Semangat Bekerja Pada Bulan Puasa

Semangat Bekerja Pada Bulan Puasa

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara psiko-religius, puasa bisa memicu semangat bekerja. Tips ini diberikan oleh Nabi. Pertama, puasa agar dapat memacu semangat bekerja harus dilakukan dengan penuh keimanan. Kedua, puasa agar dapat memicu semangat bekerja harus ditunaikan dengan penuh ihtisaban. Kedua tips ini terkandung dalam sabda beliau, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisaban, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari).

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari yang dimaksud dengan “keimanan” adalah keyakinan bahwa puasa benar sebagai perintah Allah. Seperti ditegaskan Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah/2: 183). Artinya puasa adalah titah yang datang langsung dari Allah yang harus dilaksanakan dalam keadaan apapun.

Bagi orang yang beriman, puasa tidak lagi terasa lapar dan dahaga. Karena rasa lapar dan dahaga kalah hebat dengan keseriusan memenuhi perintah Allah. Orang beriman konsisten menjaga puasanya agar tidak ada celah kurang baik dari perkara yang sunah apalagi yang wajib. Begitu pula puasa sambil bekerja, lelahnya bekerja terkalahkan oleh rasa “takut” dalam menjalankan perintah Allah. Terutama menjaga mulu, perut, dan yang di bawah perut.

Gambaran kondisi psikologis ini seperti seorang rakyat jelata yang dipanggil sang raja ke istana dalam keadaan lapar. Kendati dari rumah ia belum mengunyam apa-apa, namun sesampainya di istana sang raja yang dirasakannya bukan lagi lapar dan dahaga, tetapi rasa “takut” kepada sang raja. Rasa inilah yang mengalahkan lelah dan lemas dan berbalik menjadi sebuah semangat dan kekuatan. Begitu juga puasa Ramadhan sebagai amar Allah.

Tentang tips kedua agar puasa bisa meningkatkan semangat dan produktivitas kerja adalah ihtisaban. Kata “ihtisaban”, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari adalah “azimatan” yang dalam bahasa kita searti dengan “ketetapan hati”, “kemauan kuat”, dan “tekad bulat”. Dengan demikian, secara leksikal, dapat dipahami puasa yang dilakukan dengan “ihtisiban” akan memicu “ketetapan hati”, “kemauan kuat”, dan “tekad bulat” untuk bekerja.

Namun sebenarnya motivasi tertinggi “ihtisaban” itu sendiri bukan pada “ketetapan hati”, “kemauan kuat”, dan “tekad bulat” itu saja, tapi pada rasa ingin menggapai pahala dari Allah. Maksudnya, orang beriman yang berpuasa Ramadhan dengan “ihtisaban”, tidak hanya mampu meningkatkan semangat dan produktivitas kerja di dunia tapi juga akan mendapatkan pahala di sisi Allah berupa surga. Apalagi memang dosanya telah diampuni Allah.

Secara psikologis, lanjut Ibnu Hajar, puasa yang dijalankan secara “ihtisaban” tidak terasa berat. Rasa lapar dan dahaga tidak menimbulkan lelah dan lemas. Alasannya, karena terbayang akan ampunan Allah dan surga yang dijanjikan yang dimasuki oleh orang yang berpuasa melalui pintu al-Rayyan. Menariknya, menurut Ibnu Hajar, puasa yang dilakukan secara “ihtisaban”, hari yang dilalui tidak terasa panjang.

Kondisi psikologis di atas sejalan dengan fakta historis. Sejumlah peristiwa akbar umat Islam terjadi pada saat mereka sedang berpuasa. Pertama, Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah. Kedua, Fathu Mekah atau penaklukan Mekah yang gilang-gemilang yang terjadi pada hari Jumat 20 Ramadhan tahun 8 Hijrah. Allah tegaskan, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (QS. al-Fath/48: 1).

Ketiga, pada 25 Ramadhan tahun 8 Hijrah, Khalid bin Walid menghancurkan rumah berhala Uzza di Nakhlah. Menurut Wahbab al-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islam, Nabi mengirim pasukan kecil untuk menghancurkan semua berhala. Keempat, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan-Nihayah, mencatat pada Ramadhan tahun 9 Hijrah berhala Lata dihancurkan setelah utusan suku Tsaqif menghadap Nabi untuk masuk Islam.(sam)