68 Tahun UIN Jakarta: Mengingat Jejak Kepemimpinan 14 Rektor 

68 Tahun UIN Jakarta: Mengingat Jejak Kepemimpinan 14 Rektor 

UIN Jakarta - Berita UIN Online — Sejak berdiri sebagai Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di 1 Juni 1957 hingga bertransformasi jadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta , tidak lepas dari sosok-sosok pimpinan visioner yang menduduki jabatan sebagai rektor. Selain berperan sebagai motor pengembangan kelembagaan kampus, mereka sejatinya merupakan intelektual yang telah berperan penting dalam mendorong pembaruan, implementasi nilai keislaman dan keindonesiaan, serta inisiatif pengembangan kampus Islam di tanah air. 

Sebagai bagian dari peringatan 68 Tahun ADIA/IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tim jurnalis Pusat Informasi & Humas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mencoba menghadirkan kembali profil ke-14 rektor dari masa ke masa. Berikut reportase yang berhasil dihimpun para Jurnalis berikut ini.

Nama paling pertama kehadiran kampus ini adalah Prof. Dr. Mahmud Yunus (1957–1960). Ulama pelopor pendidikan Islam modern yang menamatkan pendidikannya dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo, Mesir ini merupakan pimpinan pertama kampus ini. 

Profesor Mahmud Yunus ditunjuk sebagai pimpinan saat kampus ini baru didirikan dengan nama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Dengan pengalaman studi dan karir keilmuannya, Mahmud Yunus telah menetapkan fondasi penting kampus pengembangan kampus ini. 

Sebagai cendekiawan muslim di era awal, Profesor Mahmud Yunus juga mencatatkan kontribusi keilmuan signifikan bagi pengembangan pendidikan agama Islam dalam satuan kurikulum nasional. Puluhan karya ditulisnya untuk mengisi kebutuhan literasi keislaman generasi muda Islam Indonesia, bahkan beberapa diantaranya masih dirujuk dan digunakan seperti Tafsir Qur'an Karim dan Kamus Arab-Indonesia.

Saat ADIA dilebur sebagai bagian dari PTAIN al-Jamiah di tahun 1960-an, kampus ini tercatat memiliki rektor berlatar belakang tokoh pergerakan kemerdekaan sekaligus diplomat ulung, Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo (1960–1963). Tokoh penting yang ambil bagian dari Sumpah Pemuda 1928 dan Konferensi Asia Afrika ini menghadirkan semangat kebangsaan ke dalam perguruan tinggi Islam yang baru. 

Sebelum menjadi rektor, peraih gelar Meester in de Rechten (Mr) di bidang hukum dari Universitas Leiden ini menduduki sejumlah jabatan penting seperti Menteri Luar Negeri RI (1953-1955) dan Duta Besar RI untuk Inggris (1956-1961). Dengan pengalamannya ini, Mr. Sunaryo berhasil menanamkan nilai kosmopolitanisme dalam tubuh IAIN sejak awal berdirinya.

Namun penyatuan kedua perguruan tinggi ini tidak lama. Pemerintah memutuskan pemisahan kembali PTKIN berdasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1963. Selanjutnya, Menteri Agama RI menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 1963 tertanggal 25 Februari 1963 untuk menetapkan nama masing-masing menjadi IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatulah di Jakarta berdasar. 

Sejalan dengan itu, Prof. Drs. Soenardjo Abu Ngusman, seorang tokoh nasional sarat pengalaman ditunjuk memimpin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1963-1969). Sejatinya, Profesor Soenardjo merupakan guru besar ekonomi yang turut membidani lahirnya Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. 

Sebelum ditunjuk menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Profesor Soenardjo pernah dipercaya menduduki sejumlah posisi penting di pemerintahan. Sepanjang tahun 1957-1958, ia ditunjuk menjadi Menteri Perdagangan RI, lalu dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Brasil. Dengan latar belakang keilmuan dan pengalamannya, Profesor Soenardjo menghadirkan karakter kepemimpinan yang tulus dan egaliter dalam membangun fondasi awal IAIN.

Selepas Profesor Soenardjo, tampuk kepemimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta diemban oleh Prof. Dr. Bustami Abdul Gani (1969–1970), seorang cendekiawan Muslim yang memiliki kepakaran di bidang tafsir dan Bahasa Arab. Profesor Bustami Abdul Gani dikenal atas perannya yang menekankan pentingnya penguatan kurikulum keislaman di tengah transformasi pendidikan tinggi Islam.

