Ayang Utriza Yakin: Pemerintah Harus Ambil Alih Sertifikasi Halal

Ayang Utriza Yakin: Pemerintah Harus Ambil Alih Sertifikasi Halal

Menurut pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin saat pidato pembukaan dalam gelaran Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) dan Milad ke-29 Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Universitas Negeri Padang pada Jumat (6/12/19), Indonesia merupakan konsumen produk halal terbesar di dunia.

Namun ironisnya, masih kalah dengan Brazil dan Australia sebagai negara produsen produk halal pertama dan kedua di Dunia. Ma’ruf menyayangkan Indonesia masih berkutat pada sertifikasi halal, namun laju pertumbuhan produksi ekonomi syariah belum signifikan.

Padahal sejak dua tahun lalu tepatnya pada tanggal 11 Oktober 2017 Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah resmi dibentuk di bawah naungan Kementerian Agama sebagai implementasi dari amanat UU No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Akan tetapi hingga saat ini, masih terjadi tarik menarik kepentingan mengenai siapa yang berhak menerbitkan sertifikasi halal.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, terutama menjawab soal perkembangan industri halal di Indonesia dan Dunia, reporter bincangsyariah Wildan Imaduddin Muhammad mewawancarai Prof. Ayang Utriza Yakin, pakal industri halal yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Ghent, Belgia. Berikut petikan wawancaranya:

Sebagai seorang pakar di bidang industri halal, bagaimana menjelaskan halalisasi yang sepertinya semakin marak belakangan ini? Adakah kaitannya dengan fenomena hijrah terhadap industri halal?

Kebetulan saya melakukan penelitian tentang pasar halal atau industri halal sudah hampir empat tahun di Eropa, Jepang, sekarang di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sekarang saya sedang melakukan penelitian  mengenai pariwisata halal atau islami di Timur Tengah dan Afrika Utara tetapi juga melihat fenomena itu di Eropa.

Apakah ada pengaruh gerakan hijrah terhadap industri halal? Ini tentu perlu penelitian yang mendalam tetapi berdasarkan pengalaman saya empat tahun ini memang ada beberapa konsep atau teori analisis untuk membaca gerakan hijrah yang berpengaruh terhadap industri halal. Nah, ada salah satu teori dari Asef Bayat namanya Post Islamisme.

Post Islamisme itu adalah kira-kira begini sederhananya ketika Islam politik mengalami kegagalan untuk melakukan islamisasi dari atas yaitu merebut kekuasaan dengan mendirikan partai politik dan menang melalui pemilu dengan tujuan untuk menerapkan syariah atau hukum islam dari atas melalui perubahan Undang Undang dan lain sebagainya.

Islam politik di berbagai dunia islam mencoba untuk merebut kekuasaan pemerintahan melalui sistem yang ada pada era tahun 1980-an hingga 1990-an. Akan tetapi mereka gagal.

Nah kegagalan ini kemudian membawa mereka untuk menerapkan menjalankan islamisasi melalui jalan atau cara yang lain yaitu islamisasi di sektor-sektor swasta atau privat yakni Di sektor-sektor non kepemerintahan.

Kalau yang pertama Islam politik melakuakn islamisasi dari atas gagal sekarang mereka melakukan dari bawah. Ini yang dilakukan.

Teori ini saya kira pas untuk membaca fenomena ini dalam konteks indonesia ya. Jadi karena islamisasi dari atas mereka gagal sekarang mereka melakukan dari bawah. Kalangan salafi-wahabi ikhwani ya, mereka melakukan islamisasi dari bawah ini, dari akar rumput, dari masyarakat dengan gerakan dakwah. Terutama adalah kalangan ikhwani, karena mereka bergerak di dua hal, satu mereka memiliki partai politik yang kedua mereka punya akses ke kalangan akar rumput.

Jadi mereka dakwah di bawah islamisasi dalam segala hal termasuk misalnya industri industri halal yang di dalamnya ada juga pariwisata. Jadi memang ini ada pengaruh antara tren hijrah dengan maraknya industri halal.

