Arogansi dan Intoleransi Intelektual
Muhbib Abdul Wahab
SEORANG peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Andi Pangeran Hasanuddin (APH), menulis sebuah komentar di Facebook yang berisi ujaran kebencian, permusuhan, fitnah keji, emosi tidak terkendali, intoleransi, dan provokasi yang berpotensi membuat kegaduhan sosial, sebagai berikut.
“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global (KIG) dari Gema pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan. Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.” (Republika, 24/04)
Komentar tersebut merupakan respons atas pernyataan (status) Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin (TD), yang menilai Muhamamdiyah sudah tidak taat kepada pemerintah, terkait dengan penentuan Lebaran 2023. Katanya, “Eh, masih minta difasilitasi tempat salat Id. Pemerintah pun memberikan fasilitas.”
Kedua pernyataan tersebut tentu sangat disayangkan, bahkan layak dikecam sebagai pernyataan yang tidak bermoral dan niradab sebagai peneliti BRIN. Keduanya menunjukkan arogansi dan intoleransi intelektual, sekaligus bergaya premanisme yang sejatinya sangat tidak pantas menjadi peneliti yang digaji dari uang rakyat.
Selain itu, pernyataan APH juga sangat kasar, tendensius, berisi ancaman pembunuhan dan berisi fitnah keji terhadap Muhammadiyah, bahwa usulan brilian Muhammadiyah berupa pemberlakuan KIG agar tidak terjadi perbedaan awal Ramadan, awal Syawal, dan Idul Adha, dinilai tanpa bukti sebagai susupan agenda Hizbut Tahrir. Keduanya juga sangat kentara menyimpan rasa permusuhan, dendam, dan kebencian berlebihan. Padahal, baru saja selesai belajar mengendalikan diri dan emosi di Bulan Suci Ramadhan.
Etika Penelitian
Kompentensi utama peneliti ialah menyelesaikan masalah melalui proses ilmiah dengan pendekatan saintifik dan penalaran akademik, bukan pendekatan emosional dan irasional. Peneliti sejati, berperan strategis dalam mencari dan menemukan kebenaran, bukan pembenaran (justifikasi), apalagi provokasi dan intimidasi.
Dengan kata lain, etika penelitian itu terikat oleh metode berpikir ilmiah yang objektif, logis, dan sistematis. Hasil penelitian yang diharapkan tentu berupa temuan, teori baru, dan inovasi yang dapat memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga berkontribusi positif bagi kemaslahatan, kesejahteraan, dan kemajuan bangsa, bukan adu domba, arogansi dan intoleransi intelektual yang tidak terpuji.
Dalam penelitian, ada kode etik dan etika yang harus dipedomani peneliti profesional. Hopf (2004) dalam Research Ethics and Qualitative Research menegaskan bahwa etika penelitian merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip etik yang disepakati bersama terkait hubungan antara peneliti, dan semua yang terlibat dalam proses dan hasil penelitian. Penelitian itu dilakukan untuk kemaslahatan, kesejahteraan, kerukunan, dan kemajuan umat manusia.
Secara etik, penelitian ilmiah tidak bebas nilai, apalagi sampai menyalahi prinsip-prinsip moral dan kode etik lembaga akademik. Adab harus diposisikan lebih tinggi daripada ilmu. Peneliti yang arif dan dewasa pasti bisa menerima perbedaan, termasuk perbedaan hasil ijtihad dalam penentuan awal Syawal dengan dalil dan dasar argumentasi masing-masing.
Peneliti yang toleran dan tidak partisan mestinya tidak perlu ‘kebakaran jenggot’ dengan menstigma pihak lain tidak taat kepada pemerintah. Bukankah Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari memaklumkan hasil ijtihadnya, sementara pemerintah baru menjelang hari raya melakukan sidang itsbat? Selain Muhammadiyah, bukankah ada kelompok keagamaan lain yang juga berbeda dalam beridul Fitri dengan pemerintah?
