Aktualitas Peran Peradaban Bahasa Arab
Dalam dua hari ini, 16-17 Oktober 2019, Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-Arabiyyah (IMLA) menghelat hajatan besar bertaraf internasional, yaitu PINBA (Pekan Ilmiah Bahasa Arab ke-12 dan Muktamar ke-6 di Universitas Padjajaran Bandung. PINBA tersebut mengusung tema “ad-Daur al-Hadhari li al-Lughah al-Arabiyyah” (Peran Peradaban Bahasa Arab).
Tema ini sangat menarik dan relevan dengan spirit milenial bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang mampu eksis dan beradaptasi dengan kemajuan sains dan teknologi. Bahkan menurut ‘Abd ash-Shabur Syahin, bahasa Arab itu merupakan bahasa ilmu pengetahua dan teknologi yang akan terus hidup (eksis). Mengapa demikian dan kontribusi apa yang dapat diberikan untuk meneguhkan peran peradaban bahasa Arab tersebut? Tulisan ringan dan sederhana ini berupaya memberi makna terhadap Pinba dan Muktamar IMLA.
Sebagai bahasa internasional yang telah digunakan secara resmi oleh Persyarikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak tahun 1973, bahasa Arab merupakan bahasa yang dipilih Allah SWT untuk menjadi bahasa kitab suci-Nya, Alquran. Dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa Alquran bukan semata-mata karena Nabi Muhammad SAW orang Arab dan masyarakatnya berbahasa Arab, melainkan juga karena kehebatan, keagungan, dan keindahan bahasa Arab sendiri dalam penyampaian makna dan pesan Alquran. “Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Quran berbahasa Arab, agar kamu mengerti/memahami” (QS Yusuf [12]: 2).
Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir menyatakan bahwa Alquran itu merupakan kitab suci paling mulia dan agung (asyraf al-Kutub) yang diturunkan melalui malaikat paling mulia (asyraf al-malaikah), Jibril AS, kepada Rasul paling agung dan mulia (asyraf al-Rusul), Muhammad Saw dengan bahasa paling mulia dan luar biasa pula, yaitu bahasa Arab. Kemuliaan dan keagungan sumber, proses penurunan, penerima wahyu (Rasulullah), dan bahasa Arab yang digunakan bukan sebuah kebetulan, tetapi merupakan desain supercanggih yang sengaja dipersiapkan oleh Allah SWT, untuk menunjukkan kebenaran, kehebatan, keindahan, kekuasaan, dan kedahsyatan-Nya.
Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika ayat tersebut diakhiri dengan sebuah harapan (la’alla) bahwa bahasa Alquran itu dapat dipahami, dinalar, dan dimegerti secara logis. Bahkan menurut Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, redaksi ayat tersebut dipahami sebagai adanya keinginan (iradah, will) Allah Swt untuk menjadikan bahasa Arab Alquran itu dipahami dan dimaknai dengan baik, tidak hanya bagi orang-orang Arab, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang mau mempelajarinya.
Meskipun secara linguistik, bahasa Arab itu merupakan media penyampaian wahyu (pesan dan ajaran) Allah, namun eksistensinya sebagai kitab suci mendapat garansi pemeliharaan, konservasi, dan aktualitas dari Allah itu sendiri. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS al-Hijr [15]:9). Dengan kata lain, bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang dijaga eksistensialitas dan aktualitasnya sekaligus diproteksi dari kepunahan dan kematiannya.
Posisi mulia itu menjadi distingsi antara bahasa Arab dengan bahasa lainnya yang ada di dunia. Jika bahasa lain sangat potensial punah dan sirna dari muka bumi seiring dengan perkembangan zaman, maka bahasa Arab mendapat garansi tetap terpelihara, selama Alquran tetap terjaga eksistensinya. Jika bahasa lain tidak memiliki dasar referensi (acuan) dalam proses gramatisasi (taq’id), diksi (pemilihan kosakata), keluasan dan kedalaman maknanya, keindahan gaya bahasa dan stilistikanya, maka bahasa Arab selalu memiliki referensi dalam semua itu, selain terjaga eksistensialitas, aktualitas, dan kontekstualitasnya.
