Azan dan Persatuan

Azan dan Persatuan

Prof Dr Abdul Mu'ti MEd, Guru Besar Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Azan adalah ibadah sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat serta seruan untuk menunaikan shalat berjamaah dan syiar Islam. Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa azan disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Sekitar dua tahun setelah perintah shalat lima waktu (Isra’-Mi’rah). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ahmad, selain untuk panggilan shalat adzan juga sebagai “identitas” yang membedakan umat Islam dengan umat Nasrani yang mengumandangkan ibadah dengan lonceng dan umat Yahudi dengan terompet.

Syariat dan Syiar

Azan adalah Syariat Islam yang bacaan, waktu, dan cara mengumandkan telah ditentukan. Nabi Muhammad mengajarkan agar azan dikumandangkan dengan sempurna. Karena itulah Nabi Muhammad menunjuk Bilal sebagai muadzin utama karena suaranya paling bagus di antara para sahabat. Muazin disunahkan suci dari hadats dan mengumandangkan dengan suara keras.

Meski demikian, lafadz adzan -ternyata- tidak seluruhnya sama. Di kalangan Sunni terdapat tiga lafadz adzan. Kalangan Syiah juga memiliki lafadz tersendiri. Umat Islam mengumandangkan azan tidak hanya untuk panggilan shalat. Sebagian mengumandangkan azan untuk kelahiran bayi dan ketika jenazah di liang Lahat. Masyarakat mengumandangkan adzan ketika terjadi bencana alam seperti angin topan, banjir bandang, dsb. Sampai sekarang, perdebatan tentang lafadz dan kumandang adzan untuk amaliah di luar shalat masih belum sepenuhnya selesai.

Dalam pelaksanaannya, azan berkembang menjadi “tradisi”. Sebagian umat Islam melakukan “ritual” tertentu sebelum dan sesudah azan seperti puji-pujian, shalawatan, tadarus Alquran, dll. Di daerah-daerah, khususnya di Jawa, sebelum azan didahului dengan pemukulan bedug dan kentong dengan tata cara yang berbeda di antara masing-masing shalat fardlu. Belakangan, walaupun sudah ada speaker, ritual pemukulan bedug dan kentong tetap dilaksanakan.

Perdebatan publik mengemuka, khususnya ketika “tradisi” adzan menggunakan pengeras suara (speaker). Penggunaan speaker dipahami sebagai syiar atau dakwah Islam. Masjid dan mushalla seakan berlomba mengumandangkan azan dengan speaker yang keras tanpa mempertimbangkan dampak dan reaksi masyarakat. Jika dimaksudkan sebagai pertanda masuknya waktu shalat, barangkali azan dengan speaker tidak terlalu diperlukan. Seiring kemajuan teknologi, waktu shalat bisa di-reminder dengan HP, radio, dll. Tetapi, kalau tujuannya untuk syiar semestinya bisa dikumandangkan dengan cara terbaik, terutama muadzin dan akustik.

Sesuai pengertiannya, syiar adalah ibadah yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah dan keagungan Syariat Islam. Di dalam Alquran, sya’air (jamak: syiar/tunggal) disebutkan sebanyak empat kali dan masy’ar satu kali. Semuanya dikaitkan dengan ibadah Haji: tempat (masy’ar), binatang, rukun dan wajib haji. Ahmad Mustafa al-Maraghi di dalam Tafsir al-Maraghi menyebut syiar sebagai ibadah haji itu sendiri. Karena adzan merupakan syiar Islam maka pelaksanaannya seharusnya menunjukkan kebesaran Allah dan keagungan Islam, bukan formalitas dan asal-asalan. Jika dimaknai sebagai dakwah, maka sebagaimana dakwah Nabi, adzan idealnya menghadirkan Islam yang rahmatan li al-alamin.

Persatuan Soal azan dengan speaker dan ritual yang menyertainya sekarang tengah menjadi perdebatan publik pasca diterbitkannya Surat Edaran Menteri Agama nomor 5/2022 yang mengatur penggunaan speaker dan berbagai kegiatan ibadah selama Ramadhan. Dilihat dari isinya, SE Menag nomor 5/2022 tersebut hampir sama dengan Instruksi Dirjen Bimas Islam nomor 101/1978. Selama 44 tahun sejak diterbitkan, Instruksi Dirjen Bimas Islam belum berjalan dengan baik, bahkan banyak pihak yang tidak mengetahui dan memahami.

Walau demikian, berdasarkan survei Puslitbang Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Kemenag dan Arus Survei Indonesia (ASI) 29 November-5 Desember 2021 mayoritas masyarakat tidak berkeberatan dengan kumandang adzan dan ritual melalui speaker. Survei nasional di 34 provinsi itu menemukan 67,4% setuju, 24% kurang setuju, 5,2% tidak setuju, dan 3,4% tidak tahu. Terkait dengan penggunaan speaker untuk adzan, iqamat, dan ritual lain seperti doa, dzikir, shalat, shalawat dsb mayoritas responden juga setuju. 93,3% setuju, 3,7% kurang setuju, 0,1 tidak setuju, dan 2,9 tidak tahu.

Apakah masyarakat terganggu dengan suara speaker? Sebagian besar masyarakat tidak terganggu. 51,8% tidak terganggu dengan adzan dan iqamat, 43,4% tidak terganggu dengan adzan, iqamat, doa, dzikir, dan ritual lain, 1,8% terganggu, dan 2,4% tidak tahu. Sungguhpun merasa tidak terganggu, mayoritas masyarakat menghendaki adanya pengaturan speaker untuk kenyamanan bersama: 82,5% setuju, 16,7% kurang setuju, 0,7% sangat tidak setuju, dan 0,1% tidak tahu.

Meskipun sebagian besar masyarakat tidak terganggu dengan speaker azan, iqamat, shalat, shalawat, puji-pujian dan tradisi lainnya, tidak berarti asporasi mereka yang kurang setuju atau tidak setuju diabaikan begitu saja. Diperlukan sikap toleransi dan saling menghormati untuk persatuan umat dan bangsa.

Surat Edaran Menag nomor 5/2022 tentang volume suara, intensitas dan durasi penggunaan speaker luar perlu menjadi perhatian. Takmir masjid dan mushalla dan masjid yang berdekatan perlu bermusyawarah dan bermufakat masjid dan mushalla mana yang menggunakan speaker luar untuk kerukunan dan kenyamanan masyarakat. Berdekatan dengan Masjidil Haram (Mekah) dan Masjid Nabawi (Madinah) terdapat banyak masjid. Tetapi masjid-masjid tersebut tidak mengumandangkan azan dan iqamat dengan speaker luar. Kumandang azan dan iqamat cukup dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Untuk membina persatuan dan harmoni, hal serupa mungkin bisa diberlakukan di Indonesia.

Azan dan iqamat merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama yang dijamin oleh UUD 1945. Karena itu tidak perlu ada regulasi yang mengatur secara kaku. Perlu ada wisdom. Masyarakat perlu saling memaklumi dan saling tenggang rasa. Akan tetapi, di tengah kemajuan teknologi, kemajemukan masyarakat, dan keberagaman agama, cara umat Islam mengumandangkan adzan, iqamat, dan ritual lain dengan speaker perlu terus diperbaiki. Syariat, syiar, dan tradisi azan hendaknya mencerminkan dan menghadirkan Islam yang berkemajuan dan beragama yang (lebih) berkeadaban.

Sumber: Republika, 7 Maret 2022. (sam/mf/ma)