Sebelumnya, Profesor Bustami Abdul Gani merupakan Dekan Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lulusan dari madrasah dan perguruan tinggi Timur Tengah (Arab Saudi dan Mesir) ini berpengalaman dalam mengembangkan sejumlah lembaga pendidikan dengan memulai karirnya sebagai guru dan pimpinain Madrasah Normal Islam Padang, menidirkan Kulliyat ad-Diyanah di Bukittinggi, mendirikan SMA Islam Bukittinggi, dan Sekolah Dar al-Hikmah Bukittinggi.

Setelah Profesor Bustami Abdul Gani, menyelesaikan tugasnya, kepemimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilanjutkan Prof. Dr. Mohammad Toha Yahya Omar (1970–1973). Meski masa kepemimpinannya singkat, namun Profesor Toha Yahya Omar turut mengawal keberlangsungan akademik IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan sangat signifikan. Di masanya, Profesor Toha Yahya Omar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menginisiasi pendirian sesuai dengan kebutuhan zaman.

Di awal tahun 1972, Profesor Toha Yahya Umar membentuk Panitia Pembangunan Gedung Madrasaha Komprehensif. Lalu di bulan Juni tahun yang sama, bertepatan dengan Lustrum III IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, peletakkan batu pertama oleh Menteri Agama RI Prof. H.A. Mukti Ali dan Rektor Toha Yahya Umar dilakukan untuk menandai pembangunan gedung madrasah. Selanjutnya di 17 November 1973, gedung madrasah selesai dibangun dan diserahterimakan dari Pimpinan Bagian Proyek Pembinaan Bantuan untuk Madrasah Swasta DKI Jakarta ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Memasuki era baru kepemimpinan, Prof. Dr. Harun Nasution tampil sebagai sosok yang membawa transformasi fundamental dalam pemikiran keislaman di kampus. Sebagai intelektual rasionalis terkemuka, Harun Nasution membawa angin segar pembaruan pemikiran Islam yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Kepemimpinan Profesor Harun Nasution ditandai dengan pengenalan pendekatan rasional dalam memahami Islam. Karya monumentalnya seperti "Islam Rasional" menjadi landasan bagi gerakan intelektual kampus yang pengaruhnya masih terasa hingga kini. Ia memperkenalkan metodologi berpikir kritis dalam studi keislaman, mendorong mahasiswa dan dosen untuk tidak sekedar menghafal teks, tetapi memahami konteks dan relevansinya.

Periode kepemimpinannya yang relatif panjang memungkinkan Profesor Harun Nasution untuk menanamkan tradisi akademik yang solid. Ia berhasil menciptakan atmosfer intelektual yang dinamis, dimana diskusi dan perdebatan ilmiah menjadi bagian integral dari kehidupan kampus. Warisan pemikirannya tentang Islam rasional dan moderat terus menginspirasi generasi akademisi Muslim Indonesia.

Di era Orde Baru yang penuh tantangan politik, Prof. Drs. Ahmad Syadali, M.A. tampil sebagai pemimpin yang mampu membangun jembatan komunikasi antara dunia akademik Islam dan kebijakan negara. Kepemimpinannya ditandai dengan kemampuan membangun hubungan harmonis antara umat Islam dan negara, sebuah pencapaian yang tidak mudah di masa itu.

Ahmad Syadali membawa IAIN dalam era stabilisasi dan pembangunan, sejalan dengan semangat pembangunan nasional yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah. Ia memahami betul pentingnya posisi strategis IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri dalam konteks pembangunan bangsa.

Selama masa kepemimpinannya, Profesor Ahmad Syadali berhasil menjaga keseimbangan antara pengembangan keilmuan Islam dan kepentingan nasional. Ia memastikan bahwa IAIN tidak hanya menjadi menara gading akademik, tetapi juga kontributor aktif dalam pembangunan karakter bangsa. Kepemimpinannya yang diplomatik dan bijaksana membantu memperkuat posisi dan reputasi IAIN di mata pemerintah dan masyarakat luas.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. (1992–1998), pakar tafsir terkemuka ini menjadikan IAIN sebagai pusat studi Al-Qur’an. Kepemimpinannya dikenal karena pendekatan kontekstual dan moderat dalam memahami Islam.

Kepemimpinan Prof. Dr. M. Quraish Shihab menandai babak baru dalam pengembangan studi Al-Qur'an dan tafsir di Indonesia. Pakar tafsir terkemuka ini menjadikan IAIN sebagai pusat studi Al-Qur'an yang diakui tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional.