Dengan kata lain, bahasa Arab dan Islam itu “tidak ada matinya”, selalu aktual dan kontekstual. Secara historis, bahasa Arab juga terbukti mampu menjadi bahasa ekspansif-progresif; tidak hanya dipakai oleh masyarakat Arab yang berada di Jazirah Arabia, melainkan juga berkembang seiring dengan penyebaran Islam (futuhat Islamiyyah), sehingga masyarakat di sebagian besar negara Timur Tengah yang semula tidak berbahasa resmi Arab berubah menjadi berbahasa Arab, seperti: Mesir (semula berbahasa Koptik, Qibti), Sudan, Libia, al-Jazair, Marokko, Tunis, Somalia, dan sebagainya.
Bahasa Arab Alquran sarat dengan dimensi kemukjizatan yang menarik dikaji dan didalami. Karena Alquran diyakini mengandung kemukjitan dari segi syariah, isyarat ilmiah, kebahasaan dan kebalaghahan (al-lughah wa al-balaghah). Jika demikian halnya, maka bahasa Arab Alquran itu menjadi sebuah keniscayaan untuk dipahami dan dinarasikan. Bahkan penurunan Alquran dengan bahasa Arab juga diorientasikan agar bahasa, substansi, dan maknanya dapat menjadi pelajaran bahasa umat manusia. “Dan demikianlah Kami menurunkan Alquran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, atau agar (Al-Qur'an) itu memberi pengajaran bagi mereka.” (QS Taha [20]:113).
Oleh karena itu, bahasa Arab Alquran itu harus dipahami sebagai “bahasa kaya makna”, dan paling pas sebagai media linguistik yang mampu mengemban tugas komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan dan misi kenabian. “(Yaitu) Alquran dalam bahasa Arab, tidak ada kebengkokan, distorsi (di dalamnya) agar mereka bertakwa. (QS Az-Zumar [39]:28).
Jadi, bahasa Arab Alquran merupakan bahasa yang sangat jelas, kaya makna, bernas, indah, aktual, kontekstual, dan logis, karena memang fungsi diturunkannya Alquran adalah sebagai petunjuk kehidupan bagi manusia (hudan li an-nas). Bagaimana mungkin bisa berfungsi sebagai petunjuk, pedoman, panduan, referensi, sumber inspirasi dan motivasi, jika bahasanya tidak jelas dan tidak logis? Oleh sebab itu, bahasa redaksi Alquran itu satu sama lain, secara linguistik teks (ilm al-lughah an-nashshi) saling menjelaskan (al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan) secara intertektulitas. Sementara salah satu tujuan penurunan Alquran dengan bahasa Arab adalah agar umat manusia mengetahui (berilmu) dan mengerti (dengan berpikir logis). “Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum berilmu.” (QS Fushshilat [41]:3)
Fakta historis menunjukkan bahwa Alquran telah sukses menginspirasi dan memotivasi para ulama untuk melakukan riset tentang bahasa dan substansi ayat-ayatnya, sehingga muncullah berbagai cabang ilmu keislaman, seperti: ilmu kalam (teologi Islam), ‘ulum al-Qur’an, ilmu qira’at, ilmu tajwid, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, tasawuf, dan sebagainya. Semua riset keislaman dan kebahasaaraban itu poros dan “sumbu asnya” adalah Alquran. Oleh karena itu, menurut penulis, untuk mendinamisasi riset kebahasaaraban ke depan, dipandang penting dilakukan peninjauan kembali (i’adah an-nazhar) berikut pemetaan fenomena dan data linguistik berbasis ayat-ayat Alquran, sehingga kita dapat memiliki “big data” linguistik Alquran untuk berbagai kepentingan riset kebahasaaraban Alquran.
Dengan demikian, riset bahasa Arab berbasis Alquran itu tidak akan pernah selesai, karena Alquran itu bagaikan intan atau berlian yang dari sudut pandang manapun kita melihat dan mengkajinya, pasti memancarkan kilauan yang indah, menarik, dan mempesona. Mata air Alquran tidak pernah kering “digali dan ditimba” dengan perspektif keilmuan apapun.
Inspirasi Alquran sudah terbukti melahirkan ratusan bahkan ribuan karya-karya tafsir yang telah ditorehkan para ulama. Inspirasi dan sumber daya nilai Alquran terus memberi spirit dan rahmat keilmuan dan peradaban bagi siapapun yang meneliti dan mendalaminya dengan kerendahan hati. Dan sebelum (Alquran) itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. “Dan (Alquran) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zhalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-'Ahqaf [46]:12).
