COLEK KAPUR
KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA
Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”Colek bukan sembarang colek. Bukan pula colek di Facebok dimana kalau kita mencolek teman kita muncul notifikasi dan opsi baginya untuk balas mencolek kita atau tidak. Pun kapur. Bukan kapur tulis, kapur Barus, atau Gunung Kapur. Sekadar tahu saja, Gunung Kapur di Ciseeng jadi destinasi pelesiran istimewa buat saya saat bocah. Pertama kali ke sana, saya jalan kaki bersama Firkah Fansuri yang kini wartawan Republika. Dia sendirian yang naik sepeda mini, dalam acara bersama teman-teman pada 1980-an.
Colek kapur adalah mainan berbasis karet gelang. Dimainkan di atas meja atau mendepor di tanah. Pemainnya paling sedikit berdua, paling banyak berempat. Lebih dari itu terasa sesak. Colek kapur lebih sering dimainkan oleh anak perempuan, tapi saya sendiri sering ikut main. Modalnya cuma karet gelang minimal sepuluh buah. Umumnya, teman-teman saya membawa dari rumah mereka lebih dari itu. Bahkan tak jarang bocah kala itu ada yang membawa semua karet gelang yang dimilikinya. Untuk pamer.
Cara mainnya mudah saja. Pertama-tama disepakati masangnya sarang berapa. Bisa sarang lima, sarang sepuluh. Sesuai kesepakatan saja. Setelah disepakati jumlahnya, karet gelang diampar di depan para pemain. Kadang ada anggota pemain yang memeriksa dulu kualitas karet yang dipasang. Karet rombeng dan lobeh tidak boleh dipasang. Apalagi karet yang sudah direndam di minyak tanah, yang ukurannya jumbo. Tidak kaci. Setelah dianggap bagus semua karet tersebut, permainan dimulai.
Untuk menentukan pemain yang jalan duluan, diperlukan undian dengan cara gambreng dan gamsit. Dalam permainan keleci dan koba ini disebut "pidi". Dalam gambreng untuk memulai main colek kapur, pemain hanya meletakkan telapak tangan tengkureb atau terlentang. Gambreng dilakukan paling sedikit tiga orang. Kalau dua orang meletakkan telapak tangannya tengkureb dan satu orang terlentang, maka yang seorang itu yang jalan duluan. Dua orang sisanya, dapat melalukan gamsit atau belakangan disebut dengan suwit.
Berikutnya, bagi pemain pertama, dia sudah mulai jalan (maksudnya memulai permainan). Semua karet pasangan dilempar ke udara (istilahnya diulukin) sekitar setengah meter tingginya. Hasilnya, karet berhamburan di atas meja atau di atas tanah, tergantung tempat atau media mainnya. Saat itulah pemain memilih salah satu karet yang terpisah. Karet tersebut dicutik dengan menggunakan jempol supaya menibani karena lainnya. Karet yang ditibani biasanya yang terpisah sendiri dan terdekat jaraknya dari karet yang akan dicutik.
Berikutnya setelah karet berhasil ditibani dengan cara dicutik dengan jempol, maka tibalah gilirannya irisan karet yang ditibani dan dicutik ditandai dengan kelingking hingga menyentuh meja atau tanah. Pemain harus berhenti apabila kelingkingnya menyentuh karet-karet tersebut. Maka tak boleh tidak, pemain harus memiliki kelingking yang lancip. Biasanya, bagi pemain yang mahir, kendati karet yang dicutik berhasil menindih dua karet sekaligus, ia tetap berhasil menandai karet-karet tersebut denga kelingkingnya.
Bahkan bagi pemain yang mahir semua karet tersebut berhasil ditibani dan ditandai satu persatu hingga permainan berhasil. Artinya, pemain berikutnya tidak punya kesempatan buat jalan. Untuk itu, dimulai kembali gambreng dan gamsit, lalu para pemain harus membuat pasangan baru. Begitu seterusnya, hingga permainan berakhir yang ditandai dengan berkumpulnya semua karet pada salah seorang pemain. Mereka yang kalah disebut "bures". Bagi yang penakut biasanya undur dari permainan sebelum karet yang dimilikinya bures semua. Seingat saya, main colek kapur dilakukan juga di sekolah. Saat keluar main atau istirahat.
Main colek kapur sering juga dilakukan di rumah teman usai pulang sekolah dengan cara janjian dulu. Tapi tak jarang juga main colek kapur dilakukan sebelum pengajian sore hari di rumah guru, usai mengisi padasan dan kolem. Pokoknya kemana saja, anak-anak zaman dulu membawa karet. Setiap kali ada kesempatan mereka main colek kapur. Kalau bosan main colek kapur, ada kalanya anak-anak zaman dulu main yeye. Yeye adalah mainan berbasis karet. Hanya saja untuk membuat yeye, karet harus berjumlah ratusan karena karet disambung-sambung menyerupai rantai sepanjang kira-kira tiga meter.
Zaman ketika saya kecil mulai akhir 1970 hingga akhir 1980, sepertinya karet tidak hanya diproduksi untuk alat mengikat, tapi juga untuk permainan. Memang karet saat itu bisa dibedakan dari segi besaran dan warnanya. Karet untuk permainan dibuat agak besar dan warna-warni. Ada merah, hijau, dan biru. Karet ini umumnya disebut karet gelang. Saat ini ketika main corek kapur sudah tidak populer lagi, karet diproduksi agak lebih kecil dan hanya dibuat satu warna saja. Karet jenis ini belakangan disebut dengan karet pasar. Saya tanya, Anda masih bisa main colek kapur? (sam)