"Crowds"di Era Digital
SAAT INI dunia sedang memasuki era baru, yang pada umumnya disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 dengan teknologi mengambil alih sebagian besar aktivitas perekonomian. Fenomena Revolusi Industri 4.0 telah membawa perubahan besar tentang bagaimana kita hidup, bekerja, dan berhubungan dengan pihak lain.Ciri utama dari Revolusi Industri 4.0, menurut Klaus Schwab, pendiri dan sekaligus ketua eksekutif dari Forum Ekonomi Global, adalah perpaduan teknologi yang mengaburkan garis pemisah antara fisik, digital, dan biologis. Tersambungnya jutaan manusia melalui smartphone dan internet telah menciptakan akses informasi dan pengetahuan yang tak terbatas.
Selain itu, beragam inovasi teknologi telah mendorong terjadinya otomatisasi, disintermediasi, dan desentralisasi. Contoh sederhana otomatisasi adalah munculnya teknologi informasi berbasiskan kecerdasan buatan, artificial intelligence (AI), yang memungkinkan komputer melakukan analisis dan prediksi berdasarkan pada data yang tersedia dengan menggunakan algoritma.
Munculnya model P2P lending dan crowdfunding yang menghubungkan antara investor dengan dunia usaha tanpa perantara perbankan adalah contoh dari fenomena disintermediasi pada akses pembiayaan.
Perekonomian global saat ini sedang mengalami transformasi digital dan mendorong terjadinya digitalisasi ekonomi di semua sektor ekonomi. Saat ini teknologi dan informasi digital diperlakukan sebagai kunci utama dalam faktor produksi, konsumsi, dan distribusi. Digitalisasi ekonomi diyakini akan menciptakan nilai tambah dan efisiensi karena teknologi digital memicu terjadinya inovasi, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi.
Inovasi teknologi telah sukses diterapkan di sektor e-commerce , transportasi, akomodasi, dan keuangan. Sumber daya ekonomi yang terdesentralisasi dikumpulkan dalam satu platform teknologi bisa diakses dan dimanfaatkan secara bersama. Model ini disebut oleh Arun Sundararajan, profesor dari University of New York sebagai sharing economy . Contoh suksesnya adalah Uber (transportasi), Airbnb (akomodasi), dan Amazon (e-commerce).
Inovasi teknologi di sektor keuangan biasa disebut fintech atau financial technology . Salah satu model fintech yang mulai menjamur di mana-mana adalah model crowdfunding , jenis model fintech yang mendisintermediasi akses pembiayaan. Istilah crowdfunding diadopsi dari "crowdsourcing " yang dipopulerkan oleh Jeff Howe pada 2006 di mana internet digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan ide, saran, dan solusi terkait dengan kegiatan bisnis (Kleeman dkk, 2008).
Crowdfunding awalnya populer di bidang musik dan saat ini tumbuh menjadi alternatif bagi sektor-sektor lain dalam mengakses pembiayaan. Pelaku usaha rintisan (startup ) dan usaha kecil dan menengah yang selama ini termarjinalkan oleh sistem perbankan menjadikan platform crowdfunding sebagai solusi dalam mengakses pendanaan.
Sistem ini setidaknya menciptakan demokratisasi sumber daya ekonomi terutama pada akses pembiayaan. Akses pendanaan bukan lagi barang mewah yang hanya bisa dinikmati perusahaan bermodal besar, tetapi sudah bisa dijangkau oleh semua kalangan, terutama bagi para pengusaha kecil yang selama ini dianggap unbankable dan berisiko tinggi.
Pengusaha muda yang memiliki ide kreatif dan inovatif namun kesulitan pembiayaan bisa menawarkan proyeknya melalui platform crowdfunding . Inisiatornya memberikan gambaran detail proyeknya disertai dengan foto dan video untuk meyakinkan para donatur atau investor. Kampanye fundraising tersebut tentu menyertakan target dana yang dibutuhkan dan durasi penggalangan dananya. Masyarakat yang tertarik dengan ide tersebut bisa berkontribusi memberikan pendanaan dalam jumlah rupiah yang kecil sekalipun.