Berbicara mengenai pariwisata halal, seharusnya bagaimana sikap pemerintah mengingat terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat?

Untuk konteks indonesia ini kita harus paham bahwa negara kita negara yang sangat majemuk dan beragam. Berbeda dengan Malaysia yang ras etnisnya bisa dihitung dengan jari, mungkin hanya ada tiga: India, Cina dan Melayu. Nah di Indonesia ini ada ratusan etnis, ada empat ratus lebih, jadi lebih kompleks di Indonesia.

Kita selalu menjadikan Malaysia sebagai contoh negara dengan industri halal atau pariwisata halal, karena cuman satu rasnya. Atau contoh lain Turki, karena mereka itu ya bisa dikatakan 90% orang turki ya etnisnya atau rasnya Turki, yang lain itu Arab, Kurdi, dan kemudian Persia.

Di Indonesia ini sulit dan kompleks. Oleh karena itu kalau islamisasi pasar halal industri halal hanya dilakukan oleh sebagian kalangan misalnya saja oleh orang-orang ikhwani dan salafi-wahabi ini akan berbenturan. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia ini yang secara etnis dan ras sangat majemuk.

Kenapa baru-baru ini ada penolakan terhadap pariwisata halal? Karena mereka yang mendukung pariwisata halal ini mencoba menghalalkan daerah-derah yang memang bukan basis orang Islam, seperti Bali. Ini jelas kekeliruan, ini kesalahan fatal. Kemudian kalau ditanya, selalu merujuk pada Timur Tengah.

Mereka belum paham betul mengenai pariwisata halal kemudian bicara pariwisata halal. Nah, di Timur Tengah maupun Afrika Utara, ini sangat rumit dan kompleks. Intinya tidak sesederhana yang mereka katakan, tidak seperti itu. Terutama daerah-daerah yang memang bukan Islam kayak Bali.

Pariwisata halal kalau memang ingin dikembangkan ya harus di Aceh, di Jawa Barat, di Banten, Sumatera Barat, yang memang penduduknya mayoritas Islam. Memiliki kekayaan khazanah masa lalu. Silahkan. Tetapi kalau misalnya seperti pantai halal, jelas-jelas Bali itu yang banyak adalah orang-orang asing kemudian nanti mau dihalalkan ya hancur nanti pariwisata kita, tidak bisa. Harus hati-hati.

Jika memang demikian kompleks mengenai industri halal ini, lalu bagaimana seharusnya kita menanggapinya? 

Nah, gagasan halalisasi di berbagai bidang ini harus ditanggapi dengan sangat hati hati. Karena pada satu sisi ini memang merupakan agenda islam politik partai islamis dan juga sebagian ustadz yang satu afiliasi ataupun peserta tren memang ada, tetapi di sisi lain memang Negara butuh pemasukan lewat industri halal.

Kalau kita tidak masuk dan ikut terlibat di industri halal, kita juga habis. Kenapa? Karena ini memang sudah tren dunia. Iran misalnya saya kasih contoh, sampai tahun 2017 mereka gak mau masuk ke dalam gerakan industri pariwisata halal, mereka menyadari akhirnya kekeliruan atau ketertinggalan mereka. Baru pada tahun 2017 mereka bergerak pariwisata halal. Padahal buat apa di Iran pariwisata halal misalnya orang semuanya sudah halal di Iran.

Tetapi Iran tidak bisa menolak perkembangan tren pariwisata halal di dunia dan tidak bisa mengucilkan diri. Iran harus bersatu pada satu asosiasi persatuan halal dunia dan Indonesia salah satunya punya sekaligus sebagai ketuanya. Nah Indonesia sebagai negara juga harus bermain. Jangan Malaysia atau Turki terus, kita masih kalah dengan Malaysia. Di Malaysia industri halal sudah jadi kebijakan negara.

