BELANDONGAN
KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA
Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”Belandongan yang terucap di lidah orang Betawi diserap dari bahasa Sunda, yakni balandongan. Di tempat asalnya belandongan adalah rumah tidak permanen yang didominasi balok kayu dan papan. Belandongan dibangun berhampiran dengan rumah utama. Fungsinya untuk tempat istirahat, kumpul keluarga besar, dan kegiatan keagaman dan kemasyarakatan. Bandongan adalah milik pribadi dan dibangun oleh pribadi juga.
Saya mengenal belandongan lebih dari 40 tahun silam. Hanya saja belandongan yang saya kenal adalah nama lain untuk pelampang, tarub, atau tenda yang digunakan untuk hajatan. Seingat saya belandongan memilki tiang-tiang utama yang kokoh. Entah terbuat dari kayu apa. Bisa jadi kayu duren, kecapi, atau dukuh yang memang tumbuh subur di Parung Bingung hingga sekitar 1990. Umumnya, kayu nangka dan cempedak itu berat, jadi tidak digunakan untuk belandongan.
Orang Parung Bingung yang punya belandongan dan disewakan dengan cara bongkar pasang adalah Pak Musal. Di depan rumahnya ada pohon menteng dan kokosan. Kokosan itu buah serupa dukuh. Sedangkan buah serupa menteng adalah mundung. Sama seperti buah serupa mangga adalah kuweni. Kuweni lebih dulu tumbuh secara alami di Parung Bingung. Hanya saja rasanya lebih kecut. Sebenarnya saudara paling dekat dari mangga adalah bembem.
Orang Betawi Depok membangun belandongan di depan rumah utama. Saat ini saya masih menemukan rumah yang masih memiliki belandongan di Sawangan dan Pengasinan. Zaman dulu umumnya, belandongan berlantai tanah. Tiang utama yang terbesar sebagai penyanggah berada di tengah. Belandongan juga dilengkapi dengan bale dari pelupuh. Di atas bale digelar tikar pandan lengkap dengan air di kendi atau teko untuk siapa saja yang kehausan. Pohon pandan saat ini hampir punah.
Sebenarnya belandongan beda dengan tarub.Tapi orang Parung Bingung menyamakannya. Saya pernah mendengar istilah tarub digunakan untuk belandongan atau pelampang. Padahal di tempat aslinya, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, tarub itu adalah ornamen atau hiasan berupa gapura yang melengkapi belandongan atau pelampang. Jadi tarub adalah bagian lain dari belandongan yang terpisah. Berdasar urutan waktu, orang Parung Bingung pertama-tama mengenal belandongan, tarub, pelampang, dan terakhir tenda.
Padahal tenda itu dulu tidak disebut pelampang, tarub, dan belandongan. Tenda itu digunakan oleh tentara atau pramuka berkemah. Tenda dalam pengertian ini masih berlaku hingga sekarang. Namun papan reklame yang berbunyi "menyewakan tenda untuk pesta" yang disewakan adalah pelampang. Tapi tentunya bukan belandongan. Karena belandongan dalam arti pelampang sudah tinggal kenangan. Saya tidak ingat lagi, apa Pak Haji Samuin dulu menyewakan belandongan di Parung Bingung?
Pelampang belakangan makin jarang dikata orang. Padahal fisiknya sama-sama dari besi. Orang kaprah menyebutnya tenda. Namun yang hampir tak diucapkan lagi adalah belandongan dan tarub. Untuk kita, tidak jadi cela kalau tenda untuk pesta kita sebut pelampang saja. Kata tenda biar digunakan untuk pramuka dan tentara berkemah. Bisa juga sebut saja belandongan untuk mengatakan pelampang, kendati terbuat dari besi. Atau hidupkan lagi kata tarub. Semata untuk memelihara kata lama agar kita tidak lupa.
Sebenarnya tradisi belandongan yang dibangun di depan rumah bukan hanya dimiliki orang Betawi zaman dulu. Untuk jenis dan fungsi bangunan yang sama, di daerah Melayu Sumatra disebut teratak. Buktinya air minum "Teratak" yang ditarik seperti mobil bensin itu lambangnya adalah rumah. Coba saja perhatikan. Tentu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Bali, Madura, terus ke Timur, nama untuk belandongan juga berupa-rupa. Tapi hanya orang Betawi Depok yang menyebut belandongan untuk pengganti pelampang dan tenda.
Belandongan dalam dua pengertian di atas memang pantas tergusur. Pertama, tanah yang kian sempit yang dimiliki orang Betawi membuat belandongan tidak mungkin dibangun. Belandongan yang dimaksud adalah teratak. Kedua, belandongan yang terbuat dari kayu memang harus digantikan dengan pelampang yang terbuat dari besi karena ringan, sangkil, dan mangkil. Belandongan akhirnya tidak lagi dikenal. Namun apa sulitnya orang Betawi saat ini menyebut tenda di tempat hajatan dengan belandongan? Anda bersedia? (sam)