Buya yang Jenaka

Buya yang Jenaka

Prof Dr Abdul Mu’ti MEd, Guru Besar FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

Indonesia berduka. Tokoh perekat, guru, dan pemimpin bangsa, Buya Ahmad Syafii Maarif, meninggal dunia. Buya tidak meninggalkan harta benda yang berlimpah. Yang diwariskan adalah kesederhanaan hidup. Relasi yang luas dengan semua kalangan memungkinkan Buya hidup bergelimang harta. Tapi Buya memilih tetap hidup apa adanya. Menjadi manusia merdeka bak burung yang terbang bebas menjelajah angkasa. Itulah keteladan yang langka.

Dalam dunia yang semakin hedonistis-materialistis, Buya memilih tetap idealis. Konsistensinya menyuarakan moral dibuktikan dengan laku pribadi. Buya adalah figur yang tidak suka basa-basi. Apa adanya. Lugas. Straight forward. Itulah kelebihan, mungkin juga kekurangan Buya.

Tak Suka Formalitas

Bagi sebagian kalangan, Buya nampak sebagai sosok yang serius. Itu tidak keliru. Dalam tulisan dan pidatonya, Buya selalu menyampaikan gagasan besar, tajam, dan bernas dengan diksi yang khas. Buya mampu merangkai untaian kata indah dari khazanah sastra dan budaya Indonesia. Buya pandai mengritik dengan bahasa puitis dan -terkadang- bombastis.

Menyikapi carut-marut masalah bangsa dan perilaku elit yang tak peka dengan kondisi bangsa, Buya mengungkapkan kritik yang tajam. “Kerusakan negeri ini nyaris sempurna.”  Ungkapan itu menarasikan betapa akut masalah bangsa. Terhadap perilaku elit politik yang bernalar sempit dan haus kekuasaan, Buya menyindir dengan metafor “politisi ikan lele.” Buya menyebut mereka sebagai elit yang  wawasan dan nalarnya  sempit,  “tidak lebih luas dari halaman rumahnya.” Seperti “lelah” dengan kehidupan bangsa yang tidak kunjung membaik dan pemimpin yang lembek, Buya menggambarkan dengan ungkapan “seperti berharap kuda bertanduk.”

Buya adalah sosok yang tidak suka Formalitas. Ketika menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya menjadikan peristiwa pelantikan dan pergantian kepemimpinan sebagai sesuatu yang biasa. Buya melakukan desakralisasi. Waktu melantik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah (2000), Buya tidak “membaiat” pimpinan yang dilantik. Alih-alih mengambil sumpah, ketika semua pimpinan berseragam lengkap sudah bersiap di panggung, Buya hanya menyampaikan:

“Dengan mengucap Bismillah Ar-Rahman, Ar-Rahim, saudara-saudara saya lantik sebagai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah 2000-2005.”

Hal sama dilakukan Buya di acara pelantikan yang lainnya. Sambutan selalu singkat dan padat (qalla wa dalla). Sangat tidak lazim. Meskipun, karena banyak yang berkeberatan, Buya akhirnya berubah.

Buya adalah pimpinan yang tidak suka dilayani. Dalam berbagai acara, Buya memilih datang sendiri. Seperti banyak ditulis, Buya memilih antri bersama pasien lain menunggu layanan dokter, memilih naik bajaj dan kereta api untuk bepergian. Bukan untuk pencitraan. Buya tidak haus jabatan. Banyak tawaran jabatan yang ditolak. Prinsip hidupnya adalah tidak merepotkan. Buya memilih melayani, bukan dilayani.

Jenaka

Buya tidak suka melucu, tetapi banyak tingkahnya yang lucu. Banyak orang belajar pemikiran besar dari Buya. Tetapi banyak yang tidak tahu bahwa Buya adalah seorang pembelajar, suka mempelajari hal yang baru, walaupun sangat sepele. Sebutlah ketika Buya belajar bagaimana menggunakan handphone dan berkirim sms (short message service). Buya sangat girang. Kegirangan dan kekagumam pada teknologi ditulis dalam sebuah artikel di salah satu media nasional.

Ketika untuk pertama kali listrik masuk ke kampung halamannya, Sumpur Kudus, Buya menulis di salah satu media. Abad 21, listrik bukanlah sesuatu yang istimewa. Tapi bagi Buya itu sesuatu yang sangat bermakna. Listrik adalah buah perjuangan dan sumbangan untuk memajukan masyarakat. Buya tidak pernah malu bercerita keluarga dan kampung halaman.

Berkirim buku dan artikel adalah hal yang biasa. Buya acapkali berkirim buku baru dalam bentuk pdf. Kebanyakan buku sejarah, politik, dan dunia Islam. Tetapi ada yang mengejutkan ketika Buya tiba-tiba berkirim video lagu Minang: Bapisah Bukannyo Bacarai yang dilantunkan Kintani-Ilham. Entah mengapa tiba-tiba Buya mengirim lagu itu. Pasti bukan karena sedang jatuh cinta. Tapi karena kedekatan Buya dengan kampung halaman dan budaya Minang.

Buya telah menghadap Sang Maha Pencipta. Kita berpisah tapi tidak bercerai. Keteladanan dan gagasan Buya tak akan pernah bisa terpisahkan dengan kita. Selamat beristirahat Buya. Selamat bahagia dengan Rabb mu yang sangat engkau rindu.

Sumber: Republika, 30 Mei 2022. (sam/ma/mf)