Peneliti yang toleran, tidak pongah, dan tidak arogan mestinya tidak antiperbedaan, melainkan bersikap netral, arif, dan moderat. Belajar bijak dan tahu dirilah dari Imam Madzhab Syafi’i (150-204 H) yang pernah menyatakan pentingnya menghargai perbedaan pendapat (hasil ijtihad): “Pendapatku itu benar, tetapi mengandung kemungkinan salah. Sementara pendapat selainku itu salah, tetapi mungkin mengandung kebenaran.”
Pemerintah dan Menag RI telah menunjukkan toleransinya yang tinggi terhadap perbedaan Idul Fitri 2023, mengapa TD dan APH begitu sinis dan benci terhadap hasil ijtihad Muhammadiyah? Bukankah perbedaan pendapat dalam ranah fikih itu hal biasa, wajar, dan dinamis?
Etika penelitian dan berpendapat di media sosial dinilai sangat penting untuk memagari rambu-rambu kebebasan akademik dengan nilai-nilai moral, seperti kujujuran ilmiah, keahlian (expertise), keandalan, profesionalitas, objektivitas, dan integritas moral.
Apa yang diekspresikan oleh TD ataupun APH sama sekali tidak menunjukkan integritas, dan kapabilitas peneliti yang patut diteladani. Menantang aparat penegak hukum untuk menangkapnya dan siap dipenjara merupakan cerminan ketidakwarasan nalar sang peneliti. Tidak pantas dan tidak sepatutnya peneliti yang bersikap sombong, arogan, dan intoleran semacam itu menerima gaji dari uang rakyat.
Idealnya, peneliti harus mampu menunjukkan temuan baru (novelty), dan inovasi yang memberi nilai tambah dan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dan bermaslahat bagi semua. Karena itu, riset berbasis keadaban menghendaki komitmen kuat dari peneliti untuk menghargai nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, keindonesiaan, kearifan, kerukunan, dan kemajemukan.
Sikap intoleran dan arogansi intelektual itu justru mendegradasi integritas, harkat dan martabat peneliti yang mestinya kaya solusi dan inovasi, bukan pemikiran dangkal dan tendensius karena lebih dipengaruhi hawa nafsu, sikap permusuhan, dan kebencian.
Belajar bertoleransi
Riset dan Evaluasi Bank Dunia (2015) terhadap 150 negara di dunia menunjukkan bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh banyak faktor. Faktor utamanya ada empat, yaitu inovasi dan kreativitas (45%), jejaring dan kolaborasi (25%), penguasaan sains dan teknologi (20%), dan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah (10%). Hal ini berarti bahwa pendidikan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif sangat strategis untuk menghasilkan sejumlah inovasi dan kreativitas dalam berbagai bidang sehingga kualitas hidup, kesejahteraan sosial ekonomi, pengembangan sains dan teknologi semakin meningkat.
Peningkatan kualitas hidup tersebut, idealnya harus dibarengi dengan implementasi as-samhah wa at-tasamuh. ‘NKRI dan Pancasila harga mati, toleransi, dan antiradikalisme’ jangan hanya menjadi slogan kosong yang pendungungnya justru tidak pernah membuktikannya. Secara leksikal, samhah mengandung arti: mudah dan mempermudah, tidak mempersulit dan tidak berlaku ekstrem, sedangkan kata tasamuh bermakna ‘berlapang dada, memaafkan, mengampuni, dan menenggang rasa, tidak memaksakan kehendak, lemah lembut, santun, dan berbuat baik (ihsan)’.
Makna leksikal samhah dan tasamuh sangat relevan dengan firman Allah, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nur [24]:22). “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS Fussilat [41]:34)
Dengan demikian, esensi toleransi adalah ketulusan dan kelapangan hati untuk menerima perbedaan (agama, politik, ekonomi, sosial budaya, bahasa, dan sebagainya) untuk menenggang rasa dan memaafkan, tidak memaksakan kehendak, sikap, dan tindakan agar tercipta kerukunan, kedamaian, dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Toleransi menghendaki kesediaan setiap warga bangsa untuk menghormati perbedaan, dan memberi ruang bagi pihak lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, sekaligus menghargai kesetaraan dan kesediaan berkolaborasi dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.
