Agama dan Konflik Sosial

Agama dan Konflik Sosial

Tak ada kekuatan yang lebih besar dari agama yang mendorong seseorang untuk menciptakan perdamaian dan peradaban. Sebaliknya, tak ada kekuatan yang melebihi agama yang mampu mengantarkan seseorang untuk melakukan peperangan dan rela mengurbankan nyawanya.

Demikianlah, agama memiliki kekuatan paradoksal ketika tampil dalam panggung sejarah. Sejarah mencatat, para nabi pembawa agama adalah para pejuang peradaban dan pencerah zaman yang mampu memikat umatnya tanpa janji-janji jabatan, kekuasaan dan imbalan materi. Para pengikutnya dengan setia dan militan menjaga dan menyebarkan ajarannya sehingga agama tak pernah lenyap dalam sejarah sekali pun menghadapi musuh yang hendak memadamkannya. Sampai-sampai muncul ungkapan, agama punya seribu nyawa. Sejarah juga mencatat, konflik yang muncul tidak selalu antar kekuatan agama melawan kekuatan anti-agama, melainkan yang sengit adalah konflik dan perang antara sesama pemeluk agama yang berbeda keyakinan dan juga intra-umat beragama sendiri karena berbeda faham dan mazhab.

Bagaikan Sungai Panjang

Pada tataran metafisik, agama diyakini bagaikan sungai yang mengalir sepanjang sejarah manusia, bersumber dari mata air yang satu dan sama. Sosok para nabi itu merupakan penyambung dan pemancar sungai mata air peradaban sehingga terjadi estafet, sambung menyambung dari nabi yang satu ke nabi berikutnya, mengalir melewati landskap perkampungan sejarah yang berbeda ruang dan waktu, sehingga sungai agama itu oleh penduduk setempat diberi nama yang berbeda-beda. Bisa jadi di permukaannya sungai itu telah bercampur dengan sampah dan benda-benda lain yang masuk ke dalam sungai, namun inti airnya tetap sama dan jernih. Dalam perjalanan sejarahnya, sungai yang satu tadi lalu tampil dalam bentuknya yang plural karena sosok para nabi itu adalah makhluk historis yang lahir, tumbuh dan menyampaikan wahyu Tuhan dengan bahasa yang berbeda-beda, mengingat umatnya juga berbeda bahasa, bangsa dan problem yang dihadapinya.

Ibarat sungai, wajah dan gerak sebuah agama tidak selalu sama. Ada sungai yang airnya jernih, mengalir tenang,indah dipandang, dan menjadi pusat bermain penduduk sekitar. Sungai yang jernih dan lingkungannya ditata apik ketika melintasi sebuah kota kadang disebut bagaikan kalung mutiara yang mempercantik kotanya. Sebaliknya, sungai yang kotor dan bahkan menjadi langganan banjir, kehadirannya sungai membuat gaduh warga. Begitulah, ada penggalan-penggalan perjalanan agama yang tampil bagaikan sungai yang jernih mendatangkan kesuburan dan keindahan bagi lingkungannya, namun adakalanya geliat agama bagaikan banjir yang membuat berisik dan merusak bangunan di sekitarnya.

Radikalisme Agama

Agama menyimpan kekuatan radikal. Kalau tidak, agama tak akan mampu menciptakan perubahan sejarah, bahkan akan mati ditelan sejarah. Karena memimpin sebuah gerakan pemikiran radikal, maka semua nabi pembawa agama selalu dihadang musuh. Musa dikejar Fir’aun sampai menyeberang laut merah, Yesus dikejar-kejar penguasa Romawi sampai berakhir di tiang salib, Muhammad hendak di bunuh lalu hijrah ke Madinah. Budha Gautama pun berbuat radikal meninggalkan kemewahan istana lalu memilih jalan derita.

Radikalisme para nabi itu dalam rangka menawarkan jalan terang untuk mengangkat derajat manusia, sebuah kehidupan yang beradab agar masyarakat berada di jalan yang benar, baik, indah dan damai. Mereka menjumpai umatnya dengan kekuatan budi pekerti, menjelaskan kebenaran agama dengan kekuatan argumentasi, dan mengetuk hati umatnya dengan cinta kasih dan kelembutan sikap. Demikianlah, citra dan cerita para nabi selalu mengundang kekaguman akhlaknya, kebenaran turut katanya, kelembutan hatinya, serta ketegasan sikapnya ketika melihat kezaliman.

Semua agama pada awalnya selalu memihak pada orang-orang lemah yang terzalimi. Namun ketika gerakan agama terlembagakan dan memperoleh dukungan militan dan massiv dari para pemeluknya, agama lalu menjadi kekuatan politik yang efektif untuk melakukan rekayasa sosial. Pertanyaannya, siapa yang memegang kendali piramida kekuatan politik agama, dan untuk kepentingan apa gerakan agama diarahkan.

Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Kompas, 3 Des 2020. (mf)