Benteng Pendidikan Pemuda
oleh: Syamsul Yakin
Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam al-Munabbihat mengutip perkataan Ka’ab al-Ahbar bahwa benteng bagi kaum mukmin agar tak terpedaya oleh tipu muslihat setan itu ada tiga, yaitu masjid, berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad, benteng adalah satu tempat yang tinggi yang dapat menghalangi musuh. Dalam konteks ini adalah setan. Masjid dapat menjadi benteng dari setan karena masjid adalah tempat berzikir. Imam Bukhari dan Imam Muslim menuliskan dalam kitab hadits mereka sabda Nabi SAW ihwal tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, salah satunya orang yang hatinya terpaut dengan masjid. Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits mengutip hadits SAW yang diriwayatkan Imam Abu Nu’aim: “Masjid adalah rumah bagi setiap orang yang beriman”. Menurut Syaikh Nawawi dalam Tanqih al-Qaul itu artinya bahwa setiap orang memiliki hak terhadap masjid. Misalnya pemuda memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang dilakukan di masjid. Baik pendidikan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, termasuk siyasah. Tentu secara teologis ini bagian dari memakmurkan masjid yang diperintahkan Allah SWT. Allah berfirman, “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah …” (QS. al-Taubah/9: 18). Dalam riwayat Imam Ahmad, Nabi SAW bersabda: “Jika kamu melihat orang yang rajin ke masjid maka persaksikanlah ia sebagai orang beriman”. Nabi SAW bersabda, “ ….sebaik-baik tempat duduk adalah masjid” (HR Imam al-Thabrani). Dalam konteks ini, di masjid para pemuda bisa melakukan aktifitas pendidikan. Apalagi jika pemuda memprakarsai sendiri kegiatan pendidikan berbasis masjid tersebut. Sebagai benteng pendidikan, di masjid bahkan diperbolehkan membawa anak kecil. Ini diisyaratkan dalam sebuah hadits Nabi SAW riwayat Imam Muslim dari Abu Qatadah al-Anshari ihwal putri Zainab yang berada di bahu Nabi SAW saat beliau menjadi imam shalat. Nabi SAW juga bersabda, ” … dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu masjid untuk membaca al-Qur’an dan mempelajarinya di antara mereka melainkan akan turun ketenteraman untuk mereka, rahmat akan menyelimuti mereka …” (HR Muslim). Begitu juga, “Barangsiapa datang ke masjidku ini, tidak lain kecuali untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka dia bagaikan mujahid di jalan Allah, sedangkan yang datang untuk selain itu maka bagaikan orang yang hanya melihat-lihat harta orang lain.” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi). Selanjutnya, salah satu bukti ketakwaan seseorang adalah melakukan ibadah di masjid. Inilah tujuan masjid dibangun, seperti sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya masjid dibangun hanyalah untuk tujuan di mana masjid itu dibangun karenanya” (HR Muslim). Dalam al-Qur’an disebutkan masjid dibangun berdasar takwa (QS al-Taubah/9: 108). Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman, “(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya” (QS al-Nur/24: 36). Begitu juga, “Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al-Hajj/22: 32). Jadi beribadah di masjid adalah bagian dari memuliakan dan menyebut nama-Nya dan mengagungkan syiar-syair Allah yang salah satunya adalah masjid. Inilah pendidikan terkait ibadah yang dapat dilakukan para pemuda di dalam masjid. Tentang pendidikan akhlak yang dapat dipetik para pemuda di dalam masjid pertama-tama adalah terkait etika berada di dalam masjid itu sendiri. Nabi SAW bersabda, “Berludah di masjid adalah kesalahan …” (HR Muslim). Terkait hal ini, Allah SWT berfirman, ”Janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu) itu sedang kamu beri’tikaf dalam masjid …” (QS al-Baqarah/2: 187). Begitu juga, “Janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalam masjid di samping (menyembah) Allah.” (QS al-Jin/72:18). Dalam Lubab al-Hadits kembali Jalaluddin al-Suyuthi mengutip hadits Nabi SAW, “Barangsiapa yang berbicara ikhwal urusan duniawi di dalam masjid, maka Allah menghapus amal kebaikannya selama empat puluh tahun”. Menurut Syaikh Nawawi dalam Tanqihul Qaul, disunahkan menyucikan masjid dari pembicaraan duniawi, bertengkar, berteriak-teriak, dan menghunus senjata. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW juga melarang bertransaksi di dalam masjid (HR Imam Muslim). Terkait dengan muamalah atau interaksi secara horizontal dengan sesama muslim terefleksikan salah satunya dalam salat berjamaah. Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis sabda Nabi SAW, “Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat disbanding shalat sendirian”. Langkah awal bermuamalah bagi pemuda bisa berawal dari masjid melalui shalat berjamaah. Apalagi shalat itu sendiri disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Ankabut/29 ayat 45 berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar. Ini adalah awal bermuamalah yang baik. Selanjutnya, dalam lanskap sosio-historis umat Islam, fungsi masjid Quba sebagai masjid yang pertama-tama dibangun oleh Nabi SAW tidak hanya untuk tempat ibadah. Namun juga untuk tempat musyawarah sekaligus mengatur siasat perang. Untuk itu di masjid boleh bicara politik, namun bukan politik praktis. Dalam sejarah Islam, banyak ulama yang kemudian menjadi ahli dalam bidang pemikiran politik Islam yang dituangkan dalam karya mereka. Misalnya, Al-Ghazali dengan karyanya al-Tibr al-Masbūk fi Nashīhat al-Mulūk, Ibnu Taimiyah dengan al-Siyasah al-Syar’iyyah, dan lainnya. Pada masa selanjutnya, dikenal juga tokoh pemikir dan praktisi politik Islam misalnya, Muhammad Abduh, Jalaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho. Begitu juga nama-nama seperti Abu al-A’la al-Maududi, Sayyid Quthb, dan Hassan al-Banna. Dalam sejarah, mereka lahir dari masjid. Kendati boleh berpolitik, namun Nabi SAW berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR Bukhari dan Muslim).*(sam/mf)