Toleransi bukan sekadar wacana atau slogan kosong tanpa bukti nyata dan teladan terbaik (uswah hasanah, best practice). Sebagai prinsip dan nilai yang hidup dalam kehidupan umat Islam, toleransi terbukti telah menyejarah sekaligus menunjukkan keagungan peradaban Islam. Terbukti secara historis, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Nabi Muhammad SAW ialah tokoh teladan toleransi sejati. Ketika terjadi Fathu Makkah (pembebasan Kota Mekah) pada 20 Ramadan 8 Hijriyah (630 M), beliau menunjukkan teladan toleransi yang dicatat sejarah dengan tinta emas. Karena saat berada di puncak kekuasaan dan kekuatan (militer maupun politik), Nabi SAW tidak melakukan balas dendam kepada warga Makkah karena dahulu pernah memusuhi, menyakiti, dan mengusir beliau dan para sahabatnya dari Mekah, lalu hijrah ke Madinah.
Di saat kaum kafir Quraisy sudah berpraduga akan ‘dihabisi’ oleh pasukan muslim, Nabi SAW justeru memberikan pengampunan massal. Mereka dibolehkan meninggalkan Makkah dengan aman, tanpa ada kekerasan. “Idzhabu fa antum ath-thulaqa” (Silakan kalian boleh pergi, meninggalkan Mekah, karena kalian semua dibebaskan, diampuni, tidak diperangi).
Fakta tersebut merupakan peristiwa toleransi terbesar sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Betapa tidak? Nabi SAW justru memilih jalan perdamaian, bukan jalan kekerasan; memaafkan, bukan mendendam; menenggang rasa, bukan meluapkan kemarahan dan kebencian; menghargai perbedaan dan menjaga martabat lawan; tidak menyeragamkan dan menghinadinakan; melindungi dan menyelamatkan jiwa, bukan memusuhi dan menumpahkan darah melalui pedang.
Toleransi Nabi SAW sarat dengan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan (HAM). Toleransi memenangkan dan mendahulukan perdamaian dan kerukunan daripada permusuhan dan konflik sehingga saat Fathu Makkah tersebut, tidak setetes darah pun menetes. Toleransi yang diteladankan Nabi SAW membuat warga Makkah kemudian berbondong-bondong masuk Islam. Toleransi sejati adalah kunci kemenangan dan keagungan peradaban Islam. Toleransi itu tidak merasa benar sendiri, dengan menuduh pihak lain yang berbeda dengannya bersikap mengedepankan egosektoralnya (QS an-Nashr [110]: 1-3).
Jadi, belajar toleransi itu sangat penting, untuk mengeliminasi arogansi intelektual yang terkadang diliputi rasa jumawa, apalagi ‘merasa aman’ karena merasa dilindungi oleh rezim penguasa. Adab sosial harus menjadi pemandu jalan ilmu pengetahuan. Dengan adab berilmu dan etika penelitian, seharusnya peneliti itu tidak mudah pongah dengan menuduh pihak lain yang berbeda pendapat itu dengan penilaian sinis, tidak akademis, dan tidak humanis.
Akhirul kalam, jangan pernah benturkan Muhammadiyah dengan pihak lain, karena persyarikatan ini relatif sangat kaya pengalaman dalam bertoleransi. Sejumlah amal usaha Muhammadiyah di Indonesia bagian timur, seperti di NTT dan Papua, antara lain sekolah, universitas, dan Rumah Sakit, penerima manfaat layanannya itu mayoritas (65-75%) nonmuslim. Saham Muhammadiyah untuk pendirian dan pembangunan bangsa ini, diakui atau tidak, pasti tidak akan pernah sebanding dengan sikap arogansi dan intoleransi intelektual peneliti yang belum dewasa dan tidak berjiwa kenegarawanan tersebut! (zm)
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan artikelnya dimuat Media Indonesia pada Selasa 25 April 2023. Artikelnya bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/576435/arogansi-dan-intoleransi-intelektual