Bekerja Nir-Sorotan
Prof. Dr. Imam Subchi, M.A.
Perdebatan seputar apakah bencana banjir dan tanah longsor yang mendera Sumatra adalah bencana nasional atau bukan harus diakhiri. Tidak bisa dipungkiri, itu adalah bencana nasional.
Bencana ini adalah luka yang teramat dalam yang ditorehkan oleh alam pada kita, atas kealpaan kita sendiri. Hutan yang semula ranum bersemi, yang kemudian hilang, menjadi tengara yang mengundang air bah datang.
Yang menarik adalah reaksi setelahnya. Berbondong-bondong masyarakat mulai menaruh perhatian ke lokus bencana. Tidak terhitung lagi deret truk, helikopter, atau kapal-kapal kecil penyalur bantuan yang hilir mudik memberikan bantuan pada penyintas. Sungguh merupakan pemandangan yang memilukan.
Namun, di balik itu, terdapat sejumlah oknum yang kedapatan memancing di air keruh. Alih-alih tetap bekerja dengan fokus besar, mereka menampilkan diri ke publik bak pahlawan kesiangan. Dengan sorotan tajam kamera ke diri mereka, bak peragawati berjalan di catwalk, mereka menyapa warga, menjanjikan bantuan, disertai gimik-gimik lain yang seakan “memaksa” penontonnya untuk memuji aksi heroiknya. Narsisme yang berbalut miris.
Profesionalime
Dalam situasi darurat bencana alam di Sumatra, di mana ribuan nyawa dan hajat hidup orang-orang tergantung pada respons yang cepat dan terkoordinasi, esensi dari bekerja profesional seharusnya terletak pada pelaksanaan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) dengan presisi dan empati.
Setiap pihak, baik pemerintah, lembaga bantuan, maupun relawan, memiliki peran spesifik dalam rantai penanggulangan bencana yang saling terkait.
Fokus pada tugas ini—mulai dari logistik, evakuasi, kesehatan, hingga pemulihan—adalah kunci efektivitas. Namun, realitas di lapangan kerap dinodai oleh praktik pencitraan individu, di mana beberapa figur justru memposisikan diri sebagai frontman di depan kamera, seolah-olah menjadi superhero tunggal penyelamat. Aksi seperti ini bukan hanya tidak profesional, tetapi merupakan penyimpangan dari prinsip kebersamaan dan pelayanan.
Aksi nirempati yang berfokus pada pencitraan diri tersebut secara nyata melukai korban bencana. Ketika perhatian dan sumber daya dialihkan untuk mengatur angle kamera atau kunjungan yang bersifat seremonial, waktu respons terhadap korban yang terisolasi atau membutuhkan pertolongan medis darurat bisa terbuang.
Korban, yang sedang berada dalam puncak penderitaan, justru menjadi "latar belakang" atau properti dalam drama pencitraan seseorang. Rasa sakit dan keputusasaan mereka terabaikan, sementara pesan yang sampai kepada publik adalah heroisme individual, bukan solidaritas kolektif. Hal ini memperdalam trauma dengan membuat mereka merasa dijadikan objek eksploitasi, bukan subjek yang dipulihkan martabatnya.
Lebih luas lagi, praktik seperti ini merusak kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sistem penanggulangan bencana. Ketika publik menyaksikan bagaimana drama pencitraan mengalahkan substansi bantuan, timbul sinisme dan kekecewaan mendalam. Masyarakat mulai mempertanyakan integritas setiap aksi bantuan, yang dapat meredam gelombang solidaritas dan donasi spontan dari masyarakat. Kepercayaan yang terkikis ini berdampak jangka panjang, menyulitkan koordinasi dan partisipasi publik dalam bencana-bencana mendatang. Bangsa ini menjadi terluka karena melihat nilai-nilai gotong royong dan ketulusan membantu sesama dikhianati demi ambisi pribadi yang sempit.
