NGELANCONG
KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA
Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”Bagi orang Betawi Depok ngelancong kendati berasal dari derivasi yang sama dengan melancong, tapi memiliki makna yang berbeda. Bagi saya ngelancong itu bukan pelesiran dan melakukan perjalanan sebagai turis lokal atau internasional. Ngelancong bagi saya dan orang zaman dulu adalah wakuncar alias waktu kunjung pacar yang umumnya pada malam minggu.
Ngelancong ada yang internal di kampung sendiri ada yang antarkampung. Misalnya, anak Parung Bingung ngelancong ke Sawangan atau Cinangka itu disebut antarkampung, kendati sebenarnya beda kecamatan sejak dahulu kala. Jejak ngelancong itu masih terlihat hingga kini. Banyak orang yang ayahnya orang Parung Bingung, ibunya orang Sawangan.
Contohnya, baba saya beristri orang Sawangan. Mamang saya. Tetangga saya, dan seterusnya yang kalau disebutkan terlalu panjang. Ada juga yang sebaliknya, pemuda Sawangan yang ngelancong ke Parung Bingung kemudian memperistri gadis tersebut. Kalau diteliti lebih lanjut, ada banyak pemuda Parung Bingung yang juga beristri cewek Rawadenok, Mampang, Meruyung, Bojongsari. Pun sebaliknya.
Bagi yang ngelancong antarkampung, mula-mula dilakukan secara bergerombol. Tapi yang lain hanya mengantar. Baru kemudian jika ada gadis lain di kampung itu, masing-masing menuju "dedemenan" mereka. Maka tak heran kalau hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan, ada sejumlah pasangan berasal dari dua kampung yang sama. Persaudaraan antarkampung jadi kian erat.
Perkenalan awal di antara mereka bermacam-macam. Pertama, karena ada keluarga atau saudara di kampung itu. Kedua, karena bekerja sebagai pedagang keliling, kuli bangunan, atau "nyawah". Ketiga, karena mengantar teman, seperti telah disinggung di atas. Keempat, ketemu di tempat orang keriaan, baik layar tancep, orkes, dan lenong. Namun jarang sekali yang ketemu di pengajian.
Kaprahnya, ngelancong antarkampung itu ngendong. Pemuda Parung Bingung ngendong di Sawangan, baik sendiri atau beramai-ramai di rumah gadis pujaannnya masing-masing. Pun sebaliknya. Namun, anak muda zaman dulu memanggul sopan santun, masih lugu, dan berakhlak baik. Mereka ngendong karena tidak berani pulang. Bukan untuk berlaku tidak senonoh dan melanggar hukum agama.
Saat ngendong, sang "gacoan" ditempatkan di bale depan rumah yang terbuat dari pelupuh dan bertikar pandan. Pada masa itu, hampir semua rumah orang Betawi Depok ada bale di depan rumahnya, baik rumah rombeng atau rumah gedong. Malam sebelum tidur, sang gacoan dikasih kain plered atau kain panjang untuk keredong. Cara memberinya, si gadis hanya menjulurkan tangan dari balik pintu. Sang gacoan menerimanya dengan sopan.
Perlu diutarakan di sini, kendati berjam-jam pemuda itu ngelancong bahkan ngendong dan pulang besok pagi, namun tidak pernah mereka duduk bebas di satu tempat hingga larut malam. Sejak datang pukul lima sore hingga pulang besok paginya, si gadis pujaan tidak keluar kamar. Si gadis ngobrol dari kamarnya, sementara sang gacoan dari luar. Suara mereka terdengar jelas karena rumah orang Betawi Depok berdinding pagar bambu yang dikapur agar tidak bolong.
Paling banter si gadis mengeluarkan kelingkingnya dengan cara melubangi pagar untuk diadu dengan kelingking sang gacoan. Dan itu dilakukan ketika mereka akan berpisah. Namun begitu keduanya sudah berasa nyundul langit. Esok paginya saat si gadis merapikan bantal, tikar, dan kain bekas kerodong, terkadang diletakkan uang sepeser atau dua peser di bawah bantal. Itu sekedar tanda sayang saja. Yang diberikan pun tidak melulu uang.(sam)