Dengan demikian, model crowdfunding bisa mendorong partisipasi masyarakat dalam mendukung ide-ide kreatif dan inovatif dalam bentuk pendanaan demi melahirkan produk akhir yang nanti bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Pergerakan ekonomi yang selama ini dimotori oleh korporasi beralih pada ekonomi berbasis keramaian (crowd based economy ). Crowd atau keramaian, yang menjadi asal kata dari crowdfunding merupakan pilar penting dalam menggerakkan kegiatan ekonomi. Individu dengan segala kelebihan dan keterbatasannya akan jauh lebih tangguh jika diagregasi secara baik dan akan menghasilkan kekuatan bersama (collective power ) (James Surowiecki, 1967) Seiring dengan kemajuan teknologi dan maraknya jejaring sosial, kerumunan tidak lagi selamanya berbentuk fisik, tetapi juga berbentuk virtual atau virtual crowds . Kerumunan yang tersebar di mana-mana itu dihubungkan dan diinteraksikan oleh sistem teknologi, produsen dan konsumen atau founder dan funder yang terpisah secara geografis saling berinteraksi melalui platform teknologi sesuai kepentingan masing-masing. Interaksi virtual dengan menggunakan smartphone melalui jaringan internet inilah yang menjadi penggerak utama dari digital ekonomi. Salah satu masalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia adalah kesulitan akses pembiayaan. Laporan World Bank 2017 menunjukkan terdapat sekitar USD5,2 triliun permintaan pembiayaan berasal dari sektor usaha kecil dan menengah yang tidak bisa dipenuhi oleh sektor perbankan.Jumlah ini setara dengan 19% dari PDB 128 negara berkembang. Oleh karenanya, kemunculan berbagai bentuk platform pembiayaan, baik berbentuk P2P lending maupun crowdfunding , diharapkan bisa mengurai persoalan ketimpangan pembiayaan dalam perekonomian. Di Indonesia sudah menjamur beragam bentuk crowdfunding . KitaBisa dan GandengTangan merupakan contoh platform crowdfunding yang populer di Tanah Air dan sudah mengumpulkan ratusan miliar rupiah dari ribuan proyek yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada tataran global, semua orang sudah pasti tahu nama, seperti Kickstarter atau Indiegogo, yang keduanya bermarkas di Amerika telah sukses melahirkan banyak jenis produk, baik di bidang teknologi, film, games , maupun aplikasi melalui partisipasi pendanaan dari masyarakat virtual. Mekanisme crowdfunding memiliki kesamaan dengan budaya gotong royong yang menjadi slogan budaya orang Indonesia pada umumnya. Sistem itu mendorong terjadinya hubungan interaktif antara masyarakat sebagai pemilik dana dengan pengusaha. Paling penting lagi adalah terciptanya sistem berbagi risiko sukses dan gagal antara crowds dan pelaku usaha. Oleh karena itu, ledakan revolusi industri keempat yang memunculkan model bisnis baru berbasis digital diharapkan bisa berkontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Tidak dimungkiri, sejumlah kalangan menganggap bahwa fenomena digitalisasi ekonomi tidaklah terlalu signifikan kontribusinya pada sektor riil. Cara kerjanya hanya menggeser transaksi-transaksi yang selama ini terjadi secara tradisional menjadi transaksi secara virtual/online sehingga tidak ada pertambahan nilai. Fenomena ini menurut Prof Revrisond Baswir lebih mirip dengan brokerage economy , sektor jasa berbasis teknologi informasi.
Ali Rama Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Penerima Beasiswa Kemenag untuk Studi S3 di University of Aberdeen, Inggris. Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1473112/18/crowdsdi-era-digital-1576631622, Rabu 18 Desember 2019.