Beriman Kepada Hari Akhir
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “Milir”
Terkait dengan beriman kepada hari akhir, dimana setiap makhluk akan mati, Allah SWT menegaskan, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali Imran/3: 185). Dalam pandangan pengarang Tafsir Jalalain, ayat ini berarti segala perbuatan, baik maupun buruk, akan mendapatkan ganjaran nanti sesudah mati.
Tidak hanya manusia yang mati, tapi juga malaikat dan jin. Allah SWT berfirman, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah” (QS. al-Zumar/39: 68). Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, malaikat termasuk makhluk yang akan mengalami kematian. Orang yang senantiasa berbuat baik, seperti menjalankan shalat, membayar zakat, berpuasa, dan pergi haji berarti dia beriman kepada adanya hari akhir. Alasannya, serangkaian ibadah tersebut pahalanya baru didapat di akhirat nanti. Jadi ada kaitan antara ibadah seseorang dengan keyakinan terhadap hari akhir. Sebelum kehidupan surga dan neraka, orang beriman yang kepada hari akhir meyakini adanya hari berbangkit. Allah SWT memberi inforamasi, “Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur” (QS. al-Baqarah/2: 56). Ayat ini menarik perhatian, dibangkitkannya manusia sesudah mati agar manusia bersyukur.
Bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, penggalan, “Supaya kamu bersyukur” maksudnya karena manusia kembali dihidupkan oleh Allah SWT. Etape selanjutnya, tergantung perbuatan manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman, “Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan” (QS. Yasin/36: 12).
Sesudah dibangkitkan, manusia akan dikumpulkan oleh SWT, sebagaimana firman-Nya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (QS. Ali Imran/3: 9). Inilah doa yang dipanjatkan oleh orang yang dalam ilmunya.
Lebih jelas lagi, Allah SWT berfirman, “(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari ditampakkan kesalahan-kesalahan” (QS. al-Taghabun/64: 9). Tempat berkumpul inilah yang kemudian disebut dengan Padang Mahsyar. Seluruh manusia pertama hingga terakhir dikumpulkan di sana.
Tentang kapan manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar, Allah SWT berfirman, “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa” (QS. Ibrahim/14: 48).
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan Padang Mahsyar itu adalah sebuah tanah yang putih bersih. Nabi SAW bersabda, “Pada hari Kiamat, manusia dikumpulkan di atas tanah yang rata seperti roti putih yang bundar dan pipih” (HR. Bukhari dan Muslim). Makna, “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain”, yaitu hari kiamat.
Tujuan manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar adalah untuk dihisab. Allah SWT berfirman, “Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan” (QS. al-Anbiya/21: 47). Artinya Allah SWT akan menghitung segala sesuatu dengan tepat dan akurat. Dalam bahasa Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, dengan tepat dan sempurna.
Allah SWT juga berfirman, “Bacalah kitabmu. Saat ini cukuplah dirimu sendiri yang menghisab dirimu” (QS al-Israa/17:14). Menurut Syaikh Nawawi Banten, inilah bentuk keadilan Tuhan di akhirat. Yakni, manusia sendiri yang menghitung amal perbuatannya. Alasannya, “Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya” (QS. Ali Imran/3:182).
Selanjutkan dikatakan oleh Abu al-Laits bahwa orang-orang beriman kekal di surga. Tentang hal ini, Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya” (QS. al-Baqarah/2: 82). Artinya, tulis Syaikh Nawawi Banten, mereka tidak pernah mati dan keluar dari surga.
Sementara, orang-orang kafir kekal di neraka. Allah SWT menyatakan, “Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal” (QS. al-Taubah/9: 68).
Tentang orang fasik, Abu al-Laits, menulis bahwa mereka tidak kekal di neraka sesudah dihisab. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Qathrul Ghaits, orang fasik adalah orang beriman yang memberontak terhadap perintah Allah SWT, melakukan dosa besar, senantiasa melakukan dosa kecil, dan maksiat yang dilakukannya mengalahkan ketaatannya.
Dalam al-Qur’an orang fasik digambarkan secara definitif, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. al-Hasyr/59: 19). Lupa yang dimaksud di sini, menurut pengarang Tafsir Jalalain, tidak mau taat kepada Allah SWT. (sam/mf)