CUPAR

CUPAR

KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA

Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”

Saya mendengar kata cupar dari emak saya. Emak saya bilang, cupar adalah orang lanang yang sering main di dapur. Misalnya, nyingkap dandang, ngelongok panci, membuka kukusan, goreng ikan, nulak api, ngangi nasi di pane, ngaronin beras, atau sekadar wara-wiri di dapur. Intinya, orang wadon tidak ingin terganggu dengan kehadiran laki-laki di tengah kesibukan mereka memasak. Sebab laki-laki tugasnya ngampak kayu di latar atau menangkap ikan di empang. Atau menimba koya. Koya adalah comberan mirip empang di belakang rumah yang menampung limbah air.

Cupar mungkin terjadi karena ketatnya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Seingat saya hanya pekerjaan nandur, matun, dan motong pandi yang dikerjakan perempuan. Mulai menggarap lahan yang disebit babad dan ngored, mencangkul, dan ngeluku (membajak sawah) dikerjakan laki-laki. Untuk pekerjaan berat dan kasar lainnya, tidak melibatkan perempuan. Jadi saya melihat perkataan cupar muncul, agar laki-laki bergiat pada pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar. Namun membuat kue seperti dodol, orang Betawi Depok malah melibatkan laki-laki. Istilahnya untuk "ngaduk".

Selain itu juga, istilah cupar muncul karena memang perilaku laki-laki yang tidak pandai menghemat saat masuk. Pertama, menghemat kayu bakar. Luweng yang terdiri dari tiga tungku, oleh perempuan tidak dibiarkan kosong. Tungku paling depan untuk dandang lengkap dengan kukusan pemasak nasi. Tungku tengah panci yang berisi sayur. Tungku paling belakang yang apinya paling kecil untuk garang ikan tembang dengan alas genteng. Cara seperti ini butuh kebiasaan. Oleh karena itu, yang bisa melakukannya adalah kaum perempuan yang sudah akrab dengan luweng dan kayu bakar.

Laki-laki dianggap cupar main di dapur karena dianggap kalau masak, merek emos minyak. Maksudnya minyak goreng. Padahal perempuan kalau memasak, selagi masih ada minyak jelanta, maka itu yang dipakai. Kendati memakai minyak baru, sisa minyak itu disimpan agar bisa dipakai lagi. Pada masa saya kecil, tidak ada minyak goreng yang dijual literan seperti sekarang. Namanya pun bukan minyak goreng, tapi minyak kelapa. Mungkin terbuat dari kopra. Jenis minyak paling sehat di dunia. Bukan minyak dari kelapa sawit sepert yang dikenal kini. Kopra adalah kelapa yang dikeringkan yang banyak diekspor ke luar negeri untuk menambah devisa.

Pada saat saya kecil, minyak kelapa dijajakan di kampung-kampung. Yang dagang orang sunda dengan cara dipikul. Orang-orang menyebutnya tukang minyak. Saya memanggilnya, "akang". Ada dua kaleng minyak yang dipikulnya. Yang menarik saya, pikulannya melengkung, licin, terbuat dari bambu. Begitu juga tempat minyaknya, rapi dan bundar. Terbuat dari pelat besi. Namun yang paling membuat saya terkesan adalah alat untuk "nyerog" minyak yang terbuat dari batok kelapa yang disebut canting. Dengan canting itulah botol-botol pelanggan diisi minyak. Mereka beli tidak banyak.

Rata-rata orang kampung hanya mampu membeli dua atau tiga canting saja. Seperti sabun cuci "B29" yang berwarna hijau muda dan berbentuk bata, orang kampung ada yang bisa membelinya sebelah saja. Sabun itu dipotong dengan menggunakan benang nilon. Intinya, ibu-ibu zaman dulu. pandai betul menyesiati keadaan sulit dan terbatas. Seringkali botol bekas ditukar abu gosok untuk cuci piring. Baskom bolong ditukar bawang. Inilah kiranya yang menjadi alasan kaum perempuan merasa prihatin, khususnya untuk urusan dapur. Dari keadaan ini pula mereka menyebut laki-laki dengan cupar bagi yang mujag-majig di dapur.

Seiring situasi yang berubah, tak banyak orang yang ingat lagi dengar kata cupar ini. Padahal cupar mengandung kearifan lokal dalam konteks pembagian kerja dan menghemat bahan masakan, kayu bakar, dan barang-barang bekas yang umumnya itu dilakoni kaum perempuan. Pada masa lalu, saya bisa menandai bekas baba saya masak dengan bekas emak saya masak di dapur. Hari ini, saya tahu sendiri bekas saya masak dengan bekas istri saya masak. Bekas saya masak berantakan. Bahan masakan banyak tersisa hingga akhirnya terbuang. Itulah mengapa laki-laki yang masak di dapur disebut cupar. Saya tanya, Anda pernah disebut cupar?

Tukang nasi goreng yang rata-rata laki-laki di pinggir-pinggir jalan atau di kafe-kafe, mereka itu cupar karena berjam-jam bekerja sebagai juru masak. Begitu juga tukang ketoprak, bubur ayam, sate, bakso, soto yang mayoritas laki-laki. Mereka cupar juga. Masakan laki-laki hari ini tidak kalah nikmat dengan perempuan. Tidak keasaman atau keasinan. Pun mereka tidak emos minyak goreng, tidak emos gas. Bahkan tukang gorengan yang didominasi laki-laki, memakai berkali-kali minyak goreng yang mulai menghitam. Alhamdulillah saat ini minyak goreng sedang disubsidi pemerintah. Harganya berkisar 14.000-an.

Cupar memang tidak ada yang mengatakan lagi. Apalagi televisi sering menampilkan juru masak profesional, baik koki maupin chef. Kedua posisi ini banyak diisi laki-laki. Bahkan didominasi laki-laki. Sebenarnya chef beda dengan koki. Chef itu ada sekolahnya. Paling sebentar dua tahun. Di restoran berperan sebagai supervisor dan manajer. Umumnya laki-laki sangat bangga dipanggil chef, beda jika dipanggil koki. Sebab koki masih bertugas mencuci piring, selain memasak di dapur. Koki juga bukan bertugas mengarahkan, dia diberi arahan oleh manajer restoran. Persamaannya chef dan koki adalah kedua profesi ini oleh orang zaman dulu sama-sama cupar. Tapi nyatanya kini tidak lagi. Saat chef laki-laki tampil di televisi, dia malah diberi aplus.(sam)