Beragama di Era Media Sosial

Beragama di Era Media Sosial

Yusron Razak

(Guru Besar Sosiologi Agama  UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta)

 

Di era media sosial otoritas keagamaan tidak lagi dimonopoli oleh Lembaga formal seperti pesantren, organisasi keagamaan atau institusi Pendidikan Islam. Justru, kini yang menjangkau umat secara lebih luas adalah para da’i seleb-figure public keagamaan yang popular karena kehadiran mereka di flatform seperti  Yu tube, Tik Tok, dan Instagram.Nama-nama seperti ustaz Husein Ja’far (6.8 juta pengikut di Instagram). Ustaz Adi Hidayat (5.6 juta),  Ustazah Oki Setiana Dewi (21.2 juta), dan ustaz Felix Siauw (1.7 juta) menjadi contoh nyata dari fenomena ini. Angka angka itu jauh melampaui akun Lembaga keagamaan  seperti NU Online (1.3 juta) Muhammadiyah (505 ribu). Maupun tokoh formal seperti Gus Yahya (60.1 ribu) dan Haedar Nashir (63.7 ribu). Data ini bukan sekedar statistic akan tetapi mencerminkan perubahan besar dalam lanskap keberagamaan kita. Media sosial tak hanya menjadi medium baru dakwah, melainkan juga turut membentuk ulang relasi antara agama, otoritas, dan budaya popular.

Dakwah sebagai Konten

Di tengah arus informasi yang deras dan gaya hidup yang serba cepat, masyarakat cenderung lebih tertarik pada pesan pesan agama yang ringkas, ringan dan menghibur- sesuatu yang mudah diakomodasi oleh para juru dakwah di media sosial. Dakwah kini tidak lagi ekslusif di masjid atau majlis taklim, tetapi hadir dalam format video pendek bergaya santai, diselingi komedi, bahkan promosi produk. Panggung dakwah bersaing lansung dengan konten motivasi, hiburan dan iklan digital.

Inilah yang menjadikan batas antara mimbar dakwah dan panggung hiburan semakin kabur. Para ustaz tak lagi  sekadar menyampaikan pesan ilahiyah, tetapi juga menjadi figure digital dengan personal branding yang kuat, kerjasama komersial, dan segmentasi audiens yang jelas – termasuk kalangan menengah terdidik, Gen Z, hingga masyarakat urban. Bahkan pengajian pun kini lebih banyak digelar di hotel-hotel mewah dibandingkan dengan di surau atau pesantren. Dalam kacamata sosiologi agama fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk komodifikasi  agama. Peter L Berger menulis bahwa dalam masyarakat modern, agama tidak lagi menjadi satu satunya sumber makna, melainkan harus bersaing di pasar spiritual  yang luas. Untuk tetap relevan,  agama perlu menyesuaikan diri dengan logika pasar, menarik, popular dan mudah dikonsumsi.

Dahulu Max Weber menekankan pentingnya otoritas kharismatik dalam menjelaskan legitimasi keagamaan. Kini era digital, para dai seleb memperoleh pengaruh dan otoritas agama bukan dari kedudukan dalam struktur keulamaan formal, mlelainkan dari daya Tarik personal, kemampuan komunikasi persuasif, serta dukungan tim media sosial yang andal. Namun otoritas jenis ini bersifat rapuh, sekali terjadi kontroversi atau penurunan popularitas, kepercayaan public bisa runtuh dalam sekejap. Artinya otoritas keagamaan digital sangat bergantung pada persepsi public dan algoritma platform. Heidi Campbell (2012) menyebut fenomena ini sebagai bentuk agama digital, yakni ketika media dan dunia digital tidak hanya menjadi alat penyebaran agama, tetapi juga membentuk praktik keagamaan itu sendiri. Alih-alih menjauh dari agama, masyarakat modern justru menemukan spiritualitas dalam bentuk-bentuk baru yang difasilitasi teknologi. Program One Day One Juz, misalnya dengan tagar seperti “Membaca al Qur’an itu penting” dan “Membaca al Qur’an itu keren” telah menginspirasi ribuan Muslim perkotaan untuk secara  konsisten membaca al Qur’an setiap hari.

Peluang dan Resiko

Media sosial sering dikritik sebagai sumber kecanduan, disinformasi dan degradasi moral. Namun, di tangan para da’i kreatif platform ini juga bisa menjadi media dakwah yang efektif. Mereka berhasil menjangkau generasi muda dan masyarakat kelas menengah yang sebelumnya jauh dari wacana keagamaan formal. Mereka  menampilkan wajah Islam yang komunikatif, relatable dan tidak menggurui.Di tengah krisis makna dan kekosongan spiritual, konten- konten semacam ini bisa menjadi pintu awal  bagi pencarian relijiusitas yang lebih dalam. Namun demikian resiko penyederhanaan ajaran agama juga tak bisa diabaikan. Ketika dakwah dikemas semata mata  demi viralitas, nilai nilai agama bisa direduksi menjadi kutipan singkat tanpa konteks. Lebih jauh narasi kegamaan, bahkan bisa dijadikan alat personal branding atau sarana polarisasi sosial.

Tantangan terbesarrnya adalah bagaimana menjaga agar pesan keagamaan tetap inklusif, toleran, dan mencerminkan nilai rahmatan lil’alamin, bukan justru menjadi alat ekslusivisme atau penyerangan terhadap kelompok lain.  Literasi keagamaan di era digital, kita perlu mendorong tumbuhnya literasi keagamaan yang kritis. Dakwah tidak seharusnya diukur dari jumlah pengikut atau seberapa sering masuk trending. Ukuran yang lebih penting adalah kedalaman pesan, , kekuatan nilai, serta  dampak etis dan spiritualnya bagi individu dan masyarakat. Lembaga Pendidikan Islam pesantren, dan organisasi keagamaan pun tidak boleh bersikap anti terhadap teknologi. Mereka justru harus aktif ke ruang digital dengan membawa narasi yang kuat mendalam, dan mencerahkan. Kehadiran mereka penting sebagai penyeimbang wacana, agar ruang keagamaan digital tidak sepenuhnya didominasi oleh konten yang dangkal atau spekulatif.

Agama selalu mengalami transformasi bentuk seiring perkembangan zaman. Namun ruh spiritual dan nilai etik yang menjasdi jiwanya tidak  boleh dikorbankan demi tren sesaat. Dakwah di Instagram, Tik Tok, atau Yu Tube adalah bagian dari relitas  baru yang tak bisa dihindari. Tetapi masyarakat berhak mengharapkan lebih dari sekedar tontonan viral.

Di tengah lautan konten yang hiruk pikuk, suara dakwah yang tenang, jernih, dan bermakna- baik dalam dimensi hablum minallah maupun hablum minannas – jutru menjadi kebutuhan yang paling mendesak hari ini.