Belajar Kearifan dari Wali Sanga

Belajar Kearifan dari Wali Sanga

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Bagaikan tidak pernah lekang oleh waktu, Wali Sanga dan para penganjur awal Islam selalu menjadi wacana antargenerasi di Indonesia. Mereka telah meletakkan strategi pengembangan agama Islam yang sangat mengesankan.

Mereka sepertinya mencontoh bagaimana Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam di kawasan Timur Tengah melalui tiga strategi. Pertama, melalui tahapan proses pengenalan dan pengamalan ajaran (al-tadrij fi al-tasyri’). Tahapan itu memperkenalkan dasar-dasar filosofi ajaran Islam yang sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan.

Dengan begitu, orang-orang tidak khawatir akan terjadinya distorsi kemanusiaan dengan penerimaan Islam. Itulah sebabnya pada masa awal Islam di Mekah hanya diperkenalkan aspek kepercayaan dan keyakinan atau akidah, belum diperkenalkan aspek hukum yang berisi perintah dan larangan.

Kedua, menyingkirkan kesulitan (‘adam al-haraj), yaitu menghilangkan kesan di masyarakat bahwa ajaran Islam berat, merepotkan, dan membebani.

Nabi selalu mendampingi umatnya dan berusaha memperkenalkan Islam sebagai agama kemanusiaan. Konsep ajarannya dapat dijangkau manusia. Jika ada kesulitan, selalu ada opsi jalan keluar.

Islam diperkenalkan sebagai agama yang tidak kaku, tetapi elastis dan selalu memberi ruang terhadap kearifan lokal yang selama ini mapan di masyarakat.

Ketiga, pembebanan secara bertahap (taqlil al-taklif), tidak serta-merta diterapkan konsep maksimum ajaran dan hukum Islam. Sebagai contoh, untuk menyatakan keharaman minuman keras yang merupakan budaya Arab ketika itu, diturunkan 4 ayat secara bertahap hingga sampai pada puncaknya bahwa minuman keras yang memabukkan itu adalah permainan setan yang harus dijauhi (QS al-Maidah/5:90).

Demikian pula praktik riba dan rentenir yang juga merupakan kebiasaan orang-orang Arab. Diperlukan 7 ayat yang turun secara bertahap untuk sampai kepada pamungkasnya, larangan memakan riba (QS al-Baqarah/2:275).

Ketiga prinsip ini dilakukan oleh para penganjur Islam awal di Indonesia. Karena itu, mereka menganggap dakwah tersebut sebagai sesuatu yang harus terus berlanjut (on-going process).

Dengan meminjam istilah Taufik Abdullah, islamisasi di Indonesia harus dianggap sebagai sesuatu yang berlapis-lapis. Lapis demi lapis nilai-nilai ajaran diperkenalkan secara sistematis. Kita tidak bisa memperkenalkan Islam sekaligus dari akidah sampai syariat dan akhlak.

Yang penting bagaimana Islam mulai diperkenalkan tanpa menimbulkan resistensi bagi masyarakat pribumi. Mungkin ada praktik sinkretisme masih tetap dibiarkan, tetapi pada saatnya akan ditinggalkan jika kurikulum dakwah sudah sampai pada tahap penjernihan ajaran.

Kearifan Nabi Muhammad SAW yang ditiru oleh Wali Sanga dan para penganjur Islam awal lainnya berhasil mengetuk pintu hati pusat-pusat kerajaan lokal Nusantara. Dengan begitu, seperti apa kata Ibnu Khaldun, “Masyarakat itu mengikuti agama yang dianut rajanya.”

Dalam masyarakat paternalis seperti masyarakat Indonesia, apa kata rajanya itu kata rakyatnya. Dengan merangkul para raja, maka otomatis sama dengan merangkul rakyatnya. Agar negeri kita menjadi negeri berkah, kita tidak perlu malu belajar kearifan dari Wali Sanga. Sumber: Media Indonesia, 7 April 2022. (sm/mf)