Bahasa Berita Harus Ditulis Demokratis

Bahasa Berita Harus Ditulis Demokratis

Gedung FAH, BERITA UIN Online – Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang dipakai olah para wartawan untuk menulis berita. Salah satu cirinya tidak mengenal kasta alias harus demokratis.

Hal itu dikatakan Pemimpin Redaksi BERITA UIN TV Nanang Syaikhu di depan peserta Workshop Jurnalistik bertajuk “Trik Bagaimana Menulis Berita yag Baik dan Benar” di Gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta, Senin (31/1/2022).

Menurut Nanang, sebagai salah satu ragam bahasa Indonesia, bahasa jurnalistik sangat menekankan bentuk kesederhanaan dan ekonomis kata. Karena itu, bahasa jurnalistik tidak mengenal kasta atau tingkatan. Sebaliknya, bahasa jurnalistik harus memperlakukan sama terhadap narasumber, siapa pun narasumbernya.

“Contohnya, dalam penggunaan bahasa jurnalistik yang demokatis tidak memakai sapaan ‘bapak’ atau ‘ibu’ dalam penyebutan narasumber. Cukup tulis namanya dan jabatannya saja,” katanya.

Konkretnya, jelas Nanang, narasumber tidak perlu ditulis ‘menurut Bapak Joko Widodo’, tapi cukup ‘menurut Joko Widodo’ atau ‘Presiden Joko Widodo’. Demikian juga tidak perlu ditulis ‘menurut beliau’, tapi cukup ‘menurut Presiden’ atau ‘menurut Joko Widodo’ saja.

Hal yang sama juga tidak berlaku dalam penulisan gelar akademik. Menurut mantan wartawan majalah Panji Masyarakat era 90-an itu, bahasa berita bukanlah naskah akademik. Bahasa berita adalah naskah jurnalistik yang ditulis sesuai karakteristik bahasa tersebut.

“Kalau dalam bahasa ragam ilmiah mungkin boleh saja gelar akademik ditulis lengkap. Tapi sebagai bahasa berita, penulisan gelar tidak terlalu dianggap penting. Selain tidak ekonomis kata, pembaca berita haya fokus pada nama dan peristiwa, bukan pada gelar akademiknya,” kilah Nanang.

Dia menambahkan, bahasa jurnaslitik juga harus populis. Artinya mudah dipahami dan akrab di telinga pembaca, pendengar, dan pemirsa. Jika bahasa berita sulit dicerna atau sulit dipahami oleh khalayak yang heterogen, berarti penulisnya telah gagal menyampaikan informasi.

Kegagalan menyampaikan informasi juga dapat terjadi bilamana bahasa yang disampaikan terlalu elitis dan penuh istilah asing. Nanang menyarankan jika ingin menulis berita yang baik dan benar, sedapat mungkin menghindari bahasa elitis dan istilah asing tersebut.

“Jika sudah ada bahasa Indonesia-nya, saya kira tidak harus memaksakan diri dengan menulis kata atau istilah asing tersebut. Misalnya istilah track record, ya tulis saja ‘jejak rekam’. Apa susahnya,” tandasnya.

Demikian pula terhadap penggunakan istilah teknis. Jika memang sulit dihindari, penulisnya harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut.

Jadi, menurut Nanang, penggunaan bahasa berita harus dibuat sesederhana mungkin. Jangan sampai ada khalayak pembaca, pendengar, dan pemirsa harus memutar otak atau mengernyitkan dahi untuk sekadar memahami isi berita.

“Apalagi sampai harus membuka-buka kamus segala macam,” ujarnya.

Woskhop Jurnalistik digelar FAH secara luring dan daring serta diikuti oleh 122 peserta. Selain Nanang Syaikhu, pembicara lainnya adalah Soraya Permatasari, Editor Bloomberg Wilayah Asia Tenggara. (ns)