Malu Kepada Allah
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Al-Sya’rani dalam Al-Minahus Saniyah mengutip hadits Nabi, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya”. Para sahabat menjawab, “Alhamduilllah, kami senantiasa malu Ya Rasulullah”.
Nabi meluruskan, “Bukan seperti itu (maksudku). Namun, barangsiapa yang malu kepada Allah hendaknya ia menjaga kepala dan apa yang dipanggulnya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, hendaklah ia ingat mati dan bahayanya. Barangsiapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan kehidupan dunia. Barangsiapa yang telah melakukan semua itu, sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya”.
Indikator malu kepada Allah yang pertama di atas, yakni menjaga kepala dan apa yang dipanggulnya memberi petunjuk agar manusia menjaga mata, telinga, dan mulut. Orang yang memiliki rasa malu menjaga matanya dari melihat yang dosa. Allah tegaskan, “Katakanlah kepada orang yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Y ang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. al-Nur/24: 30).
Sementara telinga adalah nikmat pendengaran yang harus disyukuri, salah satu caranya adalah mendengar yang dapat membuat Allah ridha. Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. al-Nahl/16: 78).
Dalam etika komunikasi sosial, Nabi mewanti-wanti, “Barangsiapa yang menguping pembicaraan suatu kaum, sementara mereka membenci hal itu atau lari darinya (agar tidak didengar orang lain), niscaya akan dituangkan timah panas ke telinganya di hari kiamat” (HR. Bukhari). Untuk itu, Allah menyeru, “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggung jawaban)” (QS. al-Israa/17: 36).
Berikutnya, termasuk orang yang malu kepada Allah adalah orang yang menjaga mulut. Allah berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (QS. al-Ahzab/33: 70).
Dalam lanskap sosial kehidupan Nabi, satu hari beliau berseloroh kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau berujar, “Ghibah ialah kaian menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka”. Ada yang bertanya, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya” (HR. Muslim).
Indikator orang yang malu kepada Allah yang kedua, adalah orang menjaga perut dari makanan dan minuman yang haram. Sebab resikonya berujung neraka. Nabi berpesan, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram” (HR. Ibnu Hibban). Untuk itu, seperti apapun sulitnya hari ini memperoleh sembako murah, tetap harus mencari dengan cara yang halal. Allah berpesan, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. al-Maidah/5: 88).
Tentang malu kepada Allah yang ketiga, adalah ingat mati dan huru hara sesudah kematian. Orang yang ingat mati pasti malu kepada Allah untuk berbuat dosa. Alasannya, karena hidup itu adalah anugerah Allah yang harus disyukuri dengan berbuat baik.
Secara sufistik-filosofis, minimal ada tiga argumen yang melandasi manusia harus malu kepada Allah, sebagaimana diungkap Nabi. Pertama, “Malu adalah cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan” (HR. Bukhari). Ketiga, “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan” (HR. Muslim).
Sementara dalam sudut pandang yang sama, rasa malu itu berpijak pada argumen sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Pertama, “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. al-Alaq/96: 14). Kedua, “Sesungguhnya Allah mengawasi kalian” (QS. al-Nisaa/4: 1). Ketiga, “Dan Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan” (QS. al-Baqarah/2: 265).(sam)