Mendalami Dinamika Representasi Gender dalam Konsep Dramaturgi di Media Sosial
Di era digital, media sosial telah menjadi panggung utama untuk mengekspresikan diri. Dari sekadar berbagi foto hingga menyampaikan pendapat, lalu setiap postingan yang mencerminkan siapa kita, atau setidaknya, siapa yang ingin kita tampilkan. Menariknya, cara laki-laki dan perempuan menampilkan diri di media sosial seringkali dipengaruhi oleh peran gender yang tertanam dalam budaya. Bahkan, teks-teks religius sering digunakan sebagai alat untuk mempertegas identitas tersebut.
Dalam artikel jurnal penelitian yang ditulis oleh Musfiah Saidah, Maya Maulidia, Diah Ayu dan Rafiq Subhi tentang “Dramaturgy of Gender Roles in Personal Outreach on Social Media Through Religious Texts”, yang terbit di Jurnal Harkat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2023 lalu menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan "berperan" di dunia maya.
Konsep dramaturgi, yang memandang kehidupan sebagai panggung teatrikal, menunjukkan bahwa di media sosial, kita semua adalah aktor. Status, caption, atau bahkan pilihan foto, semuanya adalah bagian dari "pertunjukan". Konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman, yang melihat individu sebagai "aktor" yang memainkan peran tertentu di "panggung" sosial. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana laki-laki dan perempuan mempresentasikan diri mereka di media sosial dengan cara tertentu untuk memenuhi ekspektasi gender.
Mengapa Perempuan dan Laki-Laki Berbeda di Media Sosial?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih sering memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan sisi relasi sosial mereka, seperti berbagi nasihat atau kutipan agama yang menginspirasi. Sebaliknya, laki-laki lebih cenderung memfokuskan pada sisi kepemimpinan, seperti memposting opini religius atau pencapaian pribadi yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual.
Jika dikaitkan dengan strategi dramaturgi dalam menjelaskan mengapa fenomena perempuan dan laki-laki berbeda di media sosial, penelitian ini mengungkapkan bahwa perempuan lebih personal dan emosional dalam menggunakan media sosial. Perempuan cenderung memilih kutipan yang sesuai dengan kondisi psikologis atau pengalaman hidup saat itu. Sedangkan laki-laki, cenderung lebih formal dan terarah pada tujuan tertentu. Untuk menunjukkan pengetahuan atau posisi sosial mereka, bukan sekadar ekspresi emosional.
Istilah Front Stage dan Back Stage dalam Konsep Dramaturgi
Dalam konsep dramaturgi yang dikembangkan Erving Goffman, interaksi sosial dibagi menjadi dua ruang utama, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Kedua konsep ini digunakan untuk memahami seseorang (aktor) menampilkan diri di media sosial, khususnya dalam konteks gender dan penggunaan teks religius.
Panggung depan atau front stage dijelaskan sebagai ruang bagi seseorang yang tampil di hadapan publik, dalam hal ini media sosial. Media sosial menjadi platform utama untuk panggung depan, di mana pengguna “memainkan peran” mereka untuk memberikan kesan tertentu yang ingin mereka tampilkan. Di panggung depan ini, aktor (pengguna media sosial) dengan hati-hati memilih atribut seperti kutipan religius, foto, atau status yang mereka anggap mendukung citra yang ingin mereka bangun.
Sedangkan, panggung belakang atau back stage adalah ruang individu dapat berperilaku lebih bebas tanpa perlu memikirkan impresi publik. Di sini, individu menunjukkan sisi asli mereka, yang mungkin berbeda dari apa yang mereka tampilkan di panggung depan. Panggung belakang mencakup aktivitas yang tidak terlihat oleh audiens media sosial, seperti proses memilih kutipan religius atau emosi yang mendasari unggahan tertentu. Misalnya, seseorang mungkin memilih kutipan religius untuk menunjukkan ketenangan, tetapi di balik layar, mereka mungkin sedang mengalami kecemasan atau keraguan.
Dramaturgi Mengembangkan Wawasan Pengguna Media Sosial
Dengan mengadopsi konsep dramaturgi Erving Goffman, penelitian ini memperluas pemahaman tentang bagaimana individu memainkan peran di media sosial sebagai panggung depan, sambil menjaga kehidupan pribadi di panggung belakang. Hal ini memberikan perspektif baru dalam studi media sosial, khususnya tentang bagaimana interaksi online dapat dipengaruhi oleh norma-norma budaya, agama, dan gender.
Selain itu, penelitian ini juga relevan bagi masyarakat luas karena memberikan refleksi tentang bagaimana perilaku kita di media sosial dipengaruhi oleh harapan sosial dan budaya. Dan bagi akademisi atau praktisi di bidang komunikasi, gender, dan media, penelitian ini memberikan dasar untuk eksplorasi lebih lanjut tentang hubungan antara identitas digital, gender, dan agama.
Penelitian ini menunjukkan bahwa media sosial menjadi "panggung depan" bagi laki-laki dan perempuan untuk menampilkan identitas sesuai peran gender melalui teks religius. Laki-laki cenderung memilih teks yang menunjukkan otoritas, sementara perempuan lebih menonjolkan emosi dan pengalaman personal. Perbedaan ini mencerminkan norma gender dalam budaya religius. Media sosial berfungsi sebagai ruang untuk menyaring citra diri, sekaligus medium memahami dinamika gender dan negosiasi identitas di era digital.
(Aida Adha Siregar/Fauziah M./Raihan Lail Ramadhan)
Sumber Artikel Jurnal
Judul Penelitian : Dramaturgy of Gender Roles in Personal Outreach on Social Media Through Religious Texts
Publikasi Jurnal : Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender
Penulis : Musfiah Saidah, Maya Maulidia, Diah Ayu dan Rafiq Subhi
Link artikel : https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/34513/pdf
**Ulasan Artikel Riset adalah tulisan review dari artikel jurnal penelitian yang ditulis oleh para dosen di UIN Jakarta yang membahas isu terkini yang dekat dengan masyarakat sebagai rekomendasi atau studi kasus pada fenomena sosial.
Pusat Informasi dan Humas UIN Jakarta