Antisipasi Perubahan Iklim, Inisiatif Green Islam Butuh Dukungan Luas
Jakarta, Berita UIN Online — Inisiatif penjagaan lingkungan dari ancaman krisis pada kelompok bertajuk Green Islam perlu didukung luas dari sisi pemangku kebijakan, pendanaan, pelibatan kelompok perempuan, dan pengarusutamaan dalam berbagai kebijakan lembaga pemerintahan. Ini dibutuhkan menyusul tingginya ancaman krisis sementara inisiatif kelompok Green Islam masih menghadapi banyak tantangan sehingga menyebabkan gerakan ini belum berkembang luas dan berdampak signifikan.
Demikian benang merah diskusi rilis hasil riset PPIM UIN Jakarta ‘Gerakan Green Islam: Harapan bagi Krisis Iklim di Indonesia?’ di Jakarta, Selasa (27/8/2024). Hasil riset disampaikan Testriono Ph.D. Peneliti PPIM UIN Jakarta sekaligus koordinator Riset Gerakan Green Islam.
Selain pimpinan Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta Didin Syafruddin Ph.D. dan Deputy Head of Political Affairs Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia Mark Hengstman, peluncuran hasil riset dihadiri para aktifis lingkungan, awak media, dan peneliti-akademisi dari sejumlah perguruan tinggi. Beberapa tokoh juga hadir sebagai narasumber pembahas, yaitu Ade Palguna Rutek (Kepala BP2SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Prof. Abdul Mu’ti (Sekretatis Umum PP Muhammadiyah), Khalisah Khalid (Greenpeace Indonesia), dan Roy Murtadho (Pendiri Pesnatren Misykatul Anwar).
Dalam paparannya, Testriono mengungkapkan, krisis iklim telah menjadi tantangan global dengan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan Masyarakat. Mengutip laporan World Risk Report 2022, jelasnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan menjadi negara dengan risiko bencana tertinggi ketiga dari 193 negara di dunia.
Sejalan dengan itu, kesadaran akan isu kerusakan lingkungan muncul di kalangan umat Islam dengan memberi perhatian pada penafsiran kembali ajaran agama dalam konteks pelestarian lingkungan, termasuk di Indonesia. “Salah satu gerakan yang menonjol adalah Gerakan Green Islam, yang berupaya mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam ajaran Islam, serta mendukung praktik-praktik ramah lingkungan sesuai dengan nilai-nilai Islam,” katanya.
Dalam rilis resminya, riset ini mendefinisikan Green Islam sebagai upaya kolektif yang berupaya mempraktikkan ajaran Islam dengan menekankan hubungan integral antara iman dan pelestarian lingkungan. Sederhananya, Green Islam muncul sebagai aksi kolektif yang mengaplikasikan prinsip-prinsip Islam dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan.
Penelitian ini mengidentifikasi 142 organisasi atau komunitas Green Islam di Indonesia, yang dikategorikan dalam tiga tipologi, yaitu konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator. Mayoritas kelompok Green Islam terafiliasi secara struktural di bawah dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Banyak dari mereka bekerja di basis lokal daripada nasional dan internasional, dan paling banyak berjenis ormas keagamaan, dibandingkan LSM, komunitas, dan koalisi.
Aktivisme Green Islam secara jelas menggunakan identitas agama dalam merancang strategi dan program kerjanya. Contohnya, Komunitas Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberdayakan ulama perempuan untuk menyebarkan pesan Green Islam melalui ceramah di masjid dan forum pengajian di masyarakat Aceh. Selain itu, Aisyiyah memberikan pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ada juga Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang berkolaborasi dengan komunitas lokal di Jawa Timur dalam mengadvokasi konflik agraria antara petani setempat dan perusahaan perkebunan. Yang lainnya, seperti AgriQuran, memanfaatkan media sosial untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, khususnya anak muda, guna mempromosikan praktik Green Islam.