Peran peradaban bahasa Arab tidak hanya termanifestasi dalam fungsinya sebagai media komunikasi dan bahasa pemersatu umat Islam, tetapi juga sebagai bahasa ilmu, bahasa akademik dan budaya yang terus berkembang dan berkemajuan. Peran peradaban bahasa Arab akan semakin dinamis dan fungsial, apabila disinergikan dengan eksistensinya sebagai bahasa kitab suci dan bahasa Internasional. Karena itu, peran peradaban bahasa Arab juga menghendaki peran politik (politik bahasa) dan peran ekonomi (ekonomi bahasa, iqtishad lughawi) dari kita semua.
Karya-karya peradaban berbasis bahasa Arab tidak hanya penting ditekuni dan dikembangkan, melainkan juga perlu dipublikasikan dan diinternasionalisasikan. Karya-karya pengembangan pemikiran dan peradaban ilmu, seperti Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Ahmad Fuad Effendy, Muassis IMLA), Metodologi Penelitian Bahasa Arab (Moh. Ainin), Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab (Muhbib Abdul Wahab), Strategi Pembelajaran Bahasa Arab (Imam Asrori, Ketua Umum IMLA), Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab (Moh. Matsna dan Erta Mahyuddin), Ensiklopedi Bahasa dan Sastra Arab (Muhbib, penggagas dan Sukron Kamil, editor), HaKi kebahasaaraban seperti: TOAFL (Muhbib, dkk), Nahwu Kontrastif (Maman Abdurrahman), Terjemahan Ayat-ayat Kauniyyah dalam al-Quranil Karim ke dalam Bahasa Indonesia: Problematika dan Solusi (Arman Husni), Pengembangan Morfolofi Arab Berbasis Kontrastif dan Analogi: Mahir Sharaf dalam Waktu Cepat (Aziz Fahrurrozi dan Raswan), sekadar menyebut beberapa contoh, sangat penting dikembangkan di masa depan. Linguistik korpus dan pengembangan korpus (mudawwanat) bahasa Arab yang mulai dirintis oleh Nur Hizbullah bekerjasama dengan Markaz al-Buhuts wa at-Tawashul al-Ma’rifi di Riyadh juga penting diagendakan sebagai peneguhan peran peradaban bahasa Arab di dunia Islam dan dunia Internasional.
Dukungan intelektual, moral, dan finansial dari berbagai pihak, khususnya dari Markaz al-Malik Abdullah, WAMY, dan Markaz al-Buhuts tersebut tampaknya penting dimaknai sebagai upaya internasionalisasi peran peradaban bahasa Arab yang dimainkan oleh IMLA. Karena itu, sinergitas segenap potensi dan kompetensi yang dimiliki oleh IMLA yang berbasis di berbagai lembaga pendidikan tinggi, pesantren, dan madrasah di seluruh penjuru tanah air penting “dirangkul dan diberdayakan”. IMLA dan peran peradaban bahasa Arab itu dari, oleh, dan untuk semua.
Selain itu, sinergitas bahasa Arab dan Alquran menginspirasi dan memotivasi umat Islam untuk terus mempelajari, memaknai, dan mengontekstualisasikan syariah Islam sebagai rahmat bagi semesta raya. Semoga bahasa Arab senantiasa terus dikaji dan dikembangkan dengan spirit membumikan Alquran dan mewujudkan peradaban Islam yang damai, moderat (wasathi), berkemajuan di bumi Nusantara tercinta dan menjadi solusi bagi permasalahan umat dan bangsa. Dengan semakin besarnya peran IMLA dalam mengawal perubahan, meningkatkan mutu pendidikan bahasa Arab dan SDM di bidang bahasa Arab di Indonesia, sudah saatnya, politik bahasa di era Jokowi Jilid II ini perlu didorong dan diorientasikan untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kedua di Indonesia. Aktualitas dan kontekstualitas bahasa Arab di Indonesia memanggil kita semua untuk lebih menekuni kajian, pendidikan, penelitian, dan publikasi karya-karya kreatif dalam konteks pemajuan bahasa Arab. Wallahu waliyyu at-taufiq!
Dr Muhbib Abd Wahab MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua III IMLA (2015-2019). Makalah dipresentasikan pada Muktamar IMLA di Unpad Bandung, 16-18 Oktober 2019. (lrf/mf)