Selain Rektor Amany Lubis, pembicara lainnya adalah Retno Yaqut Cholil Qoumas (Pembina Dharma Wanita Persatuan Kementerian Agama RI), Al Maryati Solihah (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan Dedi Slamet Riyadi (Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan). Webinar dipandu oleh Diana Mutiah dari PSGA UIN Jakarta.

Menurut Rektor, maraknya pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di masa pandemi Covid-19 belakangan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena kemiskinan, sekolah daring, dan tidak adanya jaminan sosial bagi keluarga. Dalam kondisi seperti itu wajar jika banyak orang tua yang kemudian berpikir lebih pragmatis tanpa mempertimbangkan dampak bagi anak kelak.

“Oleh karena itu guna memutus mata rantai pernikahan anak, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas para penyuluh agama. Mereka harus berperan secara optimal dan lebih intensif memberikan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat awam,” katanya.

Selain dengan meningkatkan peran para penyuluh, juga dapat dilakukan melalui forum-forum dialog atau pertemuan. Sosialisasi dan penerangan mengenai dampak pernikahan anak di bawah umur bahkan dapat juga disampaikan oleh para khatib Jumat di masjid-masjid.

Rektor menambahkan masyarakat perlu juga diberi informasi atau penerangan yang jelas dan luas, misalnya melalui perspektif agama dan kesehatan mengenai fungsi organ reproduksi wanita dan masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

Rektor berpendapat bahwa upaya untuk memutus mata rantai pernikahan anak di bawah umur bukan semata menjadi tugas para penyuluh. Bagi kalangan akademisi pun tentu berkewajiban untuk memberikan penerangan tentang dampak sosial-psikologis pernikahan anak di bawah umur ini kepada para orang tua dan anak-anak mereka.

“UIN Jakarta bahkan sudah melakukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Salah satu poin penting dari kerja sama tersebut adalah peningkatan kapasitas para penyuluh agama,” katanya. (ns)