Azyumardi Azra: Guru Para Kaum Intelektual Sejati

Azyumardi Azra: Guru Para Kaum Intelektual Sejati

Prof. Dr. Murodi

 

Sekira dua atau tiga hari sebelum Azyumardi Azra, kami biasa menyebut kak Edy, berangkat ke Malaysia untuk menjadi narasumber dalam International Conference atas undangan Datuk Dr. Anwar Ibrahim dari ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), saya berkomunikasi lewat WA, terkait wafatnya Andikey Kristianto, salah seorang aktifis kampus yang sangat peduli lingkungan dan kepeduliannya pada Dhu'afa dan anak jalanan. Azyumardi bertanya, sakit apa bang Odie..? sebutan abang buat saya adalah penghargaan luar biasa yang selalu diucapkan ke saya sebagai orang Betawi. Saya jawab, sepertinya Andikey kena serangan jantung akibat asam lambung akut. Lalu dia bilang, kasihan, masih terlalu muda dan masih panjang jalan hidupnya. Begitu, kira-kira isi komunikasi saya dengan beliau. Azyumardi Azra sangat apresiatif terhadap anak-anak muda potensial dan kreatif. Hal itu juga saya rasakan saat saya masih aktif di PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta. Dan kini beliau pergi menyusul ke haribaan Allah swt. Kita semua merasakan kehilangan tokoh intelektual sejati.

 

Azyumardi Guru dan Mentor Hebat

Boleh dibilang, Azyumardi Azra adalah guru, mentor, dan kakak senior yang baik, karena selain dengan ikhlas dan rela hati memberikan ilmunya pada orang yang mencarinya, beliau tak segan menjadi mentor toladan buat siapa saja, termasuk saya dan teman-teman UIN Jakarta.

Terdapat kesan yang sangat menarik yang saya rasakan saat kuliah S3 di SPs UIN Jakarta. Beliau menjadi dosen favorit, disenangi begitu banyak mahasiswa, sampai ada yang tidak dapat kursi, karena keterbatasan kuota. Pada saat di kelas, saya diberikan kepercayaan menjadi asisten beliau di kelas S3. Jika beliau tidak masuk, dia akan telepon meminta saya masuk, memfasilitasi jalanya perkuliahan. Di saat itu, saya banyak belajar dari beliau. Dan bahkan,  saat beliau hadir, saya tetap diminta memimpin diskusi dan belajar bersama teman- teman, sehingga saya makin tahu kesederhanaan dan keinginan beliau mencipta kan generasi muda yang mumpuni dalam bidang sejarah. Dalam setiap perkuliahan, saya selalu mencatat perkataan kak Edy dalam buku, yang masih saya simpan hingga sekarang. Dan catatan itu selalu jadi bahan penting buat teman-teman untuk difotokopi, karena, biasanya, selalu keluar saat ujian akhir  semester.

Tidak hanya sebagai asisten saat kuliah, sejak mengajar di SPs, saya sering menjadi co-promotor  dalam membimbing disertasi. Beliau selalu bilang, Kamu baca dan koreksi disertasi ini. Jika kamu selesai, maka saya akan acc. Begitulah, sebagai mentor, cara beliau membimbing saya, sehingga paham betul gaya bimbingan dan tulisannya.

 

Azyumardi Azra, Senior Panutan

Saat saya  masih aktif di PPIM UIN Jakarta, saya bersentuhan langsung dengan beliau. Banyak pelajaran yang saya peroleh. Sebagai junior, saya diminta untuk banyak membaca dan menuangkannya dalam tulisan. Di situlah saya mengerti bagaimana seorang profesor, seperti Azyumardi Azra, menulis. Dia selalu bilang, menulis harus dilakukan setiap hari untuk mengasah otak. Kalau tidak dipakai, otak akan beku dan tidak berfungsi baik. Karena itu, saya menulis apa yang saya bisa tulis agar informasi sampai ke publik. Saya perhatikan, memang setiap hari beliau menulis kolom di Republika dan Kompas, sebuah tradisi yang beliau lakukan hingga akhir hayat. Dari situ, kemudian saya paham, kalau Sir Azra adalah tokoh idola dan panutan saya.

