Al-Mu’akhkhir, Allah yang Maha Mengakhirkan
Al-Mu’akhkhir, Maha Mengakhirkan merupakan antonim al-Muqaddim, Maha Mendahulukan. Dari segi Zat-Nya, Allah itu Maha yang Pertama (al-Awwal), tidak ada satupuan yang mendahului keberadaan-Nya. Dan Allah itu Maha Terakhir (al-Akhir), tidak ada sesuatu yang mampu eksis sesudah-Nya. Allah itu Maha Mengakhirkan, dalam arti menempatkan di belakang, baik dalam waktu, peristiwa, kedudukan, atau tempat.
Al-Mu’akhkhir sebagai salah satu al-Asma’ al-Husna tidak ditemukan dalam al-Qur’an, tetapi disebut oleh Nabi Muhammad Saw dalam beberapa hadisnya. Salah satunya disebut di akhir doa tahajjudnya, “Anta al-Muqaddim wa Anta al-Mu’akhkhir” (Engkau adalah Maha Mendahulukan dan Engkau juga Maha Mengakhirkan) (HR Muslim). Jadi, al-Mu’akhkhir diyakini sebagai nama terbaik Allah yang terkait dengan sifat Zat dan sifat perbuatan-Nya, antara lain mengakhirkan azab, tetapi mendahulukan rahmat dan ampunan-Nya.
Dalam al-Qur’an dijumpai delapan kali kata “akhkhara”, berupa pernyataan langsung dari Allah SwT sebagai Pelaku dengan tiga macam objek, yaitu: menunda siksa, menunda sesuatu sampai batas waktu tertentu, dan tidak menunda kehadiran ajal kematian apabila telah datang waktunya. Di antaranya, “pada hari itu diberitahukan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya, dan apa yang ditangguhkan/dilalaikannya.” (QS al-Qiyamah [75]: 13) “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan memenuhi seruan Engkau dan akan mengikuti Rasul-rasul.” (Kepada mereka dikatakan): “Bukanlah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa.” (QS. Ibrahim [14]: 44)
al-Mu’akhkhir, Allah Maha Mengakhirkan siksa dan mendahulukan peringatan-Nya. Allah mengakhirkan ancaman siksaan, dan mendahulukan petunjuk-Nya. Allah mendahulukan kepentingan makhluk-makhluk-Nya atas amalan-amalan untuk-Nya. Allah juga mengakhirkan perintah bersyukur kepada-Nya, tetapi mendahulukan perintah berbuat baik kepada-Nya. Mendahulukan dan mengakhirkan atau menangguhkan sesuatu itu sesuai dengan ketentuan dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ (النحل:61)
“Sekiranya Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai pada waktu yang ditentukan, sehingga apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya.” (QS. an-Nahl [16]: 61).
Sebagai contoh, tujuan pengakhiran azab akhirat dengan menimpakan musibah, bencana, atau “azab kecil sebagai peringatan” ketika hidup di dunia adalah agar manusia sadar dan bersedia untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. “Dan Sesungguhnya Kami membuat mereka merasakan sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS as-Sajdah [32]: 21)
Dari nama al-Muakhkhir tersebut, setidaknya ada dua kategori ta’khir (pengakhiran, penundaan), yaitu ta’khir kauni dan ta’khir syar’i. Pengakhiran eksistensial (ta’khir kauni) berkaitan dengan kelahiran, ajal kematian, rezeki, kedudukan, dan aneka peristiwa yang sudah ditetapkan Allah SwT pasti terjadi pada makhluk-Nya di waktu, tempat, dan kondisi tertentu. Semuanya menjadi hak prerogatif Allah, waktu dan tempat kejadiannya pasti, tidak meleset, dan tidak dapat dimajukan. Jika ajal seseorang diakhirkan, maka orang itu meninggal belakangan dibanding orang lain. Seseorang diakhirkan rezekinya daripada orang lain, berarti ia lebih miskin daripada orang lain, dan seterusnya.
Adapun pengakhiran regulasional (ta’khir syar’i) itu berkaitan dengan amaliah ibadah tertentu pula. Dalam hal ini, Nabi Saw diberi “kewenangan” untuk menetapkan dan memberikan keteladanannya. Misalnya, disunahkan mendahulukan (ta’jil) berbuka puasa daripada melaksanakan shalat Maghrib; sebaliknya disunahkan mengakhirkan santap sahur. “Ketika mengadakan perjalanan, apabila berangkat sebelum matahari condong ke Barat (belum masuk waktu zhuhur), Nabi SAW mengakhirkan shalat zhuhur dan menjamaknya di waktu ashar (jamak ta’khir). Sebaliknya, jika berangkat setelah waktu zhuhur tiba, beliau mendahulukan shalat zhuhur dan menjamak taqdim di waktu shalat zhuhur.” (HR al-Bukhari)
Meneladani sifat Allah al-Mu’akhir mengharuskan kita mendahulukan dan mengakhirkan segala sesuatu sesuai dengan petunjuk-Nya. “Hai orang-orang beriman, janganlah engkau mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat [49]: 1). Artinya, hamba harus senantiasa mengakhirkan ego sektoral, perasaan dan pikiran subyektifnya dengan mendahulukan petunjuk Allah dan keteladanan Rasul-Nya.
Menjadi hamba al-Mu’akhkhir meniscayakan pentingnya mengkaji dan memahami ayat-ayat Qur’aniyyah dan ayat-ayat kauniyyah (alam semesta) secara holistik-integratif dengan terus belajar, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan meneladani role model Nabi Saw. Hamba al-Mu’akhkhir harus selalu berpikir positif dan berbaik sangka kepada ketetapan Allah Swt pada makhluk-Nya, dengan senantiasa bersikap arif dan mau mengambil hikmah di balik semua yang terjadi di alam raya ini, seraya mengakui dan mengagumi-Nya: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191)
Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua IMLA Indonesia. Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah edisi 16-31 Agustus 2020. (mf)