Aktualisasi Nilai Ramadhan Pasca-Idul Fitri

Aktualisasi Nilai Ramadhan Pasca-Idul Fitri

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kita baru saja merayakan Idul Fitri, 1 Syawal 1444 H. Pendidikan Ramadhan yang disempurnakan dengan perayaan Idul Fitri merupakan manifestasi kemenangan dalam berjihad melawan hawa nafsu dan bermujahadah menaati ajaran Islam berbasis keteladanan Nabi Muhammad SAW.

Setiap Muslim pasti berharap bisa bertemu lagi dengan Ramadhan. Harapan ini tentu postif, namun yang lebih positif lagi adalah bagaimana mengaktualisasikan hasil didikan dan nilai-nilai moral dan spiritual Ramadhan dalam kehidupan nyata pada 11 bulan ke depan. Lalu, nilai-nilai apakah yang idealnya dilestarikan dan diaktualisasikan pascaramadhan?

Ramadhan yang sudah dijalani merupakan bulan penuh kemuliaan, kebaikan, keberkahan, kasih sayang, dan ampunan Allah SWT. Sebagai sistem pendidikan,  software Ramadhan adalah kurikulum yang diprogram sebagai landasan dan panduan edukatif dalam menjalani ibadah Ramadhan. Hardware-nya adalah bangunan fisik: masjid, mushalla, rumah tinggal, perpustakaan, dan sarana prasarana pendukung lainnya. Shaimin adalah peserta didik yang sekaligus berperan sebagai pendidik diri.

            Dalam prosesnya, santri Ramadhan tidak boleh “bolos berpuasa”, kecuali karena uzur syar’i, tetapi harus disiplin bangun pagi, mempersiapkan diri menjalani pembelajaran Ramadhan. Saat berada di sekolah, santri harus mandiri, menjadikan diri sendiri sebagai aktor sekaligus sumber belajar Ramadhan, seperti: latihan pengendalian diri tidak makan, tidak minum, tidak merokok, tidak berhubungan suami istri di siang hari, tidak ghibah, tidak mudah marah, tidak arogan, bahkan tidak korupsi. Tujuan pendidikan Ramadhan adalah menjadi lulusan Ramadhan berprediket takwa.

Dalam konteks pendidikan, Idul Fitri sejatinya merupakan wisuda lulusan yang diharapkan berprediket unggul dalam bertakwa autentik. Artinya, lulus puasa korupsi, puasa ghibah, puasa maksiat, dan sebagainya tidak hanya berlangsung di bulan suci saja, lalu pascaramadhan kumat lagi, namun harus puasa maksiat  sepanjang masa, sebagaimanya perintah takwa harus diaktualisasikan di manapun dan kapanpun.

            Paket kurikulum Ramadhan di malam hari juga harus dikembangkan. Menyegerakan berbuka saat adzan Maghrib tiba merupakan anjuran. Mengendalikan nafsu makan yang berlebihan dan “balas dendam karena kelaparan” saat berbuka juga harus dikendalikan sedemikian rupa, sehingga kualitas ibadah Ramadhan tidak sebatas “puasa perut”, puasanya orang awam. Karena calon lulusan Ramadhan harus melakukan transformasi dari “puasa perut”, puasa nafsu syahwat, menjadi puasa hati dan pikiran, puasa mental-spiritual, sehingga dapat merasakan nikmat dan indahnya Ramadhan.

            Ramadhan mendidik hati dan akal pikiran supaya  menjadi lulusan yang merdeka dari sifat-sifat kebinatangan: rakus, tamak, dengki, munafik, sombong, arogan, licik, dan sebagainya. Menempa hati dan akal pikiran melalui pelatihan  mental spiritual secara intensif dapat meningkatkan kualitas kemanusiaan  melalui  peneladanan sifat-sifat ketuhanan: kasih sayang, empati, berjiwa pemaaf, bermurah hati, gemar memberi (sedekah), dan sebagainya. Pendidikan Ramadhan merupakan momentum untuk melakukan pembebasan diri dari segala bentuk karakter tercela dan perilaku biadab, menuju integritas pribadi takwa yang humanis: takwa personal, sosial, dan multikultural.

            Pembelajaran nilai Ramadhan di malam hari seperti shalat tarawih, tadarus al-Qur’an, dzikir, istighfar, hingga i’tikaf melalui proses habituasi (pembiasaan) idealnya diaktualisasikan dalam ranah kemanusiaan, sehingga keikhlasan, ketekunan, ketaatan, dan kekhusyukan dalam beribadah membuahkan akhlak mulia penuh kasih sayang. Nuansa kebersamaan yang dibelajarkan shalat berjamaah di masjid, terutama shalat fardhu dan tarawih, semestinya melahirkan sikap persatuan, kesatuan, kebersamaan, dan perdamaian dengan sesama.

