Atasi Krisis Iklim, Indonesia Harus Mencari Energi Ramah Lingkungan
Gedung FITK, BERITA UIN Online - Catatan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia mengalami hujan ekstrem cukup intensif. BMKG pun mencatat pada 2021, 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia berhubungan dengan bencana hidrometeorologi.
Hal itu disampaikan Juru Kampanye Media Greenpeace Indonesia Rahma Shofiana saat menjadi pemateri pada seminar bertajuk "Islam dan Lingkungan: Upaya Menjawab Tantangan Perubahan Iklim" di Ruang Teater Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Senin (21/11/2022).
Seminar yang diinisiasi oleh Bidang Lingkungan Hidup Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Jakarta itu digelar dalam rangka memperingati Hari Pohon Sedunia.
Rahma menjelaskan, es di puncak Gunung Jaya Wijaya, Papua, kini sudah mulai mencair dan menjadi kode keras bagi masyarakat untuk beraksi secara progresif dalam memperbaiki lingkungan.
Setiap tindakan masyarakat di muka bumi, jelas dia, akan meninggalkan jejak karbon. Misalnya pergi ke kampus naik motor, maka ada energi yang terbuang. Untuk mengurangi karbon tersebut, ia mengimbau agar masyarakat bersepeda atau naik transportasi umum.
Oleh karena itu, menurut Rahma, harus ada sistem kewenangan pemerintah yang mendukung aksi tersebut. Meski gerakan individu patut diapresiasi tapi tetap dibutuhkan sistem pemerintah agar terjadi perubahan secara signifikan.
“Saat ini kita justru berada pada sistem tidak ada pilihan, misalnya saat kita ingin mengurangi plastik sekali pakai dengan membawa tumbler, lantas ada enggak sistem fasilitas refill air minum? Nyatanya fasilitas itu masih kurang,” sebut dia.
Rahma lebih lanjut mengatakan, Indonesia ke depan harus mulai memilih dan beralih ke sumber energi yang ramah lingkungan. Hal itu mengingat batu bara sebagai salah satu bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sudah harus pensiun dini. Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) sendiri menyatakan bahwa pada 2030 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara seluruh dunia akan ditutup.
Sayangnya, kata dia, dalam rencana pengadaan tenaga listrik yang dikeluarkan secara resmi oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), sampai 2056 Indonesia masih menggunakan batu bara.
“Jadi, kebijakan tersebut jelas menjadi kontradiktif,” ucapnya.
Rahma menilai masih ada kepentingan yang bermain dalam kebijakan pemerintah, sehingga perlu ada komitmen yang serius untuk mengatasi krisis iklim saat ini. Namun, tentu dengan kebijakan yang sejalan dan perlu melibatkan publik dalam setiap memutuskan kebijakan.
Indonesia, menurut dia, memiliki peluang menjadi salah satu negara dengan adaptasi dan mitigasi terdepan terhadap perubahan iklim. Indonesia juga berpeluang menyelamatkan krisis iklim dunia karena masih memiliki hutan.
Seminar selain menghadirkan Rahma Shofiana sebagai pembicara utama, juga tampil Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Kelembagaan yang juga Ketua Program Green Campus UIN Jakarta periode 2019-2021 Lily Surayya Eka Putri dan founder islami.co Savic Ali. (ns/falah aliya)