Kepemimpinan Profesor Quraish Shihab dikenal karena pendekatan kontekstual dan moderat dalam memahami Islam. Ia memperkenalkan metodologi tafsir yang mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan kultural dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Pendekatan ini memberikan pencerahan baru bagi para akademisi dan mahasiswa dalam memahami ajaran Islam secara lebih komprehensif dan relevan.

Di bawah kepemimpinannya, IAIN mengalami penguatan signifikan dalam bidang studi Qur'anik. Ia mendorong pengembangan program-program studi yang fokus pada kajian Al-Qur'an dan Hadis dengan standar akademik yang tinggi. Karya-karya tafsirnya seperti "Tafsir Al-Misbah" menjadi rujukan penting bagi umat Islam Indonesia dan menunjukkan kualitas akademik yang dihasilkan IAIN di masa kepemimpinannya.

Dalam periode transisi yang singkat namun krusial, Prof. Dr. Ahmad Sukardja, M.A. dipercaya memimpin IAIN sebagai pejabat rektor. Sebagai akademisi sekaligus Hakim Agung, Ahmad Sukardja membawa kredibilitas dan integritas yang tinggi dalam kepemimpinannya yang singkat.

Meski hanya memimpin sementara, periode kepemimpinan Profesor Ahmad Sukardja ditandai dengan stabilitas dan kontinuitas. Pengalaman gandanya sebagai akademisi dan praktisi hukum memungkinkannya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan akademik dan tuntutan regulasi. Integritas dan kecendekiawanannya mewarnai kepemimpinan singkat yang memastikan IAIN tetap berada pada jalur yang benar di masa transisi.

Kepemimpinan transisionalnya menjadi jembatan penting antara era sebelumnya dan transformasi besar yang akan datang. Ia berhasil menjaga stabilitas institusi sambil mempersiapkan pondasi untuk perubahan-perubahan strategis yang akan dilakukan oleh penggantinya.

Transformator Sejati dari IAIN ke UIN, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., M.A. adalah sosok transformator sejati dalam sejarah institusi ini. Di bawah kepemimpinannya yang visioner, IAIN resmi beralih menjadi UIN pada tahun 2002, sebuah lompatan transformatif yang mengubah wajah pendidikan tinggi Islam di Indonesia.

Profesor Azyumardi Azra menjadikan UIN Jakarta sebagai pelopor integrasi ilmu keislaman dan ilmu modern di Indonesia. Visinya tentang "integrasi keilmuan" tidak sekadar slogan, tetapi diwujudkan dalam kurikulum, program studi, dan atmosfer akademik yang menggabungkan tradisi keilmuan Islam dengan perkembangan sains modern.

Transformasi dari IAIN ke UIN di bawah kepemimpinannya bukan hanya perubahan nama, tetapi revolusi paradigma pendidikan tinggi Islam. Ia memperkenalkan fakultas-fakultas umum seperti Kedokteran, Psikologi, dan Sains Teknologi, yang terintegrasi dengan nilai-nilai keislaman. Kepemimpinannya yang panjang memungkinkan transformasi ini berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.

Sebagai sejarawan dan intelektual publik, Profesor Azyumardi Azra juga aktif dalam diskursus keislaman nasional dan internasional. Reputasinya yang mendunia turut mengangkat nama dan prestise UIN Jakarta di kancah global.

Filsuf Islam dan Intelektual Publik, Kepemimpinan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., Ph.D. membawa UIN Jakarta ke level yang lebih tinggi dalam panggung nasional dan internasional. Sebagai filsuf Islam dan intelektual publik terkemuka, ia memperkuat posisi UIN sebagai pusat pemikiran Islam yang progresif dan relevan.

Profesor Komaruddin Hidayat dikenal dengan gagasan-gagasannya yang banyak mewarnai wacana keislaman kontemporer. Pemikirannya tentang dialog antar-agama, pluralisme, dan modernitas Islam memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan pemikiran Islam Indonesia yang moderat dan inklusif.

Di bawah kepemimpinannya, UIN Jakarta semakin dikenal sebagai institusi yang menghasilkan pemikir-pemikir Islam berkualitas. Ia mendorong pengembangan riset interdisipliner yang menggabungkan metodologi keilmuan Islam dengan pendekatan akademik modern. Program-program internasional dan kerjasama dengan universitas-universitas terkemuka dunia semakin diperkuat.

Kepribadiannya yang karismatik dan pemikirannya yang mendalam menjadikan Profesor Komaruddin Hidayat sebagai figur yang dihormati tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di masyarakat luas. Kontribusinya dalam media massa dan forum-forum publik membantu meningkatkan visibilitas dan reputasi UIN Jakarta.

