Anomali Komunikasi dan Keterancaman Komunitas

Anomali Komunikasi dan Keterancaman Komunitas

Hari ini, kita merasakan bahwa keterhubungan antar subyek manusia sudah mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan perubahan itu demikian mendasar. Teknologi yang ditemukan dan kemudian dikembangkan manusia, telah menawarkan realitas dan model-model relasi baru yang sebelumnya belum pernah terjadi.

Manusia ada dan hadir karena adanya hubungan. Hubungan-hubungan menciptakan hal lain: ikatan, emosi, dan bahkan kehendak untuk menghasilkan kebudayaan. Hubungan-hubungan juga menghasilkan kualitas kehidupan itu sendiri. Sebagai contoh, dalam unit sosiologis terkecil, yakni keluarga, keterhubungan antar anggotanya: ayah, ibu, anak-anak, akan menghasilkan kualitas dan makna keluarga. Semakin keterhubungannya kuat; maka keluarga ini akan mengalami ikatan-ikatan yang memiliki kekuatan dan nilai. Sebaliknya, ketika keterhubungannya melemah, maka ikatannya pun melonggar dan melemah.

Begitu pun dalam unit sosiologis yang lebih besar: Komunitas dan masyarakat. Hubungan-hubungan dalam Komunitas dan masyarakat sangat menentukan bagaimana mereka akhirnya membangun sistem. Sistem sosial yang kecil akan menopang sistem besar di atasnya. Sistem sosial Komunitas, adalah kekuatan dari sistem sosial masyarakat dan bahkan persekutuan hukum seperti Negara. Menguat dan atau mengendurnya hubungan dalam Komunitas punya implikasi dan dampak yang besar kepada individu dan masyarakat.

Itulah yang sekarang sedang berlangsung. Sistem keterhubungan kita mengalami perubahan mulai dari pola, jenis, bentuk, dan subyek-obyek hubungan. Dari aspek pola, hubungan-hubungan langsung seperti yang terjadi pada masa lalu dan sebagian masa kini, mulai tidak lagi dipakai; dari aspek jenis, keterhubungan hari ini berubah menjadi jenis hubungan yang fungsional-pragmatis. Di mana hubungan itu sudah melampaui batas-batas suku, bangsa, agama, dan bahkan negara; dari aspek bentuk hubungan sekarang menggunakan bentuk teks, gambar, dan bahkan simbol-simbol. Di mana beberapa orang bisa putus hubungan hanya karena salah memberikan emotikon di gawai yang mereka ketik.

Sementara di sisi lainnya, hubungan-hubungan antar subyek ini tercipta dalam kemasan lain. Salah satunya, melalui mekanisme entertaimen atau hiburan. Jon Bailes (2019) dalam “Ideology and The Virtual City. Video Games, Power Fantasies and Neo-Liberalism” menggambarkan bagaimana dominasi ideologi liberal dalam ekonomi, politik, budaya, dan keseharian yang dikemas dalam realitas hiburan atau menghibur. Karena pada dasarnya manusia memerlukan suasana rilek atau hiburan, maka model-model hubungan yang dibalut hiburan inilah yang kemudian digrandrungi oleh banyak kalangan.

Kesenangan ditransformasi sedemikian rupa menjadi semacam nilai semu yang menjangkiti banyak orang. Maka muncul berbagai anomali sosial budaya. Orang kaya pamer senjata api; pejabat bergaji tinggi tapi keukeuh korupsi; artis pamer rekening; pertarungan pikiran dibalut iklan dan sponsor, dan sebagainya. Ironisnya, semua itu bisa divisualisasikan menjadi hiburan. Maka lahirlah anomaly dalam anomaly dalam anomaly. Begitu seterusnya.

Irisan antara hiburan atau kesenangan dengan keseriusan kemudian menjadi semakin tidak jelas. Di sini awal mula ancaman pada apa yang sekian lama hadir dalam keseharian kita: KomunitasKomunitas bukan sekedar sekelompok orang yang berkumpul. Sebab melampaui itu, Komunitas menghasilkan ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan yang kemudian berimplikasi menjadi sistem. Komunitas adalah modal sosial sekaligus modal budaya yang memberikan pengaruh besar kepada keberlanjutan masyarakat.

Lalu bagaimana prospek Komunitas di masa depan?

Inilah tantangan baru kita. Sebagai individu maupun bagian dari Komunitas, sebagian dari kita sudah menyadari ancaman ini. Komunitas-Komunitas tradisional akan memudar; berganti dengan Komunitas baru dengan model dan sistem pengikat yang baru juga. Hubungan dan ikatan berbasis tatap muka mungkin sudah tidak lagi penting karena sudah bertransformasi menjadi akun-akun digital. Otomatis, model komunikasi mengalami perubahan signifikan juga. Digitalisasi sudah merambah tidak hanya kepada perhitungan dan visualisasi, tetapi pada upaya dokumentasi proses-proses relasional antar subyek.

Dalam relasional antar subyek inilah terjadi proses yang justru “mengerikan”, di mana kita, secara perlahan tetapi nyata, mengalami obyektifasi. Obyektivasi adalah berubahnya peran dan fungsi dari seseorang menjadi sesuatu. Dari human being (orang) menjadi benda atau produk. Contoh dahulu, ketika Bung Karno berpidato hanya suaranya yang menjadi produk atau dibendakan. Sosoknya tetap sebagai subyek dengan segala kehebatannya. Tetapi di masa kini, karena hampir seluruh model komunikasi berubahan menjadi bit digital, maka subyek-subyek itu sudah menjadi obyek.

Bagi algoritma pembaca, suara, visual wajah, gestur tubuh, dan sebagainya, adalah obyek yang harus disampaikan kepada khalayak. Ketika proses mengubah subyek menjadi obyek itu, maka pembendaan sudah terjadi sedemikian rupa. Algoritma telah mengubah manusia sebagai sosok, menjadi manusia sebagai data. Data-data ini yang kemudian dikalkulasi, dipetakan, dan dipolakan, dengan alasan supaya mudah dibaca kecenderungannya.

Di sinilah khalayak yang juga memiliki kebebasan untuk memilih: menerima, mengikuti, dan atau membuang. Khalayak tidak lagi memiliki keterikatan karena dihadapannya mereka adalah data obyek yang posisinya hanya bisa dimaknai secara fungsional-pragmatis semata. Jika memberikan keuntungan akan dipilih; atau jika sebaliknya akan ditinggalkan.

Di sini keterancaman atas Komunitas akan semakin besar. Komunitas-Komunitas baru ini, yang bisa jadi lebih bisa memberikan kesenangan, akan memberikan pengaruh sangat kuat, ketimbang Komunitas lama yang konvensional.

Jika demikian halnya, maka para pemangku kepentingan harus duduk bersama. Generasi mendatang yang akan mendapatkan warisan realitas akibat temuan-temuan sekarang perlu diberikan guideline dasar agar mereka tidak langsung membentuk komunitasnya melalui cara mereka sendiri. Panduan ini sangat penting, meski kita sering mengatakan bahwa masa kini merupakan pinjaman dari generasi masa depan, tetapi berbagai pelajaran berharga di masa kini, perlu disampaikan agar mereka tidak menjadi “the lost generation”.

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Program Magister Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: https://akurat.co/news/id-1171654-read-anomali-komunikasi-dan-keterancaman-komunitas?fbclid=IwAR1abOin6gY1SDmR-HXM_0urKZfovolvgZbpy88nu1HdYDBKndAM-HKVIiw. Selasa, 21 Juli 2020. (mf)