 

Azyumardi Guru Para Intelektual

Kiprahnya dalam dunia akademis, selain mengajar di UIN Jakarta, beliau juga mengajar di hampir semua PTKIN. Beliau mendesiminasikan ilmu lewat seminar/konferensi nasional dan inter nasional, untuk memberikan ilmu pengetahuan, terutama soal Islam di Indonesia ke masyarakat nasional dan internasional, sehingga masyarakat dunia tahu bahwa Islam di Indonesia sangat berbeda dengan Islam di kawasan Timur Tengah. Dedikasi dan pengabdiannya pada disiplin ilmunya ini, beliau memperoleh pengakuan Internasional sebagai intelektual sejati yang menjadi Guru kaum intelektual dunia. Dari situlah, beliau mendapat penghargaan Dunia sebagai CBE (The Commander of the British Empire) dari Ratu Inggris Elizabeth II dan dari Kerajaan Jepang.

 

Oase di Tengah Gurun Peradaban Kaum Intelektual

Kehadiran Azyumardi Azra dalam Dunia Intelektual dan Peradaban, bagai oase di tengah gurun gersang. Gagasannya dalam kebebasan berpikir kritis, tidak membuat kuping merah yang dikritik. Bahkan tidak merasa tersinggung. Karena bahasa yang disampaikan beliau sangat santun. Hal ini bisa kita baca dari berbagai artikel dan kolom yang ditulisnya di berbagai media, Kompas dan Republika, paling tidak. Salah satu kritikan yang beliau sampaikan saat menulis kolom terkait keinginan Jokowi meminta para Profesor dan dosen yang mengajar dan menjadi ekspatriat di luar negeri, khususnya di Amerika, Eropa dan Australia. Jokowi berharap dan bahkan meminta mereka untuk kembali ke tanah, dan mengabdikan ilmu dan skill-nya untuk memajukan bangsa dan negara ini. Bagaimana mungkin, menurut Azra, mereka dapat ditarik ke Indonesia, saat kondisi negara masih belum stabil. Para Profesor dan dosen di luar negeri, saat ini, masih merasa nyaman tinggal dan mengabdikan diri merek untuk negara di mana mereka tinggal sekarang. Jika mereka diminta pulang ke Indonesia, pemerintah harus menyediakan fasilitas buat mereka, baik untuk riset, menulis buku dan artikel, dengan dana yang cukup memadai, selain sarana dan prasarana pendukung yang mereka butuhkan. Dan masih banyak persoalan lainnya lagi. Terlebih, para Profesor dianggap seperti buruh pabrik. mereka harus absen, dengan finger print atau eye scanner, membuat mereka malas untuk datang ke kampus, hanya sekadar untuk isi daftar absen atau finger print.

Terlebih, banyak Profesor dan dosen tidak memiliki ruang kerja sebagai tempat mereka mereka bekerja, baik untuk konsultasi dan bimbingan skripsi, tesis dan disertasi. Karena itu, para guru besar dan dosen lebih banyak melakukan itu di rumah dan tempat tinggal mereka, yang kebanyakan, sangat sederhana.

Jadi, menurut Azra, merupakan hal mustahil pemerintah dapat meminta para Profesor dan dosen untuk kembali ke Indonesia, terlebih, kata Jokowi, akan di tempatkan di Papua atau di daerah yang jauh dari pusat peradaban.

Kritikan ini benar adanya, dan memang sulit untuk dilakukan. Tapi, kritik ini tidak membuat pemerintah dan pemangku jabatan menjadi marah. Karena, mungkin juga pemerintah menyadari kritikan itu benar adanya. Karena itu, gagasan dan pemikiran Azra, ibarat Oase di tengah Padang Guru, yang dapat menyejukkan suasana.

