Bijak Ber-AI
Muhtadi
DAMPAK positif zaman disrupsi digital saat ini ialah era keberlimpahan informasi karena kecanggihan dari teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Informasi apa pun yang ingin kita tahu dengan cepat sangat dengan mudah kita dapat hanya dengan mengetik kata kunci di mesin pencarian di telepon pintar atau komputer. Hanya dalam hitungan detik, ribuan informasi dan data yang kita cari hadir dengan sangat cepat. Informasi dan data yang tampil tidak terbatas.
Ketika kita menggunakan mesin pencari seperti Google untuk memperoleh informasi tentang makanan, tumbuhan, perkembangan cuaca, informasi beasiswa, dan jurnal berkualitas begitu mudah kita dapatkan. Mesin pencari itu membantu siapa saja yang memerlukan informasi yang diinginkan. Pada era ini, kepakaran atau keahlian seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu 'hilang' karena diganti mesin pencari tersebut. Istilah itu dipopulerkan Tom Nichols (2017) dalam bukunya, The Death of Expertise, yang mengulas fenomena 'matinya kepakaran'.
Di sisi lain pada era digital, kita semua seolah-olah menjadi pakar karena mendapatkan akses ilmu pengetahuan yang berlimpah dan beraneka ragam dari mesin pencari tersebut. Media digital dan internet telah menyediakan big data. Tentu saja itu menjadi kemewahan bagi generasi sekarang yang begitu mudah mencari data dan informasi dengan serbacepat dan berbiaya murah. Perkembangan era digital berubah dengan cepat. Mesin pencari konvensional seperti Google mulai digantikan apa yang dinamakan dengan kecerdasan buatan (AI). Salah satunya ialah Chat-GPT, yaitu chatbot pintar yang bisa menjawab berbagai pertanyaan dengan baik dalam bentuk teks. Kelebihan lain dari Chat-GPT dapat membuat kalimat yang sistematis dan terstruktur dari individu yang memintanya. Aplikasi itu merupakan implementasi dari kecanggihan dan kepraktisan dari AI untuk manusia.
Dampak negatif
Aplikasi chatbot Chat-GPT mulai menimbulkan 'kontroversi' bagi dunia akademik terutama di perguruan tinggi. Antony Aumann, guru besar filsafat di Michigan University, umpamanya, mencurigai salah satu mahasiswanya yang menulis esai bagus dan terbaik di kelasnya. Mahasiswa itu menulis tentang Burka dengan sangat sistematis, kalimatnya tertata rapi, dan contoh serta argumentasinya ilmiah. Berdasarkan interaksi dengan mahasiswa tersebut, Prof Aumann tidak percaya bahwa mahasiswanya tersebut dapat menulis esai dengan baik dan cukup bagus tersebut. Setelah profesor itu melakukan klarifikasi kepada mahasiswanya, ia mengakuinya menulis esai dengan memakai aplikasi chatbot Chat-GPT (Detikedu, Rabu 18/1).
Begitu pula otoritas di 'Negeri Kanguru' merasa galau terkait dengan hadirnya aplikasi chatbot Chat-GPT yang digunakan mahasiswa untuk menjawab soal ujian dengan sangat tepat. The Guardian (10/1) menerbitkan artikel yang berjudul Australian Universities to Return to ‘Pen and Paper’ Exams after Students Caught Using AI to Write Essays. Universitas-universitas terkenal di Australia mengatakan perlu adanya desain ulang atau tata cara baru untuk penilaian mahasiswa. Hal itu penting dalam rangka menghadapi revolusi teks yang dihasilkan komputer melalui AI. Perlu redefinisi atas penilaian terhadap proses dan output akademik mahasiwa mengantisipasi AI yang semakin canggih.
Pada masa sebelum AI berkembang seperti sekarang, mahasiswa yang curang dalam mengerjakan tugas kuliah atau menulis skripsi memanfaatkan jasa joki. Perjokian tugas kuliah dan tugas akhir sudah ada sebelum ada aplikasi chatbot Chat-GPT. Jasa-jasa penulisan tugas membuat makalah dan tugas akhir ada secara sembunyi atau bahkan ada yang berani memasang iklan. Itu tumbuh mungkin karena sebagian kecil mahasiswa suka dengan budaya instan dan cepat saji, serta tidak mau berproses secara tekun untuk menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang berkualitas.
Antisipasi
Tentu saja aplikasi yang dapat membantu individu dalam mencari jawaban atas pertanyaan, bahkan dapat membuat esai mendalam, itu tidak bisa ditolak karena itu bagian dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Era digital atau internet jika dimanfaatkan secara bertanggung jawab dapat memudahkan kita dalam mengembangkan kapasitas akademik dengan membaca buku elektronik, jurnal elektronik, belajar bahasa asing, pengecekan plagiarisme, dan melihat jumlah sitasi karya kita.
Ada empat hal yang dapat dilakukan dosen atau otoritas pendidikan Indonesia untuk mengantisipasi dampak negatif perkembangan AI ini; pertama, otoritas perguruan tinggi terutama di Indonesia perlu melakukan pengaturan mengenai kaidah dan norma penggunaan AI dalam konteks akademik. Pengaturan itu mengedepankan kolaborasi yang kritis, yaitu teks-teks yang dihasilkan komputer atas pertanyaan mahasiswa tersebut diuji kembali di ruang kuliah.
Kedua, dosen pun perlu menjadi sosok yang kritis dalam menilai tugas, menilai tulisan atau artikel ilmiah mahasiswa. Caranya mempertanyakan artikel yang bagus dan logis tersebut secara argumentatif melalui penelusuran rekam jejak mahasiswa. Dosen patut curiga jika ada mahasiswa membuat tugas kuliah bagus, padahal kurang aktif dalam berdiskusi dan kurang logis dalam berargumentasi selama perkuliahan.
Ketiga, penilaian tugas mahasiswa tidak hanya berupa teks dan gambar. Pemerintah dan perguruan tinggi sudah juga mulai mengintensifkan penugasan karya-karya nyata, misalnya pembuatan mobil listrik, pembuatan helm antibocor, kulkas antifreon, bakti sosial, pengorganisasian dan pemberdayaan UMKM, dan pendampingan masyarakat dalam penanaman mangrove.
Keempat, penilaian seimbang pada proses belajar dan hasil belajar. Proses belajar indikatornya antara lain pada proses pembentukan berpikir kritis, integritas mahasiswa dan proses menumbuhkan nalar mahasiswa, dan kemampuan evaluasi diri. Hal itu menjadi benteng bagi mahasiswa untuk tidak terjebak pada cara dan metode instan mendapatkan prestasi hasil belajar yang terbaik. Hasil belajarnya perlu dibangun dan ditumbuhkembangkan bersamaan dengan peningkatan berpikir kritis, kemampuan nalar yang logis, penuh integritas, serta hasil evaluasi yang rutin.
Langkah-langkah di atas dapat menjadi acuan dalam beradaptasi terhadap perkembangan AI di dunia akademik perguruan tinggi. Menolak AI akan membuat kita tertinggal dalam segala hal. Manfaat AI banyak bagi kehidupan manusia di era digital. Langkah-langkah di atas dapat dilakukan sebagai salah satu cara beradaptasi dengan AI di dunia pendidikan agar AI tetap menjadi partner yang berkontribusi positif dan produktif untuk mendukung mutu pendidikan tinggi kita. (ZM)
Penulis adalah Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta Wakil Ketua II Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia (APSI). Artikelnya dimuat kolom opini Media Indonesia, Senin 27 Maret 2023, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/568718/bijak-ber-ai