Bid’ah
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Kata bid’ah sering menjadi tema polemik keagamaan, terutama dalam dekade terakhir ini. Bid’ah sering menjadi akronim yang bisa dijadikan dalil menyesatkan orang.
Tentu saja sebaliknya, orang yang sering melontarkan bid’ah sering juga menjadi bulan-bulanan dari kelompok masyarakat muslim tradisional yang membuka lebar kehadiran budaya-budaya lokal dalam mendandani praktek keagamaan.
Perdebatan bid’ah dan non bid’ah ini sebaiknya tidak perlu diperpanjang, karena menyedot energi umat.
Sudah seawajarnya, MUI lebih tanggap untuk mengklarifikasi praktek-praktek keagamaan yang sering dinilai bid’ah. Jika memang itu bid ’ah atau tidak bid’ah, secepatnya diberikan klarifikasi.
Inilah salah satu fungsi MUI, memberikan ketenteraman dan ketenangan umat dalam menjalankan ibadahnya.
Apa sesungguhnya yang dimaksud bid’ah? Bid‘ah sering diartikan dengan perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, tetapi dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam periode sesudah beliau wafat.
Perbuatan bid’ah dibatasi pengertiannya dalam urusan penambahan atau pengurangan ibadah khusus (mahdhah).
Misalnya, seseorang menambah jumlah rakaat shalat subuh menjadi empat rakaat atau mengurangi rakaat shalat Isya menjadi tiga rakaat.
Termasuk juga kategori bid’ah menambah variasi shalat di luar ketentuan dan penggarisan Rasulullah SAW.
Hukum bid’ah tegas dinyatakan dalam hadis sebagai sesuatu yang menyesatkan, sebagaimana hadis Nabi: Kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatinfial-nar(Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu kelak ke Neraka).
Yang menjadi masalah dengan terminologi bid’ah saat ini ada dua hal.
Pertama, ada sekelompok masyarakat yang memperluas makna bid’ah ke hal-hal yang bersifat muamalat (human relation), misalnya melarang berjabat tangan seusai shalat, dengan alasan itu tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW. Termasuk juga melakukan peringatan Maulid dan peringatan Isra’ Mi’raj, dan Doa Istigatsah, dengan ala san tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW.
Kedua, ada sekelompok masyarakat yang sesungguhnya nyata-nyata melakukan bid’ah, tetapi dikemas dengan praktek budaya lokal, misalnya praktek ziarah kubur yang membawa makanan kesukaan almarhum ke makam, membumbuhi amalan-amalan tertentu di sela-sela surah Yasin, dan lain-lain.
Bahkan ada yang sesungguhnya sudah masuk kategori praktek mistik atau syirik, tetapi masih dianggap sebagai bid’ah hasanah (tradisi positif).
Bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah dipopulerkan oleh Imam Syafi’ dan murid-murid serta para pengikutnya. Menurut Imam Syafi’, bid‘ah ada dua jenis: Bid‘ah Mahmudah (terpuji) dan Bid‘ah Madzmumah (tercela).
Bahkan ‘Izz Abd al-Salam membagi bid’ah itu ke dalam lima bagian, yaitu: 1. Bid‘ah Wajibah (bid‘ah wajib), 2. Bid‘ah Muharramah (bid‘ah yang diharamkan), 3. Bid‘ah Mandubah (bid‘ah yang disunatkan), 4. Bid‘ah Makruhah (bid‘ah makruh) dan 5. Bid‘ah Mubahah (bid‘ah yang diharuskan).
Bid’ah hasanah ialah bid’ah yang tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan bid’ah yang tercela ialah yang menyimpang bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Namun, ini semua dihubungkan dengan ibadah mahdhah.
Urusan sosial kemasyarakatan atau mu’amalah, di luar ibadah mahdhah, tidak dikaitkan dengan bid’ah.
Contoh bid’ah hasanah, atau yang dianggap sebagai bid’ah wajibah ialah menyibukkan diri dengan Ilmu Nahwu (bahasa Arab) yang dengannya dipahami Kalam Allah (Al-Qur’an) dan Kalam Rasulullah SAW (hadis). Sedangkan contoh bid’ah yang tercela ialah menambahkan amalan-amalan asing dalam shalat, termasuk menggunakan doa dalam bahasa non-Arab dalam shalat.
Bid’ah Hasanah termasuk segala sesuatu yang dilakukan umat manusia yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, tetapi nyata-nyata meningkatkan martabat kemanusiaan, terutama menyejahterakan dan memudahkan kehidupan umat manusia.
Misalnya, memproduksi pesawat terbang, membuat satelit, menciptakan alat-alat komunikasi, membuat teknologi kesehatan, melakukan penelitian di angkasa luar, dan memproduksi sistem pertahanan diri yang lebih handal. Semuanya ini tidak terlarang dalam Islam.
Sumber: Rakyat Merdeka Online, Senin-Selasa, 7-8 Maret 2022. (sam/mf)