Namun, sebut Testriono, aktivisme Gerakan Green Islam belum menjadi gerakan besar dan popular di kalangan publik. Gerakan Green Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, yang menyebabkan gerakan ini belum berkembang menjadi sebuah gerakan besar yang dikenal luas dan berdampak signifikan.
“Ada beberapa faktor penyebabnya, seperti gerakan Green Islam yang masih terfragmentasi dan cenderung fokus pada isu-isu lokal di sekitar mereka. Selain itu, sebagian organisasi belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, sementara yang lain memang mengalami keterbatasan sumber daya,” paparnya.
Selain itu, Testriono menambahkan, tantangan perkembangan Green Islam di Indonesia lainnya adalah terdapat kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen, di mana pesan-pesan lingkungan yang disampaikan belum sepenuhnya dipahami atau diterima oleh masyarakat luas. Terakhir, pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam belum maksimal, padahal peran mereka sangat penting dalam memperluas jangkauan dan pengaruh gerakan Green Islam di Indonesia.
Terkait itu, sambungnya, hasil riset merekomendasikan seluruh pihak dalam memaksimalkan gerakan Green Islam sebagai langkah strategis dalam mengatasi krisis lingkungan dan iklim di Indonesia dan global. Dengan menjadikan ajaran agama sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan menuju keberlanjutan, Green Islam dapat menjadi harapan bagi masa depan bumi yang lebih baik.
Terkait itu, Direktur Eksekutif PPIM Didin Syafrudin menawarkan sejumlah rekomendasi. Pertama, perlunya memperluas kerja sama untuk pelestarian lingkungan. Dalam hal ini, institusi pemerintah seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agama dapat memainkan peran signifikan untuk menjadikan agenda Green Islam menjadi agenda publik.
Kedua, perlunya memperkuat kemandirian. Dalam banyak kasus, faktor pendanaan merupakan salah satu kendala utama bagi gerakan Green Islam. Untuk mengatasi masalah ini, Green Islam dapat menggunakan wakaf sebagai dana abadi terhimpun (endowment fund) untuk mendukung inisiatif-inisiatif pelestarian lingkungan.
Ketiga, menguatkan peran perempuan dalam isu lingkungan. Penelitian ini menemukan pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam dapat memperluas jangkauan dan dampai aktivisme lingkungan kepada masyarakat. Sayangnya, belum banyak organisasi maupun komunitas Green Islam yang melibatkan perempuan dalam aktivismenya.
Keempat, integrasi Green Islam dalam arah kebijakan Kementerian Agama. Dalam hal ini, Kemenag dapat menjadikan agenda Green Islam sebagai agenda prioritas baru dalam arah kebijakan Rencana Strategis Kemenag 2025-2029 dan mengadopsi strategi dan program kerja Green Islam dalam arah kebijakannya.
Diketahui, riset Green Islam sendiri merupakan bagian dari proyek REACT (Religious Environmentalism Actions) yang bertujuan mengidentifikasi dan mendorong aksi-aksi lingkungan berbasis agama, khususnya Islam, dalam menghadapi krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan. Metode penelitian ini mencakup desk study, FGD di Jakarta dan Surabaya dengan melibatkan 50 pemimpin organisasi atau komunitas lingkungan berbasis agama, wawancara mendalam dengan 53 informan dari organisasi atau komunitas Green Islam, dan observasi di 28 lokasi kerja lingkungan dari 10 organisasi atau komunitas Green Islam di Indonesia.
Lebih jauh Didin menambahkan, riset ini juga dirancang untuk memberdayakan pemimpin agama dan aktivis lingkungan berbasis keagamaan, serta menyediakan platform bagi para pembuat kebijakan untuk bertukar pengalaman dan pembelajaran dalam upaya melindungi lingkungan dan mengatasi perubahan iklim. “Kami berharap program ini dapat menyebarluaskan makna Gerakan Green Islam, yang merupakan salah satu upaya dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta menjadi langkah nyata menuju terciptanya Indonesia yang hijau dan berkelanjutan,” pungkasnya.
(Caroline Oktaviani/Ridho R. Balebat/Raihan Lail Ramadhan/ZM