Antara Jihad dan Patriotisme

Antara Jihad dan Patriotisme

Indonesia memiliki dua jenis inner power yang amat dahsyat, yaitu emosi jihad dan emosi patriotisme. Jika kedua kekuatan ini diolah dengan baik, itu pasti menjadi kekuatan luar biasa bagi bangsa ini. Akan tetapi, jika salah dalam mengelola, keduanya akan saling memakan satu sama lain dan sudah pasti merugikan semuanya.

Kekuatan emosi jihad dimiliki oleh umat dan emosi patriotisme yang dimiliki oleh warga bangsa Indonesia. Emosi jihad akan mudah terbakar manakala sendi-sendi agama yang diyakini pemeluknya dihina dan emosi. Patriotisme akan meledak manakala martabat kebangsaan yang dijunjung tinggi oleh para warganya diinjak-injak. Letupan kedua emosi ini sudah sering terjadi dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia.

Apabila kedua kekuatan emosi ini bersinergi, apa pun dan siapa pun serta sehebat apa pun ancaman tidak akan pernah menggentarkan mereka. Sejarah Indonesia membuktikan, dengan pekikan “Allahu Akbar!” dan “Merdeka!” maka penjajah yang tangguh bisa diusir.

Indonesia merdeka berkat pekikan kedua pembangkit emosi tersebut. “Allahu Akbar!” ialah komando jihad yang menakutkan dan “Merdeka!” ialah komando patriotisme yang menggetarkan.

Kedua pekikan ini memicu andrenalin perjuangan umat dan warga untuk menyingkirkan musuh. Kedua modal emosional ini benar-benar perlu dipelihara dan dikelola dengan baik. Bila kedua kekuatan emosi ini berhadap-hadapan satu sama lain, bayangan perang saudara mahadahsyat akan terjadi. Indonesia juga pernah mempertontonkan pengalaman pahit ketika dua komunitas berhadapan.

Pengalaman yang sama juga pernah terjadi di beberapa negara lain. Kesemuanya itu harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang besar seperti Indonesia ini dipadati oleh kondisi objektif yang amat plural, begitu banyak ikatan primordial, seperti agama, aliran, etnik, suku, dan organisasi paguyuban yang kesemuanya berpotensi memicu konflik emosional.

Semua pihak perlu menahan diri jika menghadapi benturan primordial. Jangan pernah ada yang menggunakan ikatan-ikatan primordial sebagai kekuatan politik untuk membenturkan satu sama lain sesama warga bangsa karena akibatnya bisa sangat fatal.

Ada fenomena kekuatan kedua emosi ini akan berhadap-hadapan satu sama lain, terutama saat menghadapi pilkada atau pemilihan presiden. Indikator yang bisa dilihat ialah mencuatnya aliran ‘salafi jihadi’ yang bukan hanya menuntut pemurnian ajaran (puritanisme), melainkan juga melakukan gerakan menghidupkan kembali semangat keislaman (revivalisme) yang dinilai mulai tergerus oleh arus liberalisme yang semakin gencar di masyarakat.

Lebih memprihatinkan lagi karena mereka dimotori oleh kelompok usia muda, pintar, menguasai teknologi informasi, dan menguasai beberapa bahasa asing sehingga gerakan mereka lebih mudah ‘menginternasional’, apalagi dengan dukungan fasilitas media yang begitu mudah diakses.

Kita belum tahu pendanaan mereka dari mana, yang pasti mereka memiliki penguasaan media dan penerbitan. Basis penyebarannya bukan lagi di dalam masyarakat RT, RW, atau jamaah masjid, melainkan mereka lebih berkonsentrasi kepada kampus dan sekolah.

Mereka sangat ahli mengimplementasikan pengaruhnya melalui kegiatan luar sekolah. Bahkan, di laboratorium pun bisa menyebarkan pengaruh melalui program animasi ‘cuci otak’. Dampaknya lebih jauh ketika mereka menjadi ‘manusia jadi’, misalnya, sudah bekerja sebagai guru, memimpin perusahaan, dan menjadi pejabat. Maka itu, dengan mudah mereka bisa mengelola kekuatan itu menjadi suatu kekuatan ideologis yang bisa berhadap-hadapan dengan ideologi bangsa kita.

Sumber: Renungan Ramadan Media Indonesia, Rabu, 13 April 2022. (sm/mf)