Mengenai pembicaraan bahwa Indonesia masih kalah dengan Negara lain, bagaimana pemerintah seharusnya mengambil sikap?

Mungkin kita tidak seperti Malaysia dalam berbagai hal seperti tadi sudah saya jelaskan, tetapi pada intinya perusahaan halal harus diurus oleh negara, dan negara harus bijak. Sayangnya UU JPH Tahun 2014 yang sekarang sudah ada badannya di bawah Kemenag ini belum bergigi. Kenapa? Karena mungkin masih diurus oleh orang orang yang belum paham industri halal dunia.

Saya tidak mengatakan industri halal Indonesia ya, tetapi dunia. Mereka belum terlalu paham. Diketuai oleh orang-orang tua yang kurang dinamis. Mereka baru melangkah apa itu industri halal. Sayang sekali pangsa pasar kita ini yang besar. Mau tidak mau harus diurus negara. Sekarang ini masih diurus LPPOM. Ini bahaya. Nah dengan UU ini kita berharap Negara benar-benar mengambil alih seluruhnya.

Saya kasih tau yang lebih parah lagi. Selama ini mereka yang bermain di industri halal adalah pihak swasta, terutama lembaga-lembaga akreditasi halal di luar negeri. Keuntungan dari sertifikasi halal itu luar biasa, sampai jutaan euro. Kekayaannya hanya untuk pribadi-pribadi saja. Coba kalau diurus oleh negara, ini kan masuk ke kas negara dan untuk rakyat.

Nah, dengan UU JPH Tahun 2014 yang sudah disahkan, meski PP baru dikeluarkan, ini harus diambil alih oleh negara dan semua sertifikasi halal kalau di luar negeri harus melalui Kedutaan misalnya. Harus dihapus itu lembaga-lembaga akreditor halal yang telah diakreditasi oleh Indonesia, karena hanya menguntungkan pribadi, saya bisa membeberkan banyak hal mengenai ini. Tapi intinya bahwa halal harus dikuasai oleh negara.

Kenapa? Karena uang yang beredar di industri halal itu triliuanan. Kalau tidak, maka akan diambil oleh pihak pihak swasta. Kalau tidak, islam politik akan mengambil dan memanfaatkan. Harus diambil alih. Dan terlebih lagi kalangan Islam moderat dari NU, Muhammadiyyah, dan yang lain lain, juga harus main di pasar halal.

Bagaimana kita sebagai masyarakat seharusnya menyikapi industri halal ini?

Memang dalam menyikapi industri halal ini masyarakat kita terbelah menjadi dua. Antara yang mendukung dan ada yang menolak. Yang menolak ini kebanyak dari dya kelompok. Pertama non muslim yang tidak paham. Memang wajar mereka menolak karena mereka takut akan adanya islamisasi.  Kedua penolakan dari kalangan muslim baik modernis maupun tradisionalis atau muslim yang moderat. Ini dia persoalannya.

Orang-orang muslim moderat yang mayoritas ini baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, antara NU dan Muhammadiyah atau yang lain lain ini ada kesan menolak halalisasi dalam berbagai bidang.

Mengapa? Mereka juga tidak salah atau keliru, tetapi ini adalah kesalahan pemerintah karena tidak adanya sosialisasi. Memasyarakatkan apa sih itu halal, apa sih halalisasi dari berbagai bidang. Mengapa tidak ada? Karena di pemerintah tidak ada yang paham. Baik di Kementerian Agama tidak ada yang paham ataupun paham tapi hanya untuk konteks Indonesia.

Bagaimana konteks dunia? Kalau pun ada yang paham baik di orang-orang LPPOM MUI punya kepentingan. Punya kepentingan semua. Belum ada akademisi Indonesia yang paham konteks lokal Indonesia maupun global mengenai halal ini.

Seharusnya yang dilakukan adalah yang pertama, agar tidak ada kesalahpahaman di kalangan muslim moderat ini, pemerintah harus melakukan sosialisasi UU JPH 2014 dan industri halal baik dalam konteks Indonesia maupun dunia.

