GOLEL
KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA
Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”Golel jadi mainan paling seru hingga tahun 1980-an di Parung Bingung Kota Depok. Golel menghilang seiring lenyapnya padi sawah yang berubah jadi rumah. Atau hilangnya padi "tipar" yang ditanam di kebun hingga sampai jogan rumah. Menariknya, dengan hilangnya tipar dan golel, hilang juga burung "terik". Burung yang terbang bergerombol sebagai tanda dimulainya menanam padi "tipar".
Padi "tipar" yang diperkenalkan pada zaman Pak Harto, saya kenal dengan nama "gogo rancah". Padi ini ditanam di lahan tadah hujan atau lahan kering atau ladang. Sebelum menanam padi tipar, ada kegiatan seru yang disebut "manja" atau membuat lubang untuk bibit pohon padi berupa gabah. Setelah manja selesai, untuk mengurugnya, seingat saya digunakan dahan pohon yang banyak ranting dan daunnya dengan cara ditarik.
Inilah saat dulu saya dan anak-anak seusia saya naik di atasnya. Maklum di kampung. Momen apa saja dijadikan hiburan. Saya mungkin generasi terakhir di Parung Bingung yang masih mengalami "manja" padi "tipar". Untuk padi yang ditanam di sawah istilahnya bukan lagi "manja", tapi "nandur". Ada yang bilang artinya menanam mundur. Ketika padi mulai berumur bulanan, lalu dibersihkan dari rumput liar dinamakan "matun". Pekerjaan ini dilakoni ibu-ibu paruh baya.
Permainan golel dimulai setelah padi dipanen. Karena golel terbuat dari ruas/buju batang padi tua yang kokoh dan besar. Pada masa itu, tidak ada seorang anak pun di Parung Bingung yang berani mengambil batang padi yang belum dipanen oleh pemiliknya untuk dijadikan golel. Artinya, sejak kecil anak-anak Betawi diajarkan orangtua mereka untuk tidak mencuri dan merusak tanaman orang lain untuk sebuah permainan, seperti golel.
Berbeda halnya dengan perut lapar, seumpama anak yang pulang menonton layar tancap, saking laparnya beberapa buah timun atau kacang cabut mereka ambil sekadar untuk menahan lapar. Pagi hari pada saat pemilik tanaman melihat ada bekas tapak kaki di "galengan" dan "gulakan", umumnya dibilang, "paling bocah nonton". Petani tidak marah, karena diambil sekadarnya. Atau bisa jadi karena dia sendiri pernah melakukannya di kala muda.
Untuk membuat golel mudah saja. Pertama-tama ambil ruas/buku batang padi yang tidak pecah, kering, atau kempes. Kedua, gunakan pisau untuk memotongnya supaya rapi. Kalau tidak ada pisau bisa menggunakan "olad" bambu. Setelah itu "keset" salah satu bagiannnya. Bisa di atas bisa di bawah. Saya biasa keset bagian atasnya. Sementara bagian bawahnya saya potong sebelum ruas/buku di bawahnya lagi.
Setelah jadi, saya tidak langsung tiup. Namun terlebih dulu saya ambil sebilah lidi atau batang rumput. Kata abang saya, agar suaranya nyaring, harus dibacakan semacam mantra dulu. Ini dia mantranya yang saya baca sambil memasukkan lidi tadi, "Dok adok emping. Empingnya padi bulu. Disodok melenting keluar anak Pak Didu". Ini semacam nyanyian sebenarnya, bukan mantra, Sebab tidak dibacakan mantra juga, golel tetap nyaring.
Seingat saya cara meniup golel itu, bagian atas yang sudah dikeset dimasukkan ke dalam mulut. Persis seperti meniup terompet yang di dalamnya ada sebilah bambu kecil yang sudah dilubangi dan ditempel kertas. Kertas inilah yang bolak-balik saat ditiup dan membuat terompet berbunyi. Begitu juga kiranya cara kerja golel. Kulit batang padi yang hanya "dikeset" tidak sampai buntung inilah sebenarnya yang membuat golel jadi nyaring saat ditiup, bukan karena mantra.
Usai main golel yang tidak terlalu lama, saya saat itu melanjutkannya dengan main "umpet-umpetan" di balik jerami. Capek dengan itu semua, semua kegiatan ditutup dengan mandi di kali. Tapi tidak menggunakan "sabun wangi". Kegiatan berikutnya, saya dan teman-teman mendatangi guru mengaji. Sebelum manggrib ada kalanya kami "nimba" untuk mengisi bak mandi raksasa yang disebut "kolem". Begitu kira-kira keceriaan anak Betawi, (sam)