Bahaya Menunda Pemilu 2024

Bahaya Menunda Pemilu 2024

Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

Wacana menunda Pemilu 2024 yang diusulkan PKB, PAN, dan sinyal kuat dukungan dari Golkar langsung memantik kekisruhan. Akademisi, peneliti, dan aktivis prodemokrasi tanpa henti mengkritik serta menolak gagasan tak rasional tersebut. Selain mengangkangi konstitusionalisme demokrasi, diskursus penundaan pemilu jelas akan menimbulkan gejolak yang lebih luas. Bahkan, potensial melahirkan chaos politik berkelanjutan sebab ada jeda politik yang membuka ruang terjadinya kekosongan kekuasaan.

Menunda pemilu, bukan berarti otomaticly memperpanjang masa jabatan presiden, DPR, dan DPD. Di situlah letak titik rawan yang bisa menimbulkan goncangan besar. Semua kepentingan politik potensial tarung bebas saling berkelahi berebut kekuasaan.

Secara normatif, menunda pemilu sebenarnya sangat mungkin dilakukan dan memiliki basis legitimasi hukum kuat. Misalnya, kasus menunda Pilkada serentak 2020 ke Desember karena alasan badai covid-19. Penundaan pemilu bisa dilakukan KPU karena alasan tertentu yang kemudian memunculkan istilah pemilu lanjutan dengan ketentuan yang cukup ketat.

Dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 431 dan 432 dijelaskan, dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu lanjutan dan susulan.

Penundaan pemilu yang disampaikan sejumlah partai politik sangat sumir, longgar, dan tak memiliki fondasi argumen yang kuat. Indonesia tidak sedang dalam kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam. Sementara itu, gangguan lainnya bisa ditafsirkan karena minimnya anggaran pemilu. Semua tahu bahwa negara tidak dalam krisis keuangan. Buktinya, pemindahan ibu kota negara bisa dilakukan cepat dengan anggaran yang berlimpah.

Jadi, argumen penundaan pemilu karena alasan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, kepuasan kinerja, dan aspirasi segelintir pelaku ekonomi sangat tak masuk akal. Tak ada regulasinya dan mudah dibantah. Bahkan, dalam banyak hal pemilu justru menghidupkan kembali denyut ekonomi kelas menengah ke bawah. Partai politik, kontestan, dan tim sukses pastinya belanja logistik untuk kepentingan kampanye udara dan darat, dari pemasangan atribut pemilu hingga logistik bantuan sosial.

Kepentingan Siapa

Tentu saja menjadi tanda tanya besar soal siapa sebenarnya yang paling berkepentingan dengan wacana penundaan Pemilu 2024. Secara kasatmata pastinya partai politik. Apa pun judulnya, partai politik bisa menikmati kemewahan jabatan politik tanpa kampanye. Presiden dan anggota dewan, masa jabatannya seakan bisa diperpanjang otomatis tanpa harus melalui kampanye politik berdarah-darah. Ini jalan tol bagi partai politik untuk melanjutkan kekuasaan politik. Selain cacat legitimasi, tentu saja bisa memunggungi demokrasi elektoral. Pada level ini saja sudah bermasalah.

Secara transparan, wacana penundaan pemilu juga bisa menjerumuskan Jokowi yang tegas menolak masa jabatan presiden tiga periode. Ada kesan partai politik pengusung wacana ini sedang mencari muka demi mendapatkan simpati presiden. Tentunya, dengan alasan yang terkesan masuk akal dan menyanjung kerja politik pemerintah. Kesan ini sangat kuat tak bisa dimungkiri. Semacam uji loyalitas tanpa batas.

Meski begitu, publik tanpa henti melancarkan pertanyaan kritis. Sejumlah partai politik itu sadar betul pasti dikecam dengan usul menunda pemilu. Apa yang membuat mereka rela irasional dan terlihat melakukan bunuh diri politik, jika tak ada sesuatu yang dicari. Misalnya, adanya kekuatan besar yang mengendalikan mereka dengan konsesi politik menggiurkan penuh janji surga. Partai politik secara umum perilakunya sama. Dominan mencari keuntungan ketimbang memperjuangkan sesuatu yang sifatnya normatif nan suci.