 

Azyumardi dan Ratu Elizabeth II

Sekitar seminggu kematian Ratu Elizabeth II, ternyata Sir Azra pun menyusul. Pertanyaannya, adakah hubungan simbolik antara Ratu Inggris dengan Sir Azyumardi Azra. Ternyata ada hubungan simbolik antara keduanya. Ratu Elizabeth II dari Inggris pernah memberikan gelar kehormatan kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MPhil, MA,dengan sebutan CBE (Commander of The Order of British Empire) pada 2010. Anugerah tersebut merupa kan kebanggaan tersendiri, tidak hanya pada yang ber sangkutan dan keluarga, juga buat bangsa dan umat Islam Indonesia, yang mayoritas Muslim, salah satu Muslim terbesar di dunia. Azra merupakan satu-satunya orang yang memperoleh gelar CBE di luar negara- negara Persemakmuran Common wealth yang berhak memperoleh hak-hak istimewa dari Kerajaan Inggris dan gelar Sir. Di antaranya, bisa bolak balik ke Inggris tanpa visa dan dapat dimakamkan di negeri Ratu Elizabeth II, UK (United Kingdom).

Anugerah tersebut diberikan atas jasa dan pemikiran Kak Eddy terkait pengembangan Islam di Indonesia yang ber beda dengan Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan. Pemikiran dan jasa beliau tentang Islam moderat di Indonesia, membuka mata  masyarakat Inggris dan dunia internasional.

Perkembangan Islam di Indonesia dan Muslim Nusantara, memang sangat terkait dengan dinamika perkembangan Islam di Timur Tengah dan tempat lain di dunia. Namun, dalam waktu bersamaan, perubahan-perubahan internal pada masyarakat Muslim Jawa yang mempengaruhi Muslim Nusantara. Secara sosio-antropologis, masyarakat Jawa, lebih mementingkan kehidupan harmoni, ketimbang militansi, sehingga di Jawa melahirkan dua organisasi besar Indonesia  Muhammadiyah (1912)  dan NU (1926). Kedua organisasi tersebut mampu melakukan kompromi dalam berdakwah melalui pendekatan kultural, sehingga Muslim menyebar di pedesaan dan di perkotaan. Cara seperti ini mampu meredam gejolak yang mung kin timbul akibat masuknya Islam dalam kebudayaan Jawa tradisional  yang pekat dengan Hinduisme. Bahkan dalam beberapa hal, Muhammadiyah dan NU, dapat menciptakan Islam yang harmonis dengan kebudayaan Jawa. Kondisi inilah, yang menurut Sir Azra, Islam di Jawa sangat unik. Keunikan itu dapat dilihat, lebih lanjut beliau mengatakan, Indonesia bukan negara agama, tetapi negara Demokrasi yang didasari Pancasila sebagai dasar negara, di mana Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya, Indonesia adalah sebuah negara Demokrasi yang menjunjung tinggi ketuhanan yang maha Esa. Gagasan pemikiran atas dasar pendekatan historis ini, menyadarkan Muslim dunia dan masyarakat dunia, termasuk pemerintah Inggris di bawah Ratu Elizabeth II bahwa Indonesia adalah negara mayoritas muslim, tetapi tetap menjaga kehidupan harmonis dengan konsep moderasi Islam. Karena itu, Sir Azra dikenal sebagai intelektual yang menebarkan konsep moderasi Islam dan menjaganya dengan baik.

Selamat Jalan Guruku, Guru Bangsa, InsyaAllah, Allah ridha atas segala yang kau berikan buat umat, bangsa dan negara. Dan, Jannah an-Na'im adalah tempat terbaikmu bersama para nabi dan orang-orang Saleh...

Lahu al-Fatihah

Pamulang, 19 September 2022.