Oleh karena itu, profesionalisme sejati dalam menanggulangi bencana harus didefinisikan ulang sebagai kemampuan bekerja secara efektif di balik layar, memastikan setiap mata rantai dalam bantuan berfungsi optimal tanpa perlu sorotan. Pahlawan sesungguhnya adalah tim medis yang tak henti merawat korban di tenda darurat, logistik yang memastikan distribusi air bersih tepat waktu, atau para pekerja yang membuka akses jalan terpencil. Kesuksesan harus diukur dari indikator nyata: jumlah korban yang dievakuasi, kecepatan distribusi logistik, dan penurunan angka kematian, bukan dari frekuensi kemunculan di berita televisi.
Hendaknya para pihak yang masih gandrung kamera dan kegiatan seremonial minim pemaknaan, mulai banyak menderas aneka kebijaksanaan kuno Nusantara, termasuk ajaran topo ngrame dalam falsafah Jawa. Topo ngrame adalah sebuah konsep falsafah hidup Jawa yang mendalam, menggabungkan dua kata kunci: topo (bertapa, laku prihatin, atau menjalani tirakat) dan ngrame (ramai, hiruk-pikuk, atau keramaian).
Secara harfiah, frasa ini dapat dimaknai sebagai "bertapa di tengah keramaian". Namun, maknanya jauh lebih substantif daripada sekadar berada di lokasi yang ramai. Ini adalah sebuah laku batin dan spiritual yang mengajarkan ketahanan, kesadaran penuh, dan kemurnian niat. Seseorang yang menjalani topo ngrame ditantang untuk tetap menjaga ketenangan, kejernihan hati, dan integritas dirinya justru ketika berada dalam situasi yang penuh godaan, sorotan, pujian, atau kesibukan duniawi. Ia harus mampu ngramèkaké atau menghayati dan mengelola keramaian tersebut tanpa terhanyut atau kehilangan jati dirinya.
Dengan demikian, esensi dari topo ngrame bukanlah mengasingkan diri dari dunia, tetapi justru aktif berkontribusi di dalam masyarakat dengan fondasi batin yang kuat dan terlatih. Filosofi ini menekankan pentingnya kerja yang tulus, pelayanan tanpa pamrih, dan sikap rendah hati meskipun memiliki kedudukan atau berada dalam pusat perhatian. Dalam konteks kepemimpinan dan pelayanan publik, topo ngrame menjadi antidot bagi penyakit pencitraan dan keinginan untuk selalu tampil sebagai pahlawan.
Seorang pemimpin atau aparat yang menjalankan nilai ini akan bekerja dengan senyap dan efektif di belakang layar, memastikan tugasnya tuntas, tanpa perlu menjadikan setiap aksinya sebagai tontonan atau alat peningkatan popularitas diri. Inilah bentuk penguasaan diri tertinggi: mampu memberikan yang terbaik bagi orang banyak, sementara hati tetap terpelihara dari keramaian nafsu akan pujian dan pengakuan.
Diketahui, sejumlah tokoh filsafat Jawa melakukan pola topo ngrame dalam melakukan aktivitasnya. Misalnya saja saat Sunan Kalijaga memperkenalkan Islam ke wilayah Cirebon dan sekitarnya, ia dikenal sebagai Syekh Malaya. Di sana ia tidak hadir sebagai seorang ulama dengan ilmu yang banyak dan dominan, melainkan seorang pengelana yang membantu penduduk kecil sekaligus memperkenalkan mereka dengan ajaran Islam yang luhur.
Perilaku seperti ini harus dibaca dan diaplikasikan kembali, sebelum diri kita benar-benar dilalap oleh narsisme sorotan yang berlebih sehingga membuat diri ini menjadi manusia disorientasi.
Manusia Gagal
Mencermati perilaku narsisme akan relevan dihubungkan dengan karya monumental sastra Jepang berjudul Ningen Shikkaku (1948), yang ditulis oleh Osamu Dazai, yang diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia menjadi Gagal sebagai Manusia. Karya ini bukan sekadar kisah tentang seorang pria yang teralienasi. Novel ini merupakan eksplorasi mendalam tentang kehancuran manusia yang terjadi ketika ia lebih memilih untuk hidup sebagai karikatur dirinya demi pengakuan sosial. Lewat tokoh Yozo Oba, pembaca disadarkan akan bagaimana kegagalan menjadi manusia berawal dari ketidakmampuan untuk menjadi autentik.
Dalam konteks kontemporer, sindrom Yozo Oba ini menemukan manifestasinya yang akut pada manusia yang haus akan sorotan kamera. Mereka yang hidup untuk pujian dan validasi publik sesungguhnya sedang menjalani laku yang sama dengan Oba: menggantikan esensi diri dengan sebuah topeng yang dirancang untuk memenuhi harapan dan kekaguman orang lain. Kamera, dalam hal ini, bukan lagi alat dokumentasi, melainkan cermin yang memantulkan ilusi diri yang ingin dipercayai oleh dunia.
Dazai menunjukkan bahwa proses memakai topeng ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri yang paling fundamental. Yozo Oba, sejak kecil, telah belajar bahwa untuk diterima, ia harus menjadi badut yang selalu menghibur. Ia gagal memahami “cara menjadi manusia” karena terlalu sibuk memerankan “manusia” versi orang lain.
Demikian pula, mereka yang terobsesi pada pencitraan di media sosial atau dalam situasi publik—seperti dalam penanggulangan bencana—telah mengasingkan diri dari pengalaman manusiawi yang autentik: rasa sakit, keraguan, empati tulus, dan kontemplasi diam. Sorotan kamera menuntut performa, bukan kehadiran; ia memerlukan gambar yang baik, bukan tindakan yang substantif. Dalam proses itu, hati nurani dan integritas personal dikorbankan demi tawa atau decak kagum sesaat.
Kegagalan terbesar, sebagaimana diperlihatkan Dazai, adalah ketika topeng itu akhirnya menyatu dengan kulit, dan sang aktor kehilangan semua jejak diri aslinya. Manusia pencari sorotan kamera pada akhirnya tidak memiliki identitas di balik persona yang dipentaskannya. Ia menjadi hampa, terisolasi dalam kesepian yang paradoks di tengah pujian yang ramai.
Seperti Oba yang merasa “terasing dari kemanusiaan”, mereka pun terasing dari realitas dirinya sendiri. Hubungan dengan sesama menjadi transaksional, berdasarkan apa yang bisa diambil dari panggung tersebut, bukan atas dasar pengakuan timbal balik atas keberadaan yang utuh.
Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan penderitaan eksistensial yang mendalam—sebuah “kegagalan sebagai manusia” yang sesungguhnya, di mana individu kehilangan kapasitas untuk hidup secara jujur dan bermakna.
Oleh karena itu, novel Ningen Shikkaku yang terbit di periode pasca-Perang Dunia II itu justru menjadi peringatan yang sangat relevan di era digital ini. Dazai mengajak kita merenung: menjadi manusia bukanlah tentang menjadi paling terang di bawah sorotan, melainkan tentang keberanian untuk berdiri dalam cahaya diri sendiri, sekalipun itu redup dan penuh cela. Kesuksesan sebagai manusia terletak pada kemampuan untuk menerima dan menghadapi kompleksitas diri tanpa filter atau panggung.
Hanya dengan menanggalkan topeng dan mengabaikan panggung sorotan kamera—seperti ajaran topo ngrame untuk tetap tenang dalam keramaian—seseorang dapat menemukan kembali jalan pulang menuju kemanusiaannya yang sejati, yang mungkin rapuh, namun autentik dan utuh. (zm)
Penulis adalah Wakil Rektor UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom artikel Rakyat Merdeka (https://rm.id/baca-berita/kolom/292527/bekerja-nirsorotan)
