Peneliti LIPI: Anak Muda Indonesia Makin Radikal
[caption id="attachment_9734" align="aligncenter" width="780"] Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia' yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta, Kamis (18/2/2016)[/caption] BERITA UIN, Online -- Kalangan anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin tak toleran, sementara perguruan tinggi banyak dikuasai oleh kelompok garis keras, ungkap para peneliti LIPI dalam diskusi yang bertajuk 'Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia' yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung Sasana Widya Sarwono, LIPI, Jakarta, Kamis (18/2/2016)
Peneliti LIPI Anas Saidi mengatakan paham radikalisme ini terjadi karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya.
Dia mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi pancasila tidak lagi penting.
"Proses Islamisasi ini terjadi secara monolitik dan terjadi masjid yang dikuasai kelompok tertentu yang konsekuensi ikutannya adalah sikap intoleran, dan jika nanti mereka kemudian menjadi pejabat menjadi menteri menjadi apa saja, kalau tidak punya toleransi dan masih punya benak untuk mengganti pancasila, itu yang saya kira ada kecemasan itu ," jelas Anas.
Anas mengatakan proses Islamisasi di kalangan mahasiswa itu harus diimbangin dengan proses Islamisasi yang terbuka, bervariasi dan penyelesaian perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan tidak dengan kekerasan.
Jika itu dilakukan, Anas melihat ada sisi positif proses Islamisasi ini dapat memberikan generasi muda yang lebih dapat menerima perbedaan.
Pasca reformasi
Anas mengungkapkan dalam penelitian yang dilakukan pada 2011 di lima universitas di Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, Undip menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan khususnya di kalangan mahasiswa di kampus-kampus umum.
"Tetapi kecenderungannya itu tidak berubah dan masih terjadi hingga sekarang," jelas Anas.
Radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa itu terjadi pasca reformasi, dengan menyebar melalui Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), termasuk HTI dan salafi yang merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional.
"Sebagian besar perguruan tinggi umum, yang telah didominasi oleh Ichwanul Muslimin dan Islamis lainnya," jelas Anas.
Disebutkan, jika pemahaman ini dibiarkan akan menyuburkan sikap intorelan dan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.
Proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya.
"Negara harus campur tangan agar proses Islamisasi di kalangan mahasiswa itu berlangsung terbuka, dan masjid tidak dikuasai kelompok tertentu agar semua pandangan masuk," papar Anas.
Anas mengatakan pemahaman ideologi radikal itu dapat terlihat dari pandangan yang mengharamkan tafsir yang berbeda dengan pemahaman mereka, mengkafirkan sesama muslim dan juga menekan kelompok minoritas.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof Dr Bambang Pranowo --yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Intervensi pemerintah
Peneliti LIPI lain, Endang Turmudi mengatakan menyebar luasnya ideologi radikal di kalangan anak muda harus diwaspadai dan dapat lebih berbahaya dibandingkan terorisme.
"Kalau teroris hanya bagian kecil saja dari suatu kelompok radikal, dan hanya sebagian kecil dari bahaya yang mengancam negara dan masyarakat Indonesia," jelas Endang.
Kelompok teroris itu, menurut Endang, yang mempraktekan radikalisme dengan cara kekerasan, seperti pemboman.
Tetapi, kelompok yang lebih mengancam menurut Endang, yaitu masyarakat Islam yang memaksakan paham mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia.
"Radikalisme itu sendiri dalam bentuknya memang seakan terasa lunak karena tidak menimbulkan kekerasan langsung, karenanya tidak menarik perhatian pihak keamanan, dan masyarakat pun tidak memberikan perhatian khusus."
Akibatnya, kata Endang lagi, banyak kalangan lengah.
Untuk mengikis penyebaran paham ini Anas mengatakan pemerintah harus melakukan intervensi terhadap pendidikan, mulai dari kurikulum sampai dengan penggunaan ruang pendidikan. Terutama di kampus, "agar mengajarkan keterbukaan dan ruang pendidikan tidak dikuasai kelompok tertentu.
Dalam survei The Pew Research Center pada 2015 lalu, mengungkapkan di Indonesia, sekitar 4 % atau sekitar 10 juta orang warga Indonesia mendukung ISIS - sebagian besar dari mereka merupakan anak-anak muda. (BBC)