Arah Baru Pendidikan Tinggi Islam
Prof. Dr. Ahmad Tholabi S.Ag., S.H., M.H., M.A.
Konferensi tahunan, Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+ 2025) yang digelar Kementerian Agama di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) pada 29–31 Oktober 2025 menjadi momentum penting bagi pembaruan arah pendidikan tinggi Islam dunia.
Mengusung tema “Menata Ulang Pendidikan Tinggi Islam dalam Lanskap Global yang Dinamis”, forum ini merepresentasikan transformasi epistemik dari AICIS konvensional menjadi AICIS+, sebuah model baru yang menggabungkan keilmuan Islam, sains, dan isu sosial global secara interdisipliner.
Transformasi ini bukan sekadar perubahan nomenklatur. Seperti dijelaskan Amien Suyitno, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, AICIS+ dimaksudkan untuk menempatkan keilmuan Islam di jantung pemecahan masalah global: dari ekoteologi, ekonomi berkeadilan, etika kecerdasan buatan, hingga kesehatan publik.
Pernyataan ini menandai transformasi paradigma, di mana pendidikan tinggi Islam ditempatkan dalam orbit percakapan ilmiah global sebagai kekuatan moral dan intelektual yang memberi arah bagi peradaban.
UIII sebagai tuan rumah menjadi simbol perguruan tinggi Islam yang berani tampil sebagai “jembatan antara spiritualitas dan rasionalitas, antara iman dan inovasi,” seperti ditegaskan Jamhari, Rektor UIII.
Dengan 2.434 abstrak dari 31 negara, jumlah tertinggi sepanjang sejarah AICIS, konferensi ini memperlihatkan bagaimana jejaring akademik global semakin menaruh perhatian terhadap arah baru pendidikan Islam yang terbuka terhadap sains dan teknologi.
Tantangan Dunia Baru
Arah baru ini muncul pada saat dunia pendidikan menghadapi tekanan besar akibat disrupsi teknologi dan fragmentasi sosial. Revolusi kecerdasan buatan telah mengubah cara belajar, menulis, dan berpikir manusia. Di saat yang sama, krisis ekologis menuntut refleksi etis yang melampaui sains murni. Laporan oleh World Economic Forum (WEF) bersama mitra menyebut bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan 14,5 juta kematian tambahan hingga tahun 2050 jika tidak ada aksi nyata, sebuah tragedi ekologis yang lebih dahsyat daripada konflik bersenjata.
Dalam konteks itu, pendidikan tinggi Islam tidak lagi cukup berfungsi sebagai penjaga teks, tapi harus menjadi penafsir realitas. AICIS+ 2025 menghadirkan spektrum topik yang luas, mulai dari “Decolonial Perspectives on Islamic Law and Ecotheology” hingga “Transforming the Muslim World: Innovative Industries and Disruptive Technologies.” Para pembicara seperti Farish A. Noor (Malaysia), Shahram Akbarzadeh (Australia), dan Sulfikar Amir (NTU, Singapura) menunjukkan bagaimana wacana Islam kini bertemu langsung dengan isu-isu kebijakan global, industri inovatif, dan ekonomi berkelanjutan.
Farish Noor (2010) menegaskan pentingnya dekolonisasi epistemik dalam pendidikan Islam. Ia mengingatkan bahwa universitas Islam mesti berani keluar dari bayang-bayang metodologi Barat dan menumbuhkan keberanian berpikir berdasarkan akar tradisi sendiri.
Pandangan serupa datang dari Shahram Akbarzadeh (2010), yang melihat bahwa krisis pendidikan di dunia Muslim justru muncul ketika spiritualitas dan ilmu pengetahuan berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang melahirkan keseimbangan etis dan kemajuan ilmiah.
Dari pandangan global, filsuf Martha Nussbaum (2010) mengingatkan bahaya pendidikan yang hanya berorientasi pasar, sebab akan melahirkan “masyarakat buta moral.” Ia menekankan pentingnya capabilities approach, yakni pendidikan yang menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial.
Sementara Tariq Ramadan (2009) menegaskan perlunya intellectual courage di kalangan sarjana Muslim untuk melahirkan sintesis baru antara teks wahyu dan dinamika dunia. Dua pandangan ini memperkuat pesan AICIS+ bahwa masa depan pendidikan Islam terletak pada keberanian berpikir lintas batas disiplin dan moral.
Internasionalisasi Kampus Islam
Agenda besar AICIS+ 2025 tak berhenti pada forum akademik. Konferensi ini disertai Science and Education Expo dan Halal & International Culinary Expo sebagai wujud implementasi gagasan Islam-sains dalam konteks nyata. Bahkan, kegiatan seperti tree planting ceremony di hari kedua menjadi simbol bahwa sains dan spiritualitas dapat bersatu dalam tindakan ekologis.
Dalam konteks pendidikan tinggi, arah ini mencerminkan gagasan fundamental bahwa universitas Islam tidak boleh berhenti pada fungsi “transfer ilmu”. Universitas Islam harus menjadi creator of knowledge yang menafsirkan nilai Islam dalam horizon global.
Dengan begitu, tiga strategi perlu ditegaskan. Pertama, memperkuat riset interdisipliner yang menautkan fikih dan filsafat ilmu dengan teknologi dan kemanusiaan. Tema-tema seperti Islamic data ethics, eco-theology, dan digital fiqh menjadi jalan baru integrasi keilmuan.
Kedua, memperluas jejaring kolaborasi internasional yang berbasis riset dan publikasi bersama, bukan hanya nota kesepahaman. Fakta bahwa AICIS+ melibatkan 24 berkala ilmiah internasional bereputasi dari pelbagai disiplin ilmu, yakni dari Studia Islamika hingga Journal of Islamic Architecture, menunjukkan upaya serius untuk membangun ekosistem publikasi ilmiah Islam di tingkat global.
Ketiga, memperkuat kepemimpinan moral dalam tata kelola universitas. Dalam dunia yang semakin dikendalikan algoritma, keunggulan universitas Islam tidak terletak pada kemampuannya meniru sistem digital Barat. Lebih jauh kampus Islam harus mampu menanamkan nilai etika dalam sains dan teknologi.
Menjadi Penggerak
AICIS+ 2025 menghadirkan paradigma baru pendidikan tinggi Islam, yakni keberanian menggabungkan iman, ilmu, dan aksi sosial dalam satu kerangka kemanusiaan global. Dengan partisipasi 31 negara dan lebih dari 2.000 akademisi, konferensi ini membuktikan bahwa keilmuan Islam tidak terkungkung lokalitas. Ia telah menjadi bagian dari arus besar dialog internasional tentang masa depan planet dan peradaban.
Namun, tantangan sejatinya justru dimulai setelah forum ini berakhir. Perguruan tinggi Islam di Indonesia dan dunia dituntut menindaklanjuti semangat AICIS+ dalam bentuk reformasi kurikulum, riset kolaboratif lintas-negara, dan pembangunan karakter ilmuwan Muslim yang memiliki keunggulan moral dan keberanian intelektual.
Seperti diingatkan Rektor Jamhari, UIII ingin menjadikan AICIS+ sebagai forum di mana Islam berbicara kepada dunia dalam bahasa sains, kasih sayang, dan tindakan. Pesan itu menggambarkan arah baru pendidikan tinggi Islam, bukan sekadar beradaptasi terhadap perubahan, tetapi memberi arah bagi perubahan itu sendiri.***
Sumber: https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-8184442/arah-baru-pendidikan-tinggi-islam