            Nilai-nilai sosial Ramadhan, seperti anjuran gemar bersedekah, berempati kepada fakir miskin, dan membayar zakat fitri dan zakat harta (zakat al-mal), mendidik lulusan Ramadhan untuk memiliki etos berbagi dan berempati kepada sesama. Nilai sosial Ramadhan tidak lengkap tanpa ada proses transformasi sosial dari manusia egois menuju manusia humanis yang memiliki  solidaritas sosial dan kesetiakawanan yang tinggi.

            Pendidikan Ramadhan idealnya berdampak positif bagi sosial kemanusiaan universal. Limpahan keberkahan rejeki di bulan suci bukan hanya untuk para calon lulusan Ramadhan, melainkan berimplikasi positif bagi para pelaku ekonomi lintas suku bangsa, lintas budaya, dan lintas agama. Pendidikan Ramadhan terbukti dapat menggerakkan dan memberdayakan ekonomi umat manusia. Lebih-lebih prosesi Idul Fitri dibarengi dengan “tradisi mudik nasional” yang mampu menumbuhkan mobilitas sosial dan menggerakkan roda ekonomi nasional.

            Pendidikan Ramadhan mewariskan nilai-nilai pembelajaran multikecerdasan: intelektual, emosional, mental spiritual, dan sosial. Spirit “iqra’” (membaca, belajar, meneliti, dan menulis) dapat menjadi budaya intelektualitas yang membuahkan produktivitas keilmuan dan wawasan pengetahuan yang luas dan luwes. Jika selama Ramadhan Rasulullah mengikuti “pelatihan literasi” al-Qur’an di bawah bimbingan Jibril AS, maka keteladan budaya membaca itu patut ditindaka-lanjuti sepanjang masa. Karena spirit iqra’ merupakan landasan kemajuan peradaban umat manusia.

            Nilai-nilai Ramadhan mencerdaskan emosionalitas calon lulusan dengan membelajarkan diri menjadi penyabar, pemaaf, penyayang, dan pengendali diri sendiri yang baik. Ketika merasa lapar, dahaga, dan aneka cobaan hidup lainnya kita diajak untuk menyelami hakikat “menahan diri” (shiyam). Menunggu azan maghrib tiba boleh jadi juga merupakan pembelajaran berharga untuk bisa bersabar dan memiliki self control yang prima, sehingga proses pencerdasan emosi itu dapat melahirkan kejujuran: jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap sesama, terutama jujur terhadap Tuhan.

            Ramadhan juga dapat melejitkan kecerdasan spiritual. Nuansa pendekatan diri kepada Allah melalui aneka ritualitas siang dan malam Ramadhan, utamanya istighfar, zikir, dan doa menjadikan peserta didik berlomba-lomba meraih ampunan (maghfirah) dari Allah. Proses i’tikaf, terutama di 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, merupakan bentuk penyucian diri (tazkiyat an-nafsi) yang dapat melejitkan spiritualitas Ramadhan.

             Ramadhan juga mewariskan nilai kepedulian sosial, mendidik dan membiasakan “berjamaah”, berjiwa kebersamaan, kekeluargaan, dan kebangsaan. Tanpa Ramadhan, dapat dibayangkan bahwa semarak berjamaah di masjid tentu tidak semarak. Ramadhan membangkitkan empati sosial yang tinggi. Karena Islam mengajarkan bahwa sedekah yang terbaik adalah sedekah di bulan Ramadhan.

Oleh karena itu, perayaan Idul Fitri harus dimaknai sebagai proses kemenangan dan keunggulan mental spiritual, sosial, dan moral, bukan semata-mata ritual-seremonial  dengan semangat menunjukkan “penampilan kekayaan”. Idul Fitri adalah awal ujian keimanan dan ketakwaan untuk perjalanan hidup sebelas bulan kemudian.

Oleh sebab itu, salah satu indikator  kesuksesan pendidikan Ramadhan adalah terujinya kompentensi dan konsistensi (istiqamah) lulusan Ramadhan dalam mempertahankan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Ramadhan tersebut dalam sebuah transformasi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan: kebenaran, kejujuran, kedamaian, kekuluargaan, kebersamaan, kebhinekaan, keadilan dan kesejahteraan sosial bagi semua.

Idul Fitri bukan sekadar masa berakhirnya ketaatan dan kesalehan multidimensi, melainkan merupakan titik tolak spirit yang memacu peningkatan kualitas keberagamaan dan aktualisasi nilai-nilai Ramadhan di dalam sebelas bulan berikutnya. Indikator utama keberhasilan aktulisasi nilai-nilai Ramadhan pascaidul fitri adalah semakin melimpahnya kemudahan dalam beramal shalih atau bertakwa, dan semakin dijauhkan dari kesempatan bermaksiat kepada Allah. Semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan di tahun mendatang.