Contoh misalnya, pariwisata halal dijadikan bahan tertawaan. Indonesia mau mendirikan namanya Halal Park atau taman halal. Maksudnya itu misalnya  akan dibangun ratusan hektar di dalamnya itu semuanya halal. Ditertawakan, semua ditertawakan. Ini bahaya. Kenapa? Karena dunia sedang mengarah ke sana. Kalau kita terus mentertawakan kita akan tertinggal. Pasar kita akan diambil orang.

Tetapi kenapa masyarakat mentertawakan? Karena kurang sosialisasi. Misalnya lagi kulkas jadi halal, ini ditertawakan. Maksudnya apa halal? Kan banyak orang tidak taju. Kaca mata halal, air putih halal, baja halal. Karena masyarakat tidak paham. Termasuk kita masyarakat muslim moderat yang mayoritas ini tidak paham.

Akhirnya menjadi bahan ejekan. Mereka tidak salah tapi memang ini tidak ada sosialisasi. Karena itu, harus ada sosialisasi dari pemerintah dalam hal ini dari Kemenag dan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Harus ada sosialisasi. Kerjasama dengan ormas-ormas, para penceramah, sehingga masyarakat paham.

Yang kedua masyarakat juga harus memahamkan satu sama lain. Bincang syariah punya tanggung jawab memberi tahu industri halal yang benar. Saya siap memberikan penjelasan-penjelasan untuk bincang syariah, menjadi kanal penyebar informasi untuk masyarakat muslim indonesia. Intinya bahwa yang kedua ini, masyarakat harus paham bahwa di dunia sekarang ini tren ekonomi Islam atau industri halal meningkat pesat luar biasa.

Dan untuk itu dibutuhkan namanya sertifikasi halal dalam semua hal. Termasuk kaca mata, termasuk mungkin tempat tidur, kulkas, semua halal. Perlu dicatat bahwa yang halal bukan materinya, tetapi prosesnya. Karena di Al-Quran ada Halalan Thayyiban, halal bisa jadi bukan thayyib. Thayyib sekarang ini etika.

Contoh, kulkas, kaca mata, air putih halal, bukan barangnya tetapi apakah proses pembuatannya halal atau tidak. Misalnya apakah karyawannya ini mendapatkan UMR, apakah karyawannya diperhatikan, apakah karyawannya ini sudah terpenuhi hak-hak kerjanya, perusahaan tidak memperkerjakan anak di bawah umur, apakah perusahaan mematuhi peraturan yang menghargai menghormati lingkungan hidup dengan tidak buang limbahnya di sungai atau laut, tidak buang limbah plastik dimana-mana.

Jadi halal disini bukan kaca matanya, kaca matanya jelas halal, tetapi apakah pekerja di toko kacamata digaji dengan benar, apakah pembuangan limbah industrinya itu benar pengelolaan industrinya.

Nah informasi seperti ini harus turun ke bawah, dan orang yang bisa menjelaskan ini adalah mereka yang tahu konteksnya, yang melakukan penelitian mengenai halal. Tolong ini bincang syariah memberi tahu, sehingga masyarakat muslim baik di NU, Muhammadiyyah, dan muslim moderat yang mayoritas ini tidak terus membuat industri halal ini jadi bahan tertawaan.

Di Malaysia sungguh-sungguh, berapa puluh triliun yang dihasilkan Malaysia, kenapa? Karena kita mentertawakan terus industri halal. Ini keliru. Salah. Kalau ada penolakan dari umat Islam, iya karena mereka takut Islamisasi. Ini juga kewajiban pemerintah dan umat islam memberi tahu bahwa halalisasi bukan islamisasi.

Wildan Imaduddin, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menekuni studi tafsir, dan peraih beasiswa LPDP. Sumber: BincangSyariah.Com, 9 Desember 2019. (lrf/mf)