Birokrat Akademik dan Pemikir Pendidikan, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. membawa pengalaman yang kaya sebagai birokrat akademik dan pemikir pendidikan ke dalam kepemimpinannya di UIN Jakarta. Fokus utama kepemimpinannya adalah penguatan manajemen akademik dan transformasi kelembagaan kampus untuk menghadapi tantangan pendidikan tinggi modern.

Sebagai seorang yang memahami betul seluk-beluk birokrasi pendidikan, Profesor Dede Rosyada menekankan pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan institusi. Ia memimpin berbagai reformasi administratif dan akademik yang bertujuan meningkatkan kualitas layanan dan kinerja kampus.

Di masa kepemimpinannya, UIN Jakarta mengalami berbagai perbaikan dalam sistem informasi akademik, standar operasional prosedur, dan mekanisme penjaminan mutu. Ia juga mendorong pengembangan sumber daya manusia melalui berbagai program pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi dosen dan tenaga kependidikan.

Pemahaman Profesor Dede Rosyada tentang dinamika pendidikan nasional dan internasional membuatnya mampu memposisikan UIN Jakarta secara strategis dalam perkembangan pendidikan tinggi Indonesia. Kepemimpinannya yang fokus pada aspek manajerial memberikan fondasi yang kuat bagi pengembangan UIN ke depan.

Pelopor Kepemimpinan Perempuan Muslim, Prof. Dr. Amany Lubis, Lc., M.A. mencatatkan sejarah sebagai rektor perempuan pertama UIN Jakarta dan bahkan PTKIN di Indonesia. Kehadirannya menjadi simbol kemajuan peran perempuan dalam kepemimpinan Islam dan membuka paradigma baru tentang kepemimpinan akademik di lingkungan pendidikan tinggi Islam.

Sebagai sarjana yang menguasai bahasa Arab dan memiliki pemahaman mendalam tentang studi Islam, Profesor Amany Lubis membawa perspektif yang fresh dan inklusif dalam kepemimpinannya. Ia aktif di berbagai forum internasional dan berhasil mendorong inklusivitas kampus dalam berbagai aspek.

Kepemimpinannya ditandai dengan penguatan program-program yang mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Ia juga mendorong pengembangan kajian-kajian Islam yang sensitif gender dan memperhatikan isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan peran perempuan dalam Islam.

Di tingkat internasional, Profesor Amany Lubis aktif dalam berbagai organisasi dan forum akademik yang memperkuat posisi UIN Jakarta di kancah global. Kepemimpinannya yang inspiratif membuktikan bahwa perempuan mampu memimpin institusi pendidikan tinggi Islam dengan cemerlang.

Akademisi Internal Menuju Universitas Riset Kelas Dunia, Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. adalah sosok akademisi yang tumbuh dan berkembang dari dalam UIN Jakarta. Sebagai "anak kandung" institusi ini, ia memahami betul DNA, kultur, dan potensi UIN Jakarta untuk berkembang menjadi universitas riset kelas dunia.

Kepemimpinannya saat ini mengemban amanah besar untuk membawa UIN Jakarta menuju universitas riset kelas dunia dengan visi moderasi dan integrasi ilmu. Profesor Asep memiliki pemahaman yang mendalam tentang tantangan dan peluang yang dihadapi UIN Jakarta di era global yang penuh persaingan.

Dengan latar belakang akademik yang solid dan pengalaman penelitian internasional, ia mendorong penguatan riset-riset berkualitas yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan. Visinya tentang moderasi Islam sejalan dengan kebutuhan dunia akan pemahaman Islam yang damai dan toleran.

Program-program strategis yang diinisiasinya fokus pada penguatan kapasitas riset, peningkatan kualitas publikasi internasional, dan pengembangan inovasi yang berkelanjutan. Kepemimpinannya yang masih berlangsung diharapkan dapat membawa UIN Jakarta mencapai posisi yang lebih tinggi dalam ranking universitas dunia.

Perjalanan panjang UIN Jakarta hingga kini tak lepas dari kontribusi 14 rektor yang masing-masing memberi warna dan arah. Dari tokoh perjuangan, akademisi moderat, hingga pemimpin transformasional, mereka semua membentuk mozaik sejarah yang terus tumbuh dan membanggakan. UIN Jakarta hari ini adalah hasil dari visi, dedikasi, dan perjuangan mereka sebuah kampus Islam negeri yang berakar kuat, menjulang tinggi.

(Rizkiyah Gustiana N./Zaenal M. /Fauziah M./Syarifah Nur K./Foto: PIH)

Tag :