Bukan Melarang Matahari Memancarkan Cahaya
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar
Menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang melarang penggunaan politik aliran dalam pemilu mendatang, penulis kebetulan ikut menyaksikan dari dekat ketika pernyataan itu diucapkan.
Konteksnya Presiden berbicara tentang Bhinneka Tunggal Ika dengan mimik dan pakaian adat Bangka Belitung pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI tahun 2022 di Balai Sidang DPR-MPR Senayan Jakarta.
Presiden menyatakan ”tidak ada lagi politik aliran yang bisa memecah belah bangsa. Dalam konteks linguistik, frasa ”yang bisa memecah belah bangsa” berfungsi sebagai kalimat stressing point atau penegasan (muqayyad) dalam ilmu balagah.
Menurut tangkapan penulis pada saat itu, message Presiden sesungguhnya bukan pada pelarangan secara mutlak politik identitas dengan konotasi politik identitas agama.
Jika yang dimaksudkan pelarangan total menyuarakan pesan identitas politik, misalnya pesan politik identitas agama maka bagaimana dengan partai-partai politik yang mendasarkan partainya pada salah satu agama, misalnya Islam.
Dalam kontestasi politik tahun 2024 yang akan datang diramaikan sejumlah Partai Politik yang berbasis emosi keagamaan. Melarang total menyuarakan pesan-pesan keagamaan di dalam menjalankan misi politiknya sama saja dengan melarang matahari memancarkan cahayanya atau melarang api mengeluarkan panasnya.
Inti pelarangan politik identitas sesungguhnya ialah bagaimana proses dan interaksi politik praktis nantinya tidak menyulut emosi warga dengan menggunakan emosi keagamaan atau emosi primordialisme, yang pada saatnya akan menimbulkan kegentingan politik yang bisa mengancam kelangsungan proses pesta demokrasi.
Di sinilah diperlukan kematangan politik para politisi bangsa. Bagaimana mengemas sedemikian rupa ekspresi politik identitas itu tanpa menimbulkan gejolak yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Tentu di sini tidak cukup hanya dalam bentuk himbauan tetapi harus ditetapkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan, lalu diawasi secara ketat oleh para penyelenggara pemilu. Yang terakhir ini penting karena sebagus apa pun sebuah peraturan jika tidak didukung oleh ketegasan pengawas dan pihak-pihak yang terkait menjadi absurd jadinya. Lain yang dalam peraturan lain yang menjadi kenyataan. Jika terjadi kenyataan seperti ini bisa berakibat sebuah cacatnya penyelenggaraan pemilu.
Perlu juga ditegaskan bahwa peraturan larangan politik aliran jangan sampai multitafsir sehingga bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memojokkan atau menjatuhkan lawan-lawan politiknya, misalnya munculnya rekayasa politik untuk menghancurkan satu partai politik dengan cera menginfiltrasikan ”provokator” memperatasnamakan partai politik tertentu untuk menghancurkan partai tersebut. Bisa juga sebaliknya, kelompok tertentu melakukan pembiaran satu partai melakukan praktik politik aliran yang melampaui batas tetapi dianggap seolah-olah tidak ada pelanggaran karena menjadi bagian ari koalisi partainya.
Kriteria dan ukuran penggunaan politik aliran yang dilarang harus tegas dan tidak multitafsir. Jika tidak maka bisa jadi peraturan itu dijadikan kekuatan untuk mencacatkan penyelenggaraan, terutama pengawasan pemilu. Isu pelarangan politik identitas jangan sampai dijadikan pentungan untuk menghajar kelompok atau partai tertentu.
Diusahakan agar ketentuan yang mengatur hal ini tidak berdampak pada depolitisasi kegiatan dakwah atau kriminalisasi ulama dalam menjalankan dakwahnya di dalam masyarakat. Apalagi ada sejumlah ulama dan mubalig tidak bisa dipisahkan dengan partai politik tertentu, meskipun dia bukan sebagai pengurus langsung dari partai politik itu. (rm.id/zm)
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat Tangsel Pos, Senin 23 Agustus 2022, dan bisa diakses di https://tangselpos.id/detail/2556/bukan-melarang-matahari-memancarkan-cahaya