Al-Ghaniyy, Allah yang Maha Kaya
Muhbib Abdul Wahab, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum Imla Indonesia
Salah satu al-Asma’ al-Husna adalah al-Ghaniyy, Maha Kaya. Allah memang Maha Kaya, karena semua yang ada di langit dan bumi ini milik-Nya. Perbendaharaan, kerajaan, dan kekuasaan yang ada di langit dan bumi berada dalam genggaman dan kedali-Nya. Dalam hal ini Allah SwT berfirman: لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (QS al-Hajj [22]: 64).
Dari segi bahasa, “al-Ghaniyy” itu berasal dari kata ghaniya-yaghna, ghinan wa ghana-an, yang berarti: berkecukupan, tidak membutuhkan bantuan pihak lain. Lawan kata al-Ghaniyy adalah al-faqir, fakir, memerlukan pertolongan pihak lain. Makna ini dapat ditemukan dalam ayat: “Wahai manusia, kamulah yang memerlukan (berkehendak) kepada Allah; dan Allah Dia-lah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS Fathir [35]: 15).
Kata ghaniyy dalam al-Quran disebutkan 20 kali. Hanya dua kali kata ini digunakan untuk menunjuk kepada manusia, sedangkan selebihnya digunakan sebagai sifat Allah. Sebanyak 10 kali kata al-Ghaniyy dirangkaikan dengan al-Hamid, Maha Terpuji, dan masing-masing sekali dirangkai dengan Karim (Maha Mulia), Halim (Maha Penyantun), dan Dzurrahmah (Pemilik rahmat). Lima kali tidak dirangkaikan dengan sifat-Nya lain, tetapi diredaksikan dengan al-‘Alamin dua kali, dan berdiri sendiri tiga kali.
Al-Ghaniyy, Allah Maha Kaya, bukan sekadar kaya materi, tetapi juga kaya segala-galanya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada yang dapat menandingi kekayaan-Nya. Karena itu, manusia tidak selayaknya menyombongkan dan membanggakan diri lantaran kekayaan yang dimiliki-Nya. Sebab kepemilikan dan kekayaan manusia itu nisbi (relatif, semu, dan fluktuatif), sedangkan kekayaan yang meliputi segala yang ada itu bersifat mutlak.
Ingatlah Karun, konglomerat hitam, yang hidup pada masa Nabi Musa AS. Dia mengklaim bahwa “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash [28]: 78). Dengan kekayaannya yang dilukiskan al-Qur’an kunci-kunci perbendaharaannya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat, Karun berlaku aniaya terhadap masyarakatnya, sekaligus menyombongkan diri (QS al-Qashash [28]: 76), sehingga Allah murka lalu mengadzabnya dengan membenamkan dirinya dan rumahnya ke dalam perut bumi (QS al-Qashash [28]: 81).
Oleh karena Allah Maha Kaya, maka semua kekayaan yang dimiliki manusia, pada dasarnya merupakan anugerah sekaligus amanah yang harus dijaga, disyukuri, dan dimanfaatkan sesuai dengan petunjuk ajaran-Nya. Sifat al-Ghaniyy mendidik hamba untuk mau mengakui rahmat, kasih sayang-Nya dalam melimpahkan rezeki kepada semua makhluk-Nya, terutama manusia. Al-Ghaniyy juga mengedukasi hamba untuk tidak menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan hidup, karena kekayaan materi yang dimiliki manusia hanyalah sarana belaka dan bersifat sementara, untuk difungsikan sebagai media beribadah dengan berzakat, berinfak, bersedekah, berwakaf, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Al-Ghaniyy, Allah yang Maha Kaya dalam segala hal dan takterbatas memerintahkan hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya, karena Dia tidak bakhil (kikir), tetapi Dzat yang Maha Pemberi rezeki, Pemberi rahmat, pemberi segala hal yang dibutuhkan manusia. Dengan demikian, al-Ghaniyy mengajak hamba-hamba-Nya untuk bergantung dan memohon pertolongan kepada-Nya, sehingga tidak sewajarnya manusia menggantungkan nasib dan kekayaannya dengan percaya kepada dukun, memelihara tuyul pesugihan, mendatangi tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat dan mendatangkan keberuntungan.
Meneladani al-Ghaniyy, Allah yang Maha Kaya mengharuskan hamba memiliki etos kerja yang tangguh dan profesional dalam meraih kekayaan dari Allah SwT, baik kekayaan materi maupun kekayaan hati. Al-Ghaniyy mengajarkan pentingnya memiliki kemandirian ekonomi dengan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan kekayaan dari Allah secara halal dan legal. Sebab, jika tidak demikian, manusia bisa menjadi beban bagi orang lain, bahkan tergantung pada orang lain, karena etos kerja rendah dan terpuruk dalam kemiskinan.
Dengan meneladani al-Ghaniyy, hamba belajar menjadi kaya materi sekaligus kaya hati, kaya ilmu, kaya amal shalih, sehingga mampu berperan optimal dalam aktualisasi ibadah maliyyah (ibadah harta kekayaan) demi kesejahteraan dan keadilan sosial, seperti: menyantuni fakir miskin, mengeluarkan zakat, infak, sedekah, wakaf, memberdayakan ekonomi, memajukan pendidikan, dan lain sebagainya.
Jadi, spirit peneladanan al-Ghaniyy adalah spirit meraih prestasi ekonomi dan harga diri yang tinggi karena berpegang teguh pada prinsip hidup mulia bahwa tangan di atas (al-yadu al-ulya) itu lebih baik daripada tangan di bawah (al-yadu as-sufla). Di atas semua itu, karakter dan moralitas yang dapat diaktualisasikan dari al-Ghaniyy adalah pentingnya menjadi orang yang kaya hati dan pemikiran, sehingga kekayaan materi yang diperoleh secara halal dan legal, dipergunakan di jalan kebaikan, kemaslahatan, dan kemanfaatan, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang atau pihak lain yang membutuhkan. Al-Ghaniyy menumbuhkembangkan jiwa filantropi, semangat berbagi, dan terus memberi.
Sumber: Suara Muhammadiyah 06/106, 2-17 Sya’ban 1442. (mf)