Biaya Haji Naik, Subsidi Turun?
Dadi Darmadi
USULAN kenaikan biaya haji tahun 2023 yang disampaikan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas di hadapan Komisi VIII DPR (Kamis, 19/1/2023) menyita perhatian banyak pihak. Tak tanggung-tanggung, usulan kenaikannya hampir dua kali lipat dari tahun lalu, yakni dari Rp 39,8 juta ke Rp 69,1 juta per jemaah. Pertanyaannya: sudah tepatkah biaya haji dibebankan sebesar itu kepada calon jemaah haji tahun ini? Bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya?
Juni tahun lalu banyak orang terkaget-kaget mendengar bahwa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, waktu tunggu pemberangkatan jemaah haji itu 97 tahun. Artinya, di Indonesia (meskipun belum di semua daerah) sudah muncul angka psikologis bahwa lamanya daftar tunggu haji di Indonesia hampir mencapai 100 tahun.
Minggu ini publik dibuat kaget mendengar ongkos naik haji yang riil (kini disebut biaya penyelenggaraan ibadah haji/BPIH) tahun ini di Indonesia hampir Rp 100 juta. Tepatnya Rp 98.893.909. Dari angka itu, menteri agama mengusulkan biaya haji 2023 yang ditanggung jemaah Rp 69.193.733 juta per orang (pada 2022 ongkosnya Rp 39.886.009). Artinya, angka nominal itu merupakan 70 persen dari BPIH. Artinya lagi: biaya perjalanan ibadah haji (bipih) 2023 yang harus ditanggung jemaah naik Rp 29 juta dari tahun sebelumnya. Jika usulan itu disetujui DPR, para calon jemaah harus melunasi Rp 44 juta karena sebelumnya sudah membayar setoran awal Rp 25 juta.
Nah, terkait hal-hal tersebut, ada beberapa catatan penting yang perlu kita cermati bersama. Pertama, masalah haji memang rumit. Tapi, sosialisasi dan komunikasi dalam kebijakan haji pemerintah masih terlihat lemah. Barangkali kita semua mafhum, sejak awal pandemi hingga kini banyak sekali harga barang dan jasa yang tidak menentu. Apalagi, penyelesaian krisis pangan dan energi dunia yang akibat krisis Rusia-Ukraina belum menunjukkan titik terang. Penyelenggaraan haji pun terkena dampaknya. Biaya transportasi, harga akomodasi, dan lainnya yang harus ditanggung jemaah yang datang ke Kota Suci Makkah dan Madinah pun ikut merangkak naik.
Persoalannya, bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, bersikap? Banyak pihak mengeluhkan biasanya yang sering mengeluarkan kebijakan dan regulasi baru yang mendadak terkait haji itu Arab Saudi. Kali ini justru pemerintah Indonesia.
Seandainya, dari tahun ke tahun, BPIH diprediksi cenderung naik, mengapa sosialisasi terkait ini tidak serius dilakukan? Dari data terlihat, biaya haji cenderung naik dan perlu penyesuaian (bahkan sempat diakui oleh wakil presiden RI tahun lalu). Sejak 2017 hingga 2019 (haji terakhir sebelum pandemi), bipih yang dibebankan kepada jemaah sekitar Rp 35 juta. Padahal, sejak 2015, BPIH sudah mencuat di angka Rp 61 juta. Pada 2019 angkanya telah Rp 69 juta.
Kedua, pemerintah mungkin perlu mengambil kebijakan sepenting dan segenting melonjaknya biaya haji itu secara lebih arif dan bijaksana. Ketimbang mengusulkan kenaikan fantastis yang sifatnya mendadak, mungkin pemerintah dapat menyosialisasikan kebijakan itu secara gradual dan bertahap untuk beberapa tahun ke depan. Kita bisa berkaca pada pengalaman bangsa lain.
Di India misalnya. Negara tersebut pernah mengalami masalah cukup pelik dengan subsidi haji. Negara sekuler dengan mayoritas penduduk beragama Hindu itu memiliki kementerian urusan kelompok minoritas. Sejak 1932, atas dasar pertimbangan saran dan masukan berbagai kelompok yang bersengketa, pemerintah kolonial Inggris di India memberlakukan subsidi haji. Khususnya untuk membantu transportasi jemaah haji.
Pascakolonialisme berakhir di India, sejak 1959 kebijakan subsidi haji ini tetap dijalankan. Kebijakan subsidi juga diperluas dan diberikan untuk tujuan ziarah keagamaan bagi kelompok agama lainnya. Belakangan, khususnya sejak 2012, di tengah gejolak ekonomi dan perbedaan sikap politik yang tajam, kebijakan subsidi haji mendapatkan banyak kritik dan menjadi polemik. Subsidi haji dan ziarah keagamaan lainnya diminta dihentikan.
Yang menarik, dan perlu kita jadikan sebagai cerminan di sini, bagaimana pemerintah India menyikapi hal ini: mereka setuju penghentian subsidi haji dari pemerintah dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 tahun. Tapi, kemunculan PM Narendra Modi mempercepat proses ini. Pada Januari 2018 subsidi haji resmi dihentikan. Sejak itu seluruh biaya dibebankan kepada calon jemaah haji. Bahkan, para politikus muslim pun banyak mendukung gerakan ini seraya berargumen memang ibadah haji itu sifatnya wajib hanya bagi mereka yang mampu.
Yang bisa kita petik dari kasus pengelolaan biaya haji di India ini adalah: tidak masalah gejolak harga dan biaya haji naik. Tapi, kebijakan dan regulasi diberlakukan secara gradual, bertahap, dan mempertimbangkan banyak faktor di luar angka-angka semata yang berkembang di masyarakat: sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Ketiga, BPIH sebesar Rp 98,8 juta mungkin sudah dihitung dengan cermat dan terlihat rasional. Tapi, penetapan atau usulan menaikkan biaya haji yang harus dilunasi hampir dua kali lipat hanya tiga bulan menjelang keberangkatan itu jelas akan memberatkan para calon jemaah haji. Alih-alih menaikkan subsidi haji (diambil dari nilai manfaat dana haji) karena biaya haji riil semakin melonjak, di tahun 2023 ini sebenarnya pemerintah malah mengusulkan penurunan subsidi tersebut. Pemerintah mengurangi subsidi biaya haji karena alasan yang sebenarnya masuk akal: tergerusnya dana haji akibat pemasukan dan pengeluaran yang tidak lagi seimbang.
Tapi, bagaimana dengan jemaah yang mendapat giliran, tapi mungkin tidak mampu membayar dan melunasi? Pembatalan? Berisiko sekali, apalagi dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia. Jangan lupa juga, siapa mayoritas calon jemaah haji kita? Mereka kebanyakan adalah kaum petani, pedagang, dan orang-orang yang sudah berusia lanjut.
Untuk itu, mendesak kiranya bagi Kemenag RI, DPR, dan seluruh stakeholder haji Indonesia duduk bersama membahas hal penting ini. (zm)
Penulis adalah pengamat haji dan umrah, peneliti senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat Jawa Pos, 24 Januari 2023.