Tak habis pikir, apa yang sebenarnya diinginkan PKB usul penundaan pemilu di tengah agresifitas Muhaimin Iskandar memoles citra maju pilpres. Lalu, apa yang ada di benak Golkar, di tengah konsolidasi memperkuat basis politik demi mengusung Airlangga Hartarto tanding pilpres. Itu sama halnya dengan mengubur mimpi kedua ketua umum partai mereka untuk menunda keinginan maju pilpres. Sangat sumir dan lucu. Apalagi, beberapa waktu lalu semua partai politik parlemen dan pemerintah sepakat menggelar pemilu serentak pada 14 Februari 2024.

Rakyat kian cerdas membaca fenomena politik. Tak mudah percaya begitu saja dengan nyanyian elite pengusung penundaan pemilu dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Pasti ada hal penting yang disembunyikan, mungkin juga dipertaruhkan, demi sustainabilitas hidup politik mereka ke depan. Sikap elite partai politik yang menyetujui penundaan pemilu sangat mencurigakan, serba mendadak, dan gerakannya terkonsolidasi dengan baik.

Menyudahi kekisruhanTak ada cara lain, partai politik pengusul penundaan Pemilu 2024 mesti menyudahi kekisruhan. Tak bagus bagi kesehatan demokrasi di tengah indeks persepsi demokrasi yang melaju pelan. Menunda pemilu bukan solusi bangsa. Malah menambah beban masalah yang kian bertumpuk. Menunda pemilu tak membuat rakyat kenyang. Cukup sudah bangsa ini lelah menghadapi rumitnya hidup efek badai covid-19. Tak pelu lagi ditambah wacana yang tak ada kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.

Elite politik mestinya memberikan contoh baik tentang tata krama berdemokasi yang sehat. Jangan malah membangun narasi yang justru mengajak rakyat menabrak aturan sakral. Wacana menunda pemilu sangat sensitif soalnya. Serupa membuka kotak pandora yang bisa melahirkan prahara politik tak berkesudahan di kemudian hari. Dalam banyak hal, kualitas demokrasi bisa terjun bebas karena perilaku elite politik, bukan rakyat.

Apa pun motifnya, sejumlah partai politik yang meminta pemilu ditunda bentuk pikiran inkonstitusional. Mengebiri demokrasi di tengah rezim presidensialisme dengan siklus pemilu lima tahunan tanpa bisa disela oleh kepentingan apa pun. Pemilu reguler diselenggarakan lima tahun sekali dengan alasan stabilitas politik. Sebagai jalur kompromi dari berbagai kepentingan politik. Jangan lagi diutak-atik demi secuil kepentingan segelintir kelompok tertentu.

Menunda pemilu bukan hanya tak ajek bagi demokrasi, melainkan juga bagian dari menggali kubur sendiri, bagi partai politik dan aktornya. Bagi PKB dan Golkar yang ingin mengusung ketua umum mereka maju pilpres tentu langkah blunder. Alih-alih meraup simpati yang didapat malah sebaliknya. Banjir kecaman dan hujatan datang tanpa henti. PAN meski tak punya jagoan pilpres, tapi sangat merusak citra partai.

Beruntung bangsa ini memiliki kelompok kritis yang terus berdenyut. Selalu pasang badan melawan elite politik yang kerap zig-zag bermanuver merusak kualitas demokrasi serta mengabaikan suara rakyat. Sambil lalu rakyat tanpa henti berharap, partai politik pendukung pemerintah lainnya, seperti PDIP, Gerindra, NasDem, dan PPP konsisten menolak wacana menunda Pemilu serentak 2024. Kini, bola liar menunda Pemilu 2024 ada di tangan elite partai politik.

Sumber: Opini Media Indonesia, Selasa, 1 Maret 2